Chapter 36: Pulang

1053 Words
Pintu lambat-lambat dibuka. Tampak Chesa sedang terlelap, gadisnya itu terpejam terlihat damai sekali. Raka mengurungkan niat. Ia berbalik badan, hendak meninggalkan ruangan tersebut. Namun... Sebuah tangan memegang pundaknya. Raka menengok. “Tante,” ia membalikkan badan, menghadap Rumaisa. Tanpa basa-basi ia menjabat lengan Rumaisa. “Buat apa kamu ke sini?” tanya Rumaisa dingin. Raka berdiri tegak. “saya tadi mau jenguk Chesa, Tan. Tapi dia ternyata lagi tidur.” responsnya sopan. harus “Kamu pacar anak saya?” Pertanyaan Rumaisa refleks membuat Raka terkesiap. Dia jawab bagaimana?! Menyatakan perasaannya saja belum, lah ini dia malah ditanya seperti itu barusan. “Teman. Saya temannya, Tan.” “Oh, teman, ya? Kirain kamu pacaran sama putri saya. Kalau iya kamu pacaran, saya tidak akan merestui. Kamu hanya membuat anak saya celaka. Saya yakin, kamu tidak pantas menjadi pacar anak saya karena kamu tidak bisa menjaganya dengan baik.” ujar Rumaisa terus terang. Raka menelan ludah susah payah. Perkataan ibu Chesa itu membuatnya menyerah walaupun belum mengambil langkah apa-apa. “Saya bisa menjaga Chesa. Tapi buat kemarin, saya lalai. Maaf.” Raka membungkuk sekilas. “Sudah. Sana pergi.” usir Rumaisa sambil meniup kuku-kukunya. “Permisi, Tan.” pamit Raka. Rumaisa tidak menjawab, ia membalik badan ke pintu, lalu menutupnya begitu saja. Raka menghela nafas panjang. Keputusannya untuk ke sini ternyata salah! Dengan berat hati, Raka melangkah lebar, meninggalkan tempat tersebut. *** Chesa terbangun tiba-tiba usai ia bermimpi buruk. Refleks kedua matanya mengamati setiap sudut ruangannya. Jam dinding ternyata menunjukkan pukul sembilan malam. Ibunya itu sudah tertidur lelap di sofa. Ia menyebabkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Chesa berjalan perlahan. Jangan tanya tujuannya ke mana, sudah pasti gadis itu akan ke ruangan Raka. Chesa mengernyih. Luka di siku dan kakinya ini masih saja terasa sakit padahal ia ingin pulang ke rumah seperti Raka dan juga bersekolah. Ketika sudah sampai di dekat ruangan yang menjadi tujuannya itu, Chesa mempercepat langkah. Matanya hanya tertuju pada pintu, bukan sudut lain. Dia masuk ke kamar pasien, berharap Raka belum pulang dan masih ada di sana. Mendadak bahu Chesa lemas menyadari Raka sudah tidak ada. Ranjang di ruangan itu juga kosong dan tertata amat rapi. “Ngapain lo di sini?!” Chesa tersentak. Tempo detak jantungnya berubah menjadi tiga kali lipat. Ia mengenal suara itu. Sangat. Hana mencengkram pundak Chesa, lantas membalikkan paksa. “Jawab! Lo udah bikin Raka gue celaka! Lo mau bikin luka dia lebih parah lagi?!” todongnya. “Orang jahat mana ngaku, Han!” Keisha mengompori. “Kita kasih pelajaran keras biar dia ngaku!” Chesa melotot ketakutan saat mendengar kata ‘pelajaran keras'. Ya Tuhan, semoga mereka tidak berbuat macam-macam. Chesa butuh seseorang untuk menyelamatkannya sekarang. Hana memegang tangan Chesa yang tengah berpegangan pada dinding. Ia mendorong lengan itu hingga Chesa tidak punya tumpuan dan akhirnya jatuh. Hana tersenyum penuh kesenangan begitu pun Keisha. Keduanya berjongkok. “Sakit, ya? Makanya jangan berani buat Raka celaka!” bentak Hana. Jemarinya bergerak melepas paksa perban yang membalut siku Chesa. “Han, berhenti, Han. Ampun. Maafin gue,” rintih Chesa. Hana terus melanjutkan 'aktivitas' nya. “Lama banget. Sini gue bantuin.” Keisha mendekat, ia melepas perban kaki Chesa. Mereka melepaskan sampai-sampai luka Chesa benar-benar terlihat. Lukanya hanya sedikit yang sudah mengering. Sisanya... belum sembuh dan sangat tidak layak untuk dilihat. Cairan merahnya kontan mengalir deras terutama di bagian kaki Chesa. Chesa menangis. Ia tidak tahan untuk menahan air matanya lagi. “Cup cup cup. Jangan nangis. Ini belum seberapa.” Hana berpura-pura iba. “Cengeng! Segitu aja udah nangis. Cih! Dasar lemah!” ejek Keisha. Chesa diam tak menjawab. Daarah di kaki kanannya itu merembes keluar. Ia bergerak memegang kakinya, menahan supaya darah yang keluar tidak terlalu banyak. Lengan Hana mencengkram pipi Chesa sambil melihat tajam. Chesa terpaksa menatap wajah Hana yang menurutnya menyeramkan. "Kenapa lo bikin Raka kecelakaan? Kenapa, hah?! Asal lo tau, gue bisa ngelakuin apapun ke lo. Gue bisa buat lo nangis darah kalau lo deketin Raka lagi. Jawab gue! Apa kemarin lo jalan sama Raka?! Kalian jalan berdua?!" Hana menggertak. Ia melepaskan cengkamannya. "Gue emang jalan sama dia, tapi Raka yang ngajak gue. Bukan dia, Han. Dan soal kecelakaan, itu udah takdir. Bukan gue ataupun Raka penyebabnya." Satu tamparan keras sukses membuat Chesa tertoleh sekaligus kepalanya terbentur kaki ranjang rumah sakit. "Bilang aja kalau lo emang pelakunya! Raka itu milik gue! Lo gak berhak bersama dia! Sekali lagi gue dengar lo jalan sama dia, gue enggak bakal bikin hidup lo tenang satu detik pun, Chesa! Gak akan!" Hana membuang nafas kasar. Ia berdiri, kaki jenjangnya sengaja menginjak kaki Chesa yang masih mengucurkan darah. Cukup lama. Puluhan detik berikutnya, Hana menjauh. "Sha! Cabut!" titah Hana pada Keisha yang sedari tadi diam menyaksikan. "Mama..." Chesa menangis sesegukan. Ia sangat ingin bertemu dengan ibunya. Darahnya akan banyak semakin yang keluar jika tidak diperban lagi. *** Rumaisa terbangun. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Baru saja ia menuangkan air putih ke gelas, ia terbelalak menyadari putrinya tidak ada di ranjang. "Ke mana lagi anak itu?" monolog Rumaisa. Ia beringsut berdiri untuk menarik langkah keluar. Ketika sudah di depan pintu, Rumaisa terkejut sekaligus senang melihat Hana--anak kandung calon suaminya ada berjalan ke arahnya bersama satu perempuan lagi. Rumaisa tidak tahu, namun ia yakin. Pasti itu teman Hana. "Nak," Rumaisa memanggil. Hana dan Keisha tetap berjalan melewati. "Hana," Hana mengerutkan kening. Ia berhenti begitu juga Keisha. Keduanya sama-sama menengok ke belakang. "Siapa, Han?" Keisha melirik sambil menaikkan satu alisnya. "Oh, itu pembantu gue." jawab Hana terdengar meremehkan. "Pantes. Penampilannya kampungan." respons Keisha. "Kamu ngapain di sini, Nak?" Rumaisa bertanya sembari mengegah maju. "Gue?" Hana menunjuk dirinya sendiri. "Iya. Siapa lagi, Nak?" "Apa? Lo panggil gue apa? 'Nak'?" raut Hana berubah menjadi jijik. Rumaisa jadi tidak nyaman melihatnya. "Heh. Lo bukan ibu gue. Gue bukan anak lo. Ngapain lo panggil gue 'nak'?" lanjut Hana menekan. Sakit? Tentu. Rumaisa memikirkan bagaimana pernikahannya nanti jika anak kandung Pandu itu tidak merestui mereka. "Kamu masih belum menerima saya sebagai ibu kamu? Tidak apa-apa. Saya beri waktu biar kamu merestui hubungan saya dan ayah kamu. Tidak perlu dipaksakan, Nak." Rumaisa menjeda. "Jika kamu berpikir ibu tiri itu menyeramkan, maka saya akan merubah mindset kamu. Saya sudah menganggap kamu sebagai anak kandung saya sendiri jadi saya tidak akan memperlakukan kamu dengan kejam seperti ibu tiri di luar sana." Hana mengerjap begitupun Keisha. Omong kosong apa ini?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD