Chapter 33: Ingatan Yang Kembali

1024 Words
Perlahan lengan Raka meraih tangan Chesa, kemudian menggengam hangat.Chesa tersentak. Ia mau melepaskan, namun melihat ketulusan di mata Cowok di hadapannya ini membuat Chesa mengurungkan niat. "Gue mau tes. Lo bohong atau nggak ke gue. Ches, udah hampir setahun lo ditindas sama mereka, apa lo nggak ada niatan buat ngelawan? Kenapa lo malah diem aja, Ches? Tugas gue emang buat jaga lo, tapi gue yakin, Hana bakal tambah benci kalau gue terang-terangan belain lo. Gue mohon, Chesa. Lawan mereka. Lagian apa yang lo takutin di dalam diri mereka?" "Lo gak tau, Raka. Ngelawan mereka sama aja buat diri gue sendiri dikeluarin dari sekolah. Mereka orang besar, sedangkan gue orang kecil. Mereka bisa dengan mudah ngeluarin gue dari sekolah. Selama ini gue terpaksa mau ditindas sama mereka supaya gue tetap bisa sekolah, batin Chesa. Ingin sekali Chesa berkata seperti apa yang dikatakan batinnya. Tidak. Ia jangan memberitahu hal itu dulu karena... resikonya sangat besar. "Ches?" Raka menengok wajah gadis tersebut. Iris cokelat Chesa menatap kedua mata lawan bicaranya. Terdengar helaan nafas. Raka mengerti. Gadis di depannya ini belum berani. "Gimana kalau gue jaga lo secara diam-diam? Apa lo mau berpura-pura?" usulnya. "Caranya?" satu alis Chesa terangkat. Raka menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan tidak ada orang. Setelahnya, ia mencondongkan badan, mendekatkan mulutnya pada telinga Chesa untuk membisikkan sesuatu. ***** Rumaisa baru saja selesai membeli makanan. Ia mencepatkan langkahnya, khawatir jika Chesa berusaha pergi padahal kondisinya belum pulih. Knop pintu didorong. Kedua mata Rumaisa terkejut melihat seseorang yang sedang bersama putrinya. "Kamu?" sorot Rumaisa menatap tajam, menunjukkan ketidaksukaannya pada Raka. "Tante," Raka mendorong kursi rodanya. Ia kemudian berusaha menjabat lengan Rumaisa. "Kamu, ya, yang sudah bikin anak saya celaka?" todong Rumaisa. "Maaf, Tante." "Harusnya kamu hati-hati. Kalau nggak bisa jaga naik motor, mending gak usah jalan sama anak saya. Untung saja anak saya cuma terluka siku sama kaki kanannya. Kalau sampai kepalanya yang terluka, saya tidak akan memaafkan kamu." jelas Rumaisa tajam. Sekasar apapun dia pada Chesa, namun untuk urusan seperti ini, Rumaisa masih peduli. "Ma, Raka nggak sengaja. Salah aku ngajak ngobrol dia." Chesa membela. Ekor mata Rumaisa melirik Chesa. "Diam." "Saya minta maaf sudah membuat anak ibu celaka. Saya tidak menyangka akan terjadi kecelakaan itu. Sekali lagi, Raka minta maaf. Permisi." Raka mendorong kursi rodanya untuk keluar dari ruangan. Rumaisa mendengus sebal. Kemudian, ia meletakkan makanan yang ia beli ke sebelah Chesa secara kasar. "Makan." ujar Rumaisa lantas kembali duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Mama marah?" "Makan. Nanti keburu dingin." ucap Rumaisa mengalihkan pembicaraan dengan raut muka datar. "Iya, Ma." Chesa membuka bungkus plastik tersebut. Ia mengambil sendok plastik yang ada di sana, lalu mulai memakan makanannya. Sekarang Rumaisa fokus pada ponsel digenggamannya. Satu pesan masuk. Rumaisa menegakkan duduknya. Mas: Gimana keadaan Chesa? Pasti dia sudah sadar, kan? Saya dan Lova sedang dalam perjalanan ke sana Calon suaminya itu akan datang ke sini! Ia bergegas mendatangi Chesa dan mendudukkan diri di sebelah putrinya. "Kenapa, Ma?" tanya Chesa dengan kerutan heran di keningnya. "Sini sendoknya. Biar Mama suapin." Chesa terperangah. Lagi-lagi ibunya berubah. Tapi ia senang, sih, karena ibunya bersikap seperti dulu. Beberapa puluhan menit kemudian, mereka berdua sama-sama menoleh saat menyadari pintunya dibuka. Pandu dengan Lova digendongannya. "Mas akhirnya datang juga." sambut Rumaisa. Senyum di bibirnya melebar. "Chesa? Kamu udah sadar? Syukurlah." ucap Pandu, mendudukkan diri di sebelah calon istrinya itu. "Iya, Mas. Dia udah sadar. Tadi katanya dia mau makan. Jadi, sekarang aku suapin dia." tutur Rumaisa. "Bagus dong. Kamu pengertian, ya." Chesa sadar akan sesuatu. Tubuhnya mematung saat itu juga. Berarti... Ibunya bersikap baik hanya karena calon ayahnya itu datang? Artinya ibunya itu sama sekali tidak tulus menyuapi dirinya tadi. "Mas bisa aja. Itu udah jadi kewajiban aku merawat dia." Rumaisa meringis malu. Kedua mata Pandu teralih pada Chesa, "kamu sudah tidak apa-apa? Ada yang masih sakit?" Chesa menggeleng pelan. "Udah mendingan, Om." "Teman kamu? Apa dia baik-baik saja?" "Iya, Om." "Sepertinya besok kamu jangan berangkat sekolah dulu. keadaan kamu belum pulih. Oh iya, apa kaki kamu masih terasa sakit jika berjalan?" tanya Pandu. "Sedikit, sih, Om. Nanti juga bakal sembuh." "Mungkin dia harus istirahat beberapa minggu dulu, Mas. Soal sekolah, nanti saya izinin." ujar Rumaisa setelah dari tadi diam. "Biar saya aja yang izinin ke gurunya. Besok pagi saya akan ke sana. Lagian juga saya sudah lama tidak ke sana." balas Pandu. Chesa mengernyit. 'sudah lama tidak ke sana'? kata itu membuatnya bingung. Tapi detik kemudian, ia menggelengkan kepala. Ia tidak boleh berpikir terlalu jauh. Ayah tirinya yang baik itu tidak pantas untuk dicurigai. ****** Jas hitam itu terpasang rapih di tubuhnya yang tegap. Setiap langkahnya berhasil mencuri perhatian orang yang dilewatinya. Sebenarnya, hari ini jadwal padat sekali, namun ia tetap menyempatkan diri untuk datang ke sekolah langsung demi gadis yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Di tempat lain, Hana meludah, membuang permen karet yang sudah terasa hambar. "Han! Hana! dia..." Keisha membungkuk seraya memegang lututnya. Nafasnya jadi tidak beraturan karena lari begitu cepat. "Kenapa lo?" tanya Hana. "Dia... Dia ke sini!" Keisha masih berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Salahnya sih! andaikan dia tidak lari. "Sebut namanya dong! Gue nggak tau siapa yang lo maksud. Trus kenapa lo lari-lari, hah? Dikejar maling lo?" sungut Hana penuh emosi. "Enggak lah! Mana ada maling di siang bolong gini." Keisha perlahan berdiri tegak. "Ya trus maksud lo apa, Keisha? Jangan bikin gue bete deh! Gue lagi gak mood buat berantem sama lo!" "Oke-oke. Gue kasih tau," Keisha menjeda, "ayah lo dateng ke sekolah ini! Dia jalan, dilihat dari arahnya sih, kayaknya ke kantor." kata Keisha, masih ragu dengan dugaannya sendiri. "Ayah gue ke sini? Ngapain?" tanya Hana penuh keheranan. tumben sekali ayah Hana kemari. Biasanya ke sekolah ini hanya saat pengumuman kenaikan kelas, tepatnya saat ambil rapot. "Gue nggak tau, Han. Mending lo ke sana aja buat tanya langsung." Hana berjalan melewati Keisha. Semua murid memberi jalan ketika melihat sang anak pemilik sekolah itu lewat. Tidak ada yang berani mengganggunya karena akibatnys fatal. Mereka bisa ditendang dari sekolah karena fitnah yang dibuat-buat Hana. Ada salah satu murid yang mengalami hal itu. Kebetulan, saat Hana melewati kantor, ayahnya keluar dari ruangan tersebut. Hana dengan cepat mendatangi. Ia butuh penjelasan saat ini juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD