Chapter 37: Tidak Diduga

1009 Words
Hana melipat tangan di d**a. Kedua pahanya juga melempit, menambahkan kesan sombong. "Jelasin. Maksud lo apa? Kenapa lo ngaku-ngaku kalau lo calon ibu gue?" Hana memulai interogasinya. Sekarang, Hana dan Rumaisa berada di sebuah restoran di dekat rumah sakit. Hana menyuruh Keisha untuk pulang dahulu. Keisha menurut, walaupun berat karena rasa penasarannya tidak terjawab. "Nak--" Hana mengadahkan telapak tangan, mengisyaratkan supaya Rumaisa diam. "Jangan panggil gue 'nak'. Lo pembantu gue. Tau, kan, sebutan yang dipake pembantu ke anak majikannya?" "Maaf, Non..." ujar Rumaisa merasa tidak ikhlas di hatinya. Harusnya Hana mau dipanggil 'nak'. Entah kenapa, Rumaisa tidak bisa melawan anak itu. "Lima hari lagi. Ayahmu menikah dengan saya." "Jangan ngada-ngada." Hana menatap datar. "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tanya ke ayah kamu, Na--maksud saya, Non." Rumaisa merutuki dirinya sendiri karena hampir salah sebut. "Dengar, ya. Sampai kapanpun gue enggak akan nerima lo sebagai Ibu. Ibu gue cuma satu dan itu bukan lo!" Hana menjeda. Daada kini sudah naik turun, penuh emosi dan desakan yang ia harus keluarkan sekarang juga. "Tujuan lo deketin ayah gue pasti cuma karena harta. Iya, kan?!" "Tidak. Bukan begitu." Rumaisa jelas mengelak. Tuduhan putri tirinya itu sangat jauh dengan fakta. Dan juga, ia mencintai Pandu dengan tulus. "Halah! Pembantu modelan kaya lo, gue udah paham. Lo enggak perlu pura-pura. Gue gak mudah dibohongin. Gue akan buat ayah gue bebas dari lo!" **** Chesa berusaha bangkit sekuat tenaga mungkin. Namun... rasa sakitnya mematahkan tekadnya untuk berdiri. Cairan merah itu masih mengalir. Usahanya untuk menghentikan pendarahan menjadi sia-sia. Bahkan telapaknya sudah bermandikan daarah. Tenggorokan Chesa terasa tercekat. Berkali-kali ia menyeka air mata, ia tidak sadar kalau wajahnya sekarang terdapat cairan merah berbau amis yang berasal dari kakinya sendiri. "CHESA!" bentakan keras menyebabkan kepala Chesa mendongak ke atas. Ia lega. Akhirnya penderitaan nya kini berakhir. Gio datang seperti pahlawan untuk membantunya keluar dari rasa sakitnya. Tanpa berkata apapun, Gio menggangkat Chesa dengan kedua tangannya. Ia membaringkan Chesa di brankar--bekas tempat Raka berbaring. "Sebentar. Gue panggil Suster. Lo jangan pergi ke manapun, oke?" Tanpa menunggu jawaban dari Chesa, Gio berlari keluar. Suasana di sekitarnya sangat senyap. Gio bisa memaklumi karena sudah jam sepuluh malam. "Sus, teman saya pendarahan! Saya mohon cepat ke sana. Jangan biarkan darahnya keluar banyak, Sus." ujar Gio terkesan mendesak. Suster yang baru keluar setelah menangani salah satu pasien itu, segera mengangguk. "Pasien di ruang mana yang mengalami pendarahan?" tanyanya, mulai mengikuti langkah Gio dari belakang. Ya. Ada orang yang membuka perbannya. Saya tidak tahu siapa pelakunya." sahut Gio, matanya tetap fokus ke depan. Hingga akhirnya Mereka sampai di ruangan. Suster itu menghentikan langkahnya. "Maaf, bukannya pasien di ruangan itu sudah pergi beberapa jam lalu?" "Bukan. Suster masuk ke dalam saja. Ada teman saya di sana." Meski kebingungan, suster itu pun melenggang ke dalam. Ternyata kata remaja laki-laki di sampingnya ini benar. ***** Hana menggedor pintu rumah ayahnya dengan keras sekaligus memburu. Tidak peduli dengan reaksi tetangga ketika ada yang melihatnya nanti. Hana tak memikirkan itu. Yang ia inginkan sekarang adalah penjelasan dari ayahnya langsung! "Buka!" Hana membentak. Seorang pria berumur, namun masih kelihatan muda itu muncul dari balik pintu yang dibukanya. "Hana?" Pandu sangat tidak menyangka putrinya datang. Di larut malam begini lagi. Hana tidak menyahut. Ia main masuk ke dalam begitu saja. "Jelasin ke Hana!" teriaknya. "Ada apa, sayang? Kenapa marah-marah?" Pandu berusaha sabar menghadapinya. "Kenapa Ayah khianatin Mama? Beberapa tahun lalu, ayah janji enggak akan nikahin perempuan lain lagi dan bilang kalau Ayah bakal setia sama Mama. Ayah udah ingkar janji! Ayah pembohong!" air mata Hana tumpah. Hari ini sangat menjengkelkan baginya! Raka pulang dari rumah sakit tanpa sepengetahuannya dan juga pembantu di rumahnya mengaku-ngaku sebagai calon istri ayahnya sendiri. Pandu berniat memeluk putrinya itu, namun urung. Ia takut kemarahan Hana makin bertambah. "Dengerin ayah," Pandu menarik nafas dalam-dalam. Ia hembuskan secara perlahan. "Kamu perlu sosok ibu. Sejak Leyna meninggal, kamu berubah jadi gadis kasar. Kamu berbeda. Mana putri Ayah yang cantik dan lemah lembut? Kenapa putri Ayah sekarang jadi suka teriak-teriak dan menyela pembicaraan orang yang lebih tua? Mana? Apa Tuhan sudah mengambilnya bersamaan dengan Leyna?" jeda. "Kamu butuh sosok yang bisa mengembalikan sikap kamu seperti dulu, sayang." Hana menggeleng kuat. "Aku enggak butuh wanita itu. Ibu aku cuma Leyna. Enggak ada yang bisa gantiin posisi dia. Intinya, sampai kapan pun aku gak akan merestui hubungan Ayah dan pembantu itu. Ayah kenapa, sih, jatuh cinta sama perempuan kelas bawah itu? Apa Ayah udah kena guna-guna wanita itu? Iya, hah? Hana saranin, mending Ayah putusin hubungannya sekarang. Hana yakin, wanita itu matre. Dia akan ninggalin Ayah kalau harta Ayah sudah habis." PLAK! Kedua mata Hana memanas. Begitu juga pipinya. Kedua tangan Hana mengepal kuat. Telapak lengan kirinya tergerak memegang bekas tamparan. Emosi Hana semakin memuncak, tetapi lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sesuatu. Pandu mengacak rambutnya frustasi. Ia telah melakukan kesalahan. Harusnya dia tidak menampar putrinya. "Oh, bagus." ujar Hana dengan suara gemetar. "Ayah tega nampar aku? Padahal, Hana berkata sebenarnya," "Hana..." Pandu mencoba mengatur emosinya. "Dia bukan wanita matre dan kelas bawah. Ayah sudah tahu betul calon istri ayah sendiri." "Ayah udah buta!" "Dia matre, Yah!" "Dia rendahan!" "Dia nggak sekelas sama kita!" Bentak Hana beruntun, mengelak apa yang dikatakan Ayahnya. "HANA!" mata Pandu memerah penuh amarah. "Pergi." ia memalingkan muka, enggan menatap putrinya lagi. "Hana enggak akan pernah nerima wanita itu sebagai ibu. Aku harap, Ayah inget perkataan aku sekarang." ujarnya lantas menyeka air mata dengan kasar. Ia mengayunkan kaki ke pintu. Detik demi detik, tubuhnya menghilang di telan gelapnya malam. **** Kondisi Chesa sekarang lebih baik daripada beberapa puluhan menit lalu. Suster yang tadi memperban kakinya juga sudah keluar ruangan. Tapi tidak dengan Gio. Cowok itu duduk di samping brankar Chesa. "Gi," "Hm?" Gio yang tadinya menunduk kini melengak. "Sekarang jam dua belas. Lo... nggak pulang?" Chesa sedikit tidak enak menanyakannya. Ia bukan bermaksud untuk mengusir, tapi ia memikirkan kedua orang tua Gio. Temannya itu pasti dicari oleh mereka. Gio tersenyum. "Besok pagi." "Orang tua lo... nggak cariin?" "Mereka di luar negeri. Sibuk." "Oh, ya. Katanya lo punya adik. Adik lo nggak nyariin?" "Lo enggak nyaman gue di sini, Sa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD