Chapter 39: Masa Lalu

1022 Words
Hana kecil memicing ke arah Fian. Rautnya berusah menjadi masam dan penuh dendam. Sering Mereka bertengkar dan biasanya Leyna yang melerai Mereka, tapi sekarang... "Fian ngapain di sini?!" Hana menaikkan intonasi suaranya. Anak laki-laki berumur 8 tahun itu memeletkan lidah, membuat Hana gatal sekali ingin menaboknya. "Ye ye! Gue sekarang masih punya ibu. Lo enggak!" Hana mendengus. Ia melipat tangan di d**a. Pipinya menggembung dengan wajah merah padam. "Aku masih punya ibu!" "Lo gak punya Ibu!" "Mama masih hidup!" "Ibu lo udah mati! Itu jenazah ibu lo! Lo gak liat?!" "ENGGAK! MAMA ENGGAK MATI! MAMA ADA SAMA AKU! MAMA NANTI PULANG NEMUIN AKU!" Kedua mata Hana yang tadi terpejam kini mendadak terbuka sempurna. Kejadian bertahun-tahun lalu, ketika dirinya masih kecil kini terlintas di mimpinya. Hana mengusap keningnya yang sudah penuh keringat. "Gue akan nemuin lo, Fian." tekad Hana. Beberapa tahun silam, ia menjadi korban bullying teman laki-laki sekelasnya itu. Sekarang, Hana akan membalas tanpa ampun jika ia bertemu dengan Fian. **** Rumaisa terkejut melihat seorang laki-laki bersama putrinya. Mereka terlihat mesra lagi. "Saya temannya Chesa, Tante." Gio menjabat lengan Rumaisa, Rumaisa menerima seraya tersenyum tipis. "Kenapa kalian ada di ruangan ini? Apa Dokter yang menyuruhnya?" tanya Rumaisa dengan nada tegas. "Bu--" "Enggak, Ma. Tadi perban aku lepas, jadi terpaksa pindah ke sini buat perban kaki sama siku lagi deh." potong Chesa. Gio merasa aneh, jelas ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu, tapi Gio tidak tahu. "Lepas? Kamu lepas perban atau bagaimana?" Rumaisa terheran-heran. "Tadi... itu... A--aku..." Chesa menjeda. Ia harus bilang apa? Ini sungguh menguras otak baginya! "Kaki. Ya! Kaki aku tadi kerasa gatel gitu jadi aku buka buat mastiin. Siapa tau aja, ada apa-apa." Chesa lega. Mungkin alasan itu sudah tepat. "Kenapa kamu main lepas perban itu? Bisa saja nanti jadi infeksi. Harusnya kamu tidak melepasnya." Rumaisa menasehati. Chesa mengangguk. Merasa dirinya sudah tidak dibutuhkan lagi, Gio berniat untuk pamit pulang. "Tante, saya pulang ." "Eh, jangan. Ini sudah larut malam. Di luar sana rawan kejahatan. Kamu menginap di sini saja sekalian jagain Chesa dan nemenin saya." saran Rumaisa. "Enggak apa-apa, Tan?" dengan bodohnya Gio bertanya. Jelaslah tidak apa-apa! "Kenapa tidak?" sudut bibir Rumaisa melengkung, membentuk senyum indah. "Kamu... dekat sama putri saya?" Dari kejauhan sana, Chesa mengerut heran. Mereka membicarakan apa sampai-sampai ibunya terlihat berbisik. "Saya cuma temannya, Tante. " "Teman? Kenapa kalian kelihatan dekat sekali tadi? Saya lihat, loh, kamu menangkup pipi anak saya." lirih Rumaisa. Gio kehabisan kata-kata. "Maafin saya, Tan. Saya tadi--" "Jaga Chesa dengan baik, ya. Saya titipkan tanggung jawab itu ke kamu." Rumaisa memundurkan langkah, menciptakan jarak. "Ruangan ini pasti dipakai orang besok. Lebih baik pindah sekarang. Kamu bisa jalan sendiri, kan?" pertanyaan Rumaisa mengarah ke Chesa. Chesa menggeleng. "Enggak, Ma." "Biar saya aja yang bawa anak Tante." "Oh. Bagus lah." Rumaisa merespons baik. Gio mendatangi Chesa. Yang didatangi rautnya mendadak tegang. Gio... mau membawanya seperti apa? "Ha--" Chesa membekap mulutnya sendiri, menahan teriakan yang nyaris keluar dari mulutnya tepat saat Gio menggendongnya dengan kedua tangan. Rumaisa menatap takjub. Kelihatannya Gio sangat menyayangi Chesa. Mereka bertiga akhirnya sampai di ruang rawat Chesa sesungguhnya. **** Raka membeli sebuket bunga mawar pink sebelum dirinya ke rumah sakit untuk menjenguk Chesa. Kemarin ia dan Chesa belum sempat bertemu, tapi sekarang semoga saja bisa. "Mau ke mana lo? Bawa bunga lagi. Cewek siapa yang mau lo tembak?" tanya Devian begitu melihat temannya berpakaian rapi dengan sebuket bunga seperti bersiap-siap pergi ke suatu tempat. "Kalau ditembak, matilah." jawab Raka, memakaikan helm kemudian menaiki motor sport milik Devian. "Bukan gitu maksud gue." Devian mendecak berulang kali. "Hana sebentar lagi dateng. Bilang aja gue di rumah Bokap dan nanti malam pulangnya." Raka tancap gas seketika itu juga. Devian mencak-mencak, tapi ia juga senang, sih. Akhirnya dia bertemu dengan Hana dan bisa menghabiskan waktu dengan gadis itu (kalau Hana mau). Tiga puluh menit. Raka turun dari motornya. Sekarang, ia sudah sampai di depan rumah sakit besar dan menjulamg tinggi itu. Ia sukses menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Wajah tampan dengan sebuket bunga. Siapa coba yang jantungnya tidak jumpalitan setelah melihat itu?! Tanpa bertanya dahulu, Raka masuk. Lagian ia tahu di mana ruangannya. Tinggal melewati beberapa pintu lagi, Raka menghentikan langkahnya sendiri usai melihat Gio melintas di sampingnya. Tumben sekali cowok macam itu datang ke rumah sakit. Raka menampik pikiran curiganya. Tidak mungkin Gio menjenguk Chesa. "Permisi," Raka mulai membuka pintu. Ia langsung disambut tatapan tajam oleh sosok di samping Chesa. "Tante apa kabar?" Raka berusaha untuk sopan agar ibu gadisnya itu tidak menatapnya dengan sinis lagi. "Baik. Buat apa kamu ke sini?" "Saya mau jenguk anak Tante." sahut Raka ramah. "Raka? Kamu enggak sekolah?" tanya Chesa. "Ini tanggal merah, Ches." Raka menjawab. "Kamu bawa apa? Cuma bunga doang?" nada bicara Rumaisa terdengar meremehkan. "Maaf, Tan. Tadi saya mau beli buah-buahan, tapi warungnya belum ada yang buka." oke, sekarang Raka seperti anak yang sedang dimarahi oleh ibunya karena salah membelikan sesuatu. "Tenang aja. Gue suka bunga mawar kok. Siniin bunganya." Chesa tersenyum sumringah. Raka ikut tersenyum melihatnya. "Eh, kamu mau apa? Duduk?" tanya Rumaisa saat melihat Raka mulai mendekat. "Mama..." Chesa merasa tidak enak sendiri akibat sikap ibunya yang sepertinya tak menyukai Raka berada di sini. "Lo boleh duduk di sebelah gue, Raka." ujar Chesa. "Jangan. Duduk di sofa itu saja." ucap Rumaisa. Raka menghela nafas. Pada akhirnya ia menuruti perkataan orang yang lebih tua. Ponsel Rumaisa tiba-tiba berdering. Terpaksa ia keluar dari ruangan itu untuk mengangkat telefon. Chesa melempar senyum begitu pun sebaliknya. Mereka seperti berbicara dalam hati dan saling menyahut lewat tatapan mata. "Kalian kenapa?" tanya Rumaisa. Ia telah selesai mengangkat telefon seseorang. "Enggak kok, Tan." "Enggak kok, Ta--Mama." Chesa gelagapan. Mengapa ia ikut-ikutan Raka? Melihat kekompakan Mereka, Rumaisa geleng-geleng kepala. Ia mengambil tasnya, bersiap-siap akan pergi. "Mama mau ke mana? Pulang?" pandangan Chesa mengikuti pergerakan ibunya. "Iya. Ayah kamu suruh Ibu pulang. Nanti Ayah kamu yang ke sini beberapa jam lagi." jawab Rumaisa tanpa mengalihkan amatannya dari benda yang ia masukkan ke tas. Setelah selesai, Rumaisa menutup tas lalu menyelempangkan ke bahunya. Rumaisa berhenti tepat di dekat pintu. "Kamu." matanya mengarah ke Raka, Raka mendongak. "jaga Chesa. Jangan sampai dia kenapa-kenapa gara-gara kamu untuk kedua kalinya." ujar Rumaisa penuh peringatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD