Chapter 35: Cemburu/khawatir?

1139 Words
"Salam. Main masuk aja lo." tegur Raka. Ya, perhatiannya sukses teralih. "Gue ganggu kalian ya? Tumben lo deket-deket Chesa. Trus ngapain kalian berdua di sini? Mojok kalian?" tanya Devian ambigu sambil menaik turunkan alisnya. "Mulut lo dijaga. Udah tua kok masih mirip anak kecil koordinasi kalo ngomong." ketus Raka. "Tenang, Bro. Santai. Jangan ngegas." Devian menepuk pundak Raka sekilas. Pandangannya beralih pada Chesa, "lo cewek sendiri di sini. Kenapa lo gak balik ke ruangan lo?" ucapnya dengan nada tajam. "Ini mau balik kok." Raka sempat memegang lengan Chesa supaya gadis itu mudah berdiri. Devian menatap curiga. Apa jangan-jangan ingatan Raka kembali? Ah, semoga saja tidak. "Ngapain dia di sini juga?" tanya Devian setelah Chesa menghilang dari balik pintu. "Cuma nanya keadaan aja." jawab Raka dengan nada santai. "Dia ngomong sesuatu tentang ingatan lo?" Devian menyelidik. "Enggak." Raka berdeham beberapa kali. Ekor matanya melirik Devian yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Emang, dia musuh gue di masa lalu?" sengaja. Raka sengaja melontarkan pertanyaan tersebut walaupun ia tahu Devian memengaruhinya agar menjauh dari Chesa. Raka tidak tahu mengapa Devian seperti itu. "Iya! Gue sebelumnya udah pernah bilang kalau dia yang buat lo kehilangan ingatan. Masa lo lupa?" Raka tersenyum samar. Ia... tahu siapa pelaku sebenarnya. "Gue gak lupa." Raka menjawab. "Dokter bilang sore ini lo boleh pulang. Soal pembayaran ayah lo udah bayarin. Dia transfer tadi pagi, tapi dia gak ke sini. Sibuk. Jadi, lo mau pulang sekarang atau sore nanti?" Devian duduk. Ia mengambil satu apel di dekatnya. Tanpa ragu, ia memakannya padahal itu untuk Raka. "Raka! Kamu kok nggak telefon aku kalau kamu di rumah sakit!" lengkingan keras dari Hana membuat seisi ruangan itu heboh. Raka menatap tajam, sedangkan Devian tersenyum lantaran senyum Hana menular. "Tau darimana?" Raka bertanya dengan nada tenang, tidak ada peninggian intonasi. “Dari statusnya Devian.” Hana meletakkan satu keranjang buah, kemudian duduk di dekat Raka. Heran. Mungkin itu kata yang tepat untuk Devian. Sahabatnya itu laki-laki, namun sangat rajin membuat status seperti kaum perempuan saja. “Yang lain mana?” Raka mengamati pintu, berharap ada orang lain selain Hana. Akan memuakkan jika seharian ia bersama Hana. “Mereka enggak mau ikut.” Bohong. Perkataan Hana barusan adalah kebohongan. Ia tidak mau yang lainnya ikut supaya perhatian Raka hanya kepada dirinya dan tidak boleh ada yang mengganggu. “Oh.” “Iya! Aduh, kepala kamu pasti sakit banget, ya? Kayaknya perlu ganti perban deh.” Hana mencoba memegang kepala Raka. Spontan Raka menepis. Hana terkejut melihatnya. Reaksi Raka mengingatkannya pada masa lalu. Pada saat Raka belum hilang ingatan. “Kamu kenapa?” tanya Hana lirih. “Sorry. Kalau dipegang sakit. Lo mau gue kesakitan?” Raka tersenyum. Senyumnya terlihat dipaksakan dan palsu. “Eh, seharusnya aku yang minta maaf.” Hana menjeda, ia nyengir tidak enak, kemudian lanjut berkata, “maaf. Aku enggak peka.” “No problem.” “Kamu mau aku suapin?” “Enggak. Gue butuh udara segar. Lo siap, kan, nemenin gue keluar?” “Pasti nggak mau lah! Di luar panas woy. Gak baik buat kulit cewek.” Devian menimbrung usai dari tadi diam, menyimak pembicaraan kedua makhluk di dekatnya. “Gue bukan tanya lo.” Raka memicing. “Hana setuju omongan gue, kan?” Devian menaik turunkan alisnya, memberi tatapan menggoda pada Hana. “Enggak! Aku mau kok nemenin Raka. Ayo! Kita keluar. Kamu bosen di dalam ruangan terus kan? Oh iya, kamu perlu kursi roda apa jalan sendiri?” tanya Hana terlihat sangat antusias dan penuh energi. “Gue bisa jalan sendiri.” Senyum Hana mengembang. “Buat jaga-jaga kalau kamu pingsan, aku boleh, kan, pegang tangan kamu?” Raka ingin sekali muntah saat itu juga. Sikap Hana itu berbeda 360 derajat ketika ia belum kehilangan ingatan. “Bukan muhrim!” Devian menyahut, membuat Hana mendecak pelan. “Berisik, Devian.” respons Hana berusaha untuk sabar dan menahan sifat aslinya keluar. Gue pukul juga mulut lo lama-lama! batin Hana. “Bener kata Devian. Mending lo jalan aja sejajar sama gue biar lo mudah nahan gue kalau gue mau jatuh. Setuju?” tanya Raka, turun dari ranjangnya. Hana mengangguk lemah. Lain dengan hatinya yang sudah berkecamuk. Andaikan Devian tidak mengatakan hal seperti tadi! Pasti Raka tidak akan berkata barusan! Keduanya mulai berjalan keluar. Sedangkan Devian? Cowok tinggi itu mengikuti Hana dan Raka. Ada perasaan geram ketika Hana berjalan sejajar dengan Raka. Semestinya Devian yang ada di sebelah Hana—gadis yang ia suka. Belum sampai di halaman rumah sakit, Hana mengerutkan dahi kalau melihat pembantu di rumahnya sedang melangkah berlawanan arah. Sepertinya pembantu itu akan ke suatu ruangan. Yang jelas, Hana tidak tahu. Ah, biarlah. Lagian juga hal itu bukan urusannya. Sudut bibir Rumaisa terangkat melihat anak kandung calon suaminya melintas di dekatnya. Ia hendak mengangkat suara untuk menyapa, tapi langkah gadis itu cepat sekali seolah tidak ingin bertemu dengannya. Rumaisa menampik pikiran buruknya. Ia membuka pintu saat sudah sampai di ruangan Chesa. “Mama?” sapa Chesa. Raut kesepiannya hilang, berganti dengan senyum senang. “Hm.” Sahut Rumaisa berdeham. “Lova nggak ikut lagi, Ma?” “Enggak.” “Ma, Chesa boleh pulang malam ini enggak?” ia bertanya ragu-ragu. Kegiatan Ibunya itu terhenti. Ekor mata Rumaisa melirik sang putri. “Tidak. Mama sudah bilang, lusa baru kamu boleh pulang. Kamu lupa ucapan Mama atau kamu tidak mendengarnya waktu itu?” nada bicara ibunya sinis, sama seperti beberapa hari ini. Chesa tidak tahu, salah apa hingga ibunya berubah. “Maaf, Ma. Jangan marah.” Chesa menunduk, menyesal. **** Setelah bersusah payah membuat Hana pergi, Raka kini bersiap-siap untuk pulang. Sebenarnya ini sangat berat mengingat ia ingin Chesa pulang juga. “Lo tunggu di mobil. Nanti gue ke sana.” titah Raka pada Devian yang tengah berdiri sambil memainkan ponsel. Perhatian Devian berhasil teralihkan. “loh? Kenapa begitu?” “Gue mau nemuin seseorang.” jawab Raka jujur. “Seseorang? Siapa?” “Ada.” Raka mengambil jaket dari tas yang dibawa oleh Devian, lantas ia memakai jaket tersebut di tubuh yang lumayan kekar itu. “Ada? Emang ada orang yang namanya ‘ada'?” Raka menatap datar makhluk di hadapannya. “sejak kapan lo banyak nanya?” ia melemparkan tas ke wajah Devian. Untung saja Devian menangkal benda itu sehingga wajahnya tidak terkena. Bisa-bisa ketampanannya hilang! “Sembarangan lo ah!” hidung Devian kembang kempis. Emosinya tersulut. “untung temen!” “Makanya jangan banyak tanya. Itu tas bawa sana. Gue gak lama perginya. Ya, Kira-kira lima belas menit lagi gue nyusul lo.” jelas Raka. “Lo mau ketemu siapa, bro?” Devian masih saja ingin tahu. Sumpah Demi alex! Ia penasaran setengah mati! “Ada.” Lagi-lagi. Jawaban yang sama. “Bete gue lama-lama!” Devian mendengus. Ia melangkah cepat keluar ruangan. Raka meninjau Devian sampai temannya itu benar-benar sudah keluar rumah sakit ini. Setelahnya, ia menarik langkah menuju ruangan—tempat Chesa dirawat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD