Chapter 38: Pertentangan

1116 Words
Chesa gelagapan. Ternyata Gio tersinggung dengan perkataannya. "Eng... enggak kok. Gue takut lo dicariin orang rumah," Chesa cengengesan untuk mencairkan suasana supaya tidak terlalu tegang. "Tenang. Sebelum pergi, gue izin ke Kakak." "Oh," Keduanya kembali diam. Gio melirik Chesa sejenak. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk menanyakan itu. "Sa..." "Ya?" "Lo mau jujur? Jawab jujur pertanyaan gue, ya?" "Kenapa enggak?" sudut bibir Chesa terangkat. "Perban di kaki sama siku lo, siapa yang buka? Maksud gue, siapa yang ganggu lo? Apa Hana sama Keisha?" Chesa mengibaskan cepat tangannya. "Bukan mereka. Hari ini aja gue nggak ketemu Hana apalagi Keisha." Alis Gio terangkat. Rupanya itu terlihat curiga. "Lo gak bohong, kan?" Lidah Chesa mendadak kelu. Sesuatu menahannya untuk berbicara. Cukup satu kali saja dia berbohong. Jangan dua kali. "Benar dugaan gue." Gio mendecak lirih. "Gue akan kasih pelajaran ke mereka berdua besok." Kedua mata Chesa terbelalak. "Ja--jangan. Mereka nanti malah tambah benci gue, Gi. Gue... tau betul sifat mereka." "Kalau dibiarin, sama aja. Mereka akan tetap gangguin lo, kan? Mending gue kasih aja mereka pelajaran biar enggak ganggu lo lagi." "Jangan gitu, Gi. Gue udah maafin mereka kok. Kasih pelajaran ke Mereka itu cuma bikin masalah tambah panjang, Gi." jelas Chesa. "Lo jadi orang terlalu baik, Sa." Gio mulai jengkel. Chesa harus mengalihkan topik pembicaraan daripada Gio terus membicarakan kedua orang yang menurutnya tidak perlu. "Gue mau haus. Ada air enggak?" "Di sini gak ada. Bentar gue beli dulu." Gio mulai berdiri. Chesa menjadi gelisah. Bagaimana jika Hana muncul lagi dan menyerangnya? "Enggak perlu, Gi. Hausnya udah hilang." ucap Chesa tiba-tiba. Ya Tuhan, semoga saja Gio tidak meninggalkannya sendirian di tempat ini. Gio tiba-tiba menangkup pipi Chesa menggunakan kedua tangannya. Ia perlahan tersenyum, menambah ketampanan di wajahnya. "lo ngerasa enggak enak, ya? Gue gak keberatan kalau harus jadi babu lo. Yang penting, lo sembuh." Chesa menurunkan pandangan. Ia menelan saliva dengan susah payah. "Kalian ngapain di sini?!" *** Hana menerobos masuk begitu Keisha membuka pintu. Ia kemudian mengunci dirinya sendiri di kamar milik sahabatnya itu. Melihat keadaan Hana yang menyedihkan, Keisha buru-buru menyusul. Ia mengetuk pintu berulang kali. "Han, lo kenapa, Han? Buka pintunya. Cerita ke gue siapa yang bikin lo nangis?" Keisha membuang nafas kasar. "buka dong, Han. Kenapa lo jadi cewek cengeng? Han, lo enggak kasihan sama gue apa? Kalau nanti lo kunci terus pintunya, gue tidur di mana? Mana di sini dingin banget." ujar Keisha. Curhat Di dalam sana, Hana mengamati sebuah foto di ponselnya. "Mama kenapa ninggalin aku? Ayah enggak sayang sama aku. Masa Ayah nampar aku dan belain pembantu itu. Hana butuh Mama sekarang. Kenapa Mama pergi duluan?" isaknya. Bulir bening dari dua matanya itu mengenai layar ponsel yang sedang ia genggam. Foto itu diambil saat Hana berusia 7 tahun... "Mama! aku mau beli ice cleam di sana, Ma!" Hana menarik-narik ujung baju ibunya. Leyna kontan melihat ke bawah. "Tidak boleh, sayang. Nanti gigi kamu tambah rusak." sahut Leyna membuat Hana cemberut. "Tapi, kan, cuman sehali aja, Ma. Enggak setiap hali." Hana menghentakkan kaki. Leyna yakin sebentar lagi anaknya menangis, namun ia tidak mau Hana sakit gigi lagi. Leyna berjongkok, menyamai tinggi tubuh Hana yang lebih pendek. "Mama bilang tidak boleh, ya, tetap tidak boleh, sayang. Kamu beli yang lain aja, ya? "Iya udah, deh." Hana akhirnya menurut. Ia tidak ingin membuat ibunya sedih. "Anak pintar." "Kamu ngurusin anak gimana sih? Kalau Hana mau ice cream, kenapa tidak dibelikan saja?" Pandu muncul dari arah belakang. Ia tadi sedang mengobrol dengan teman lamanya, namun ketika mendengar Hana merengek, meminta dibelikan sesuatu, Pandu memutuskan untuk mendatangi putri dan istrinya itu. Leyna melengak. Ia berdiri, "dua hari lalu Hana sakit gigi, Mas. Tidak baik kalau dia makan ice cream hari ini." "Sakit gigi itu dua hari lalu. Putri kita kuat. Dia tidak mungkin sakit gigi lagi." sorot mata Pandu terlihat keras dan tidak suka ditentang. Melihat ibunya dimarahi, Hana merasa bersalah. "Hana udah enggak mau ice cleam lagi, Yah. Mama nggak pelu beliin Hana ice cleam. Oh iya! Kita foto beltiga aja yuk, Ma, Yah!" Pandu mengangguk begitupun Leyna. Keduanya menuntun Hana di sudut yang biasa digunakan untuk memotret. "Kenapa Mama sama Ayah jauh?" telapak mungil Hana bergerak meraih lengan ibu dan juga ayahnya, kemudian dia membuat kedua orang tuanya saling menggenggam satu sama lain. Leyna dan Pandu saling bertatapan. Tapi, Pandu langsung memalingkan muka. Leyna menyuruh seseorang untuk memfoto kan Mereka bertiga. Satu foto berhasil dipotret. Hana dan Leyna tersenyum, tapi tidak dengan Pandu. Sudut bibir Pria itu datar. **** Seorang wanita ditemukan tewas mengenaskan di dalam mobilnya. Polisi menduga wanita itu merupakan korban tabrak lari di malam hari. Sampai saat ini, identitas korban belum ditemukan. Pandu terduduk lemas usai mendengar berita tersebut. Ia segera mematikan televisi. Mobil itu... mirip mobil Istrinya, Leyna. Berarti di dalamnya... "Ayah, Mama mana?" Hana kecil baru saja bangun dari tidurnya. Pandu spontan menoleh, dan mendekap erat anak satu-satunya. "Ayah kenapa?" Pandu semakin mengeratkan pelukan. Ia menatap langit-langit. Hana merasa sesak. "Ayah, Hana gak bisa nafas," ucapnya. Pandu melepaskan pelukan. "kamu tunggu di sini, oke? Ayah mau pergi, jemput ibu kamu," Raut Hana mendadak sumringah. "Ayah mau bawa Mama pulang? Makasih, Ayah!" Hana tersenyum lebar. "Yeay! Mama mau ke sini!" "Sebentar lagi aku mau ketemu Mamah!" "Yeay! Yeay!" Hana berlarian sambil berteriak riang. Pandu tersentuh melihatnya. Bagaimana reaksi putri kecilnya itu ketika tahu kalau ibunya meninggal? Pandu melangkah pergi. Ia ke rumah sakit dan mengkonfirmasi kalau jenazah itu adalah istrinya. Pandu disuruh berjalan ke ruang jenazah. Saat dia membuka kain putih untuk melihat muka Leyna, seketika Pandu terkejut mendapati wajah Leyna yang sudah tidak dikenali lagi alias hancur. Pandu menangis terisak dan menumpahkan kepedihannya di sana. Jenazah itu dibawa ke kediaman Pandu. Hana menatap kosong jenazah orang yang tidak ia kenali, tapi di atas jenazah itu ada foto ibunya yang tersenyum manis. "Ayah, itu siapa?" dengan polosnya Hana bertanya. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu pasti bisa melewati semua ini. Ayah yakin. Ayah akan selalu ada buat kamu," Jawaban sang ayah membuat Hana mengernyit. "Ayah kenapa?" Pandu diam. Tak menjawab. Hana termenung, menatap kosong jenazah di dekatnya, tapi mata yang kosong itu berubah menjadi sipit ketika ia tersenyum setelah melihat foto ibunya. "Ayah, katanya mau bawa Mama pulang. Mana? Ayah bohong kaya Fian, ya?" Fian adalah anak seumuran Hana yang suka mengganggu Hana di sekolah. Keduanya tidak jarang bertengkar bahkan setiap hari. "Ada Ayah, Nak." Pandu terus menguatkan tanpa berani mengatakan yang sebenarnya. Hana mendecak sebal. Ayah kenapa sih, batinnya mulai jengkel. Lama kelamaan, rumah berukuran besar itu mulai dimasuki oleh banyak orang. Hana terheran-heran. "Ayah, ulang tahun aku kan minggu depan. Kenapa banyak orang yang datang ke sini?" Hana menengok ke samping. Saat itulah Ayahnya berdiri dan meninggalkannya. Hana berniat untuk mengikuti sang ayah, tapi orang menyebalkan mendadak muncul di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD