Chapter 34: Pura-pura

1023 Words
Hana menghentikan ayunan kakinya. Niatnya untuk mendatangi sang ayah kini telah pupus karena rasa gengsinya. Hana merutuki dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak mendatangi ayahnya itu. Perlahan, badannya berbalik. "Nak," Dia terlalu lambat hingga ayahnya menyadari keberadaannya. Pandu segera berlari, kemudian menghadap putrinya. "Bagaimana keadaan kamu?" "Baik." jawab Hana ogah-ogahan. "Uang bulan ini masih ada? Perlu ayah transfer siang nanti? Kebetulan ayah mau ke bank hari ini," Hana tak bergeming. Namun akhirnya, bibir tipisnya itu menjawab, "nggak usah. Gak perlu." kaki jenjangnya melangkah cepat melewati ayahnya. Bahkan Hana juga menabrak pundak Pandu. Tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sorot mata yang ada di sana sedari tadi memerhatikan Mereka berdua. Bisa disimpulkan, hubungan ayah dan anak itu tidak harmonis. Keisha menghadang di depan kelas seraya melipat tangannya di d**a. "Disuruh buat pulang lagi?" "Bukan urusan lo." "Gue ini siapa?" Keisha bertanya seperti itu membuat Hana kebingungan. "Sahabat gue." "Nah, itu tau. Lo tau, kan, gunanya sahabat?" Tentu. Hana tahu itu. Hana memilih untuk tidak menghiraukan ucapan Keisha. Ia berlari ke dalam kelas. ***** Chesa menyantap makanan yang diberikan oleh ibunya dengan raut tidak tertarik. Ia sudah biasa tidak sarapan ketika pagi, namun sekarang ia harus makan sepagi ini. Dan juga, di ruangan ini, dia sendirian. Ibunya kembali lagi ke rumah. Mana Lova dibawa lagi. Dia sekarang benar-benar kesepian. "Raka lagi ngapain, ya?" monolognya. Chesa pelan-pelan turun dari ranjangnya. Ia berusaha untuk berjalan walaupun pincang. Tangannya itu terus memegang apa pun yang ada di sekitarnya sebagai tumpuan. "Lo kok di sini?" suara berat itu membuat Chesa menengok. "Gio?" Mereka berdua sama terkejutnya. "Lo kenapa?" tanya Gio memerhatikan perban yang membalut lengan dan kaki Chesa. "Gue nggak apa-apa kok. Ada kecelakaan dikit." jawab Chesa, tidak mau jujur. "Biasanya kalau cewek bilang gak apa-apa, pasti kenapa-napa." sindir Gio. Chesa hanya bisa nyengir seraya mengusap lehernya. "Kalau lo ngapain di sini?" dia balik bertanya. Akan tidak adil jika hanya Gio saja yang bertanya. "Adik gue check up hari ini. Jadi gue temenin." "Oh. Iya udah, kalau gitu... gue lanjut jalan, ya." pamit Chesa. Ia kembali berjalan sekeras tenaga. Gio merasa kasihan melihatnya. "Lo perlu bantuan gue?" tanya Gio, masih di tempatnya. "Nggak perlu, Gi. Gue bisa sendiri," Chesa menarik sudut bibir untuk menghargai tawaran Gio. Ia lanjut berjalan tampa berniat mendengar respons Gio. Baru 4 langkah, Chesa tidak sengaja menggunakan kakinya yang diperban untuk berjalan. Alhasil dia meringis kesakitan. Gio yang belum jauh dari gadis itu buru-buru menghampiri. Ia memegang lengan Chesa supaya gadis tersebut tidak jatuh. "Yakin lo gak butuh bantuan gue?" tanya Gio. Chesa menunduk. Harusnya dia tidak memaksakan dirinya untuk berjalan. "Gue bantu aja, oke? Daripada luka lo makin parah karena lo maksain kaya gini." "Tapi, nanti lo repot..." lirih Chesa merasa tidak enak. "Nggak kok. Sini gue bantu." Gio mengarahkan lengan Chesa untuk melingkarkan pada pundaknya. Dia menuntun Chesa. "Lo mau ke mana?" Gio bertanya. "Ke ruangan nomor duapuluh." jawab Chesa. "Lo belum izin ke guru kalau lo sakit? Perlu gue izinin?" "Udah ada ayah yang ngizinin kok." Chesa menjawab tanpa berani memalingkan mukanya untuk menatap Gio. "Bagus kalau gitu," "Iya, Gi..." Setelahnya keduanya diam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Chesa mendongak ketika menyadari ruangan Raka sudah di depan mata. "Gi, berhenti." intruksinya. "Oh, sorry." Gio menghentikan langkah, lantas is membukakan pintu itu untuk Chesa. Ketika dia melihat siapa yang ada di dalam, Gio sedikit tersentak. Ia menatap Chesa, namun gadis itu sepertinya enggan untuk menatapnya. "Lo bisa pulang sekarang, Gi. Makasih udah bantu gue." mata Chesa menyipit bersamaan dengan sudut bibirnya yang terangkat. Untuk seketika Gio terpesona. Baru kali ini dia melihat wanita secantik itu ketika tersenyum. Raka yang melihat itu diam saja. Netra hitamnya tidak lepas untuk mengamati Gio. "Gio? Kenapa?" Chesa sulit mengartikan tatapan Cowok di sebelahnya ini. Gio menggeleng cepat agar kesadarannya kembali. "Enggak. Gue pamit." Chesa menatap Raka kembali. Ia berpegangan pada tepi ranjang, kemudian duduk di bangku yang ada di sana. "Lo udah sarapan, Ka?" Raka melenggut sekali. "Gio. Sejak kapan dia sebaik itu sama lo?" "Baru-baru ini. Gio orangnya baik kok, gak kaya omongan orang lain." "Dia pasti ada maunya." tukas Raka. "Enggak. Gio orangnya bukan kaya gitu." "Lo tau, kan, Gio terkenal orang kaya gimana? Lebih baik lo menjauh. Gue takut lo diapa-apain." ucap Raka bersikukuh. "Lo terlalu negative thinking, Raka. Gio itu baik. Buktinya dia bantu gue buat ke ruangan lo. Dan juga, dia gak ngelakuin hal buruk kaya yang lo pikirin. Lo percaya sama gue, kan, Raka?" Chesa berusaha menengok wajah cowok di dekatnya itu. "Tetap aja gue nggak suka." "Lo marah? Ya udah deh. Mulai hari ini gue nggak deket-deket Gio lagi. Raka, maafin gue. Jangan galak-galak gitu dong. Muka lo nyeremin tau gak," ya, Chesa berusaha untuk membujuk walaupun tidak ada tanda-tanda Raka akan memaafkannya. "Gue pergi ya. Nanti gue balik lagi, kok, tapi kalau lo udah nggak marah lagi," Chesa beringsut berdiri. Seperti biasa, ia berpegangan pada sisi ranjang untuk membantunya berjalan. "Gue nggak marah." akhirnya setelah beberapa detik diam, Raka angkat bicara. Chesa berpaling ke arah Raka. "Kirain." ia kembali mendekati Raka. "Luka lo keliatan baikan. Lo pasti udah dibolehin pulang sebentar lagi," Chesa ikut senang mengatakannya. "Enggak." Kening Chesa mengerut. "Hah?" "Gue nggak akan pulang sebelum lo pulang juga." "Gak boleh kaya gitu. Aku juga sebentar lagi pulang. Mungkin dua atau tiga hari lagi." "Lama, Ches." keluh Raka. "Sebentar." "Nggak mau." Raka memberengut. Chesa geli melihatnya. Raka persis seperti anak kecil padahal jelas sudah berumur 17 tahun. "Kamu kesurupan apa sih, Ka? Kok jadi kaya anak kecil gini?" terdengar kekehan dari mulut gadis itu. "Habisnya kamu bikin aku marah." Chesa tergemap. Tumben sekali Raka memakai panggilan aku-kamu. Antara geli dan senang ketika mendengar itu. "Kamu mau kita pulang dari rumah sakit ini bersama-sama? Aku, sih, setuju tapi ada Ayah. Nggak tau, ayah aku liat kamu senang apa enggak." Raka tercengang. "Ayah?" "Oh iya, kamu belum tau. Jadi, Mama udah nemu pendamping baru. Mama nikah lagi, Raka. Tapi pernikahannya nanti senin depan." "Kenapa kamu nggak cerita ke aku sejak tadi?" tanya Raka. "Aku lupa." "Nama ayah baru kamu siapa?" "Ayah Pa--" "Hey, Bro! Lo udah mendingan?" Devian dengan gaya songongnya masuk ke ruangan begitu saja tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Perkataan Chesa sukses terpotong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD