Chapter 40: Tanggung Jawab

1011 Words
Raka mengangguk sebagai jawaban. Rumaisa memalingkan muka, kembali melanjutkan langkahnya. "Maaf gue nggak pamit kemarin." Raka memulai pembicaraannya dengan Chesa. "Enggak apa-apa kok. Lagian salah gue juga. Harusnya gue gak usah tidur. Lo pasti ke ruangan gue kemarin, kan?" "Iya. Gue nggak tega bangunin tuan putri lagi tertidur pulas," Chesa tertawa kecil. "Ish. Gue manusia biasa. Oh iya, maafin sikap Ibu karena udah sinis ke lo. Lo pasti tadi ngerasa gak nyaman ya?" "Nyaman, Chesa. Gue bukan cowok baperan kaya Devian jadi sekalipun ibu lo bentak gue, gue gak bakal kesinggung apalagi nangis." Chesa mendesau lega. Dugaannya salah, ia kira Raka akan marah atau apapun itu. "Raka, mau ngabulin permintaan gue enggak?" "Hm." "Bisa ajak gue jalan-jalan keluar? Gue bosen di dalam terus. Boleh, kan, Raka?" tanya Chesa, memohon. "Boleh." Raka berdiri, mengambil kursi roda yang terletak di sudut ruangan. Dengan hati-hati Raka membantu Chesa untuk duduk. Chesa bingung dengan jantungnya sendiri karena setiap kali dia dekat dengan Raka, jantungnya itu terasa berjempalitan. Chesa tidak tahu kenapa. Dia harus bertanya pada seseorang nanti. Raka mulai mendorong kursi roda itu keluar. Mereka sesekali membalas sapaan pasien lain yang melintas. Raka menghentikan kursi rodanya di taman rumah sakit yang di dekatnya penuh bunga bermacam warna. Chesa menghirup udara segar dan masih belum tercemar oleh polusi lantaran sekarang masih pagi. Jam enam tepatnya. "Gimana? Suka, kan?" tanya Raka, tahu-tahu sudah duduk di bangku sebelah kursi roda Chesa. Ia mendongak, memejamkan mata. Chesa menengok ke samping. Menampak Raka dengan wajah seperti itu, Chesa jadi gugup sendiri dan... jantungnya kembali berdentam kencang. Merasa diperhatikan, Raka menoleh. Kedua mata mereka bertemu dalam satu sudut lurus. "Cantik." gumam Raka tanpa sadar. "Kenapa?" Raka menggeleng. "Enggak." "Barusan lo tadi kayaknya ngomong sesuatu," Chesa menaruh curiga. "Hah? Kapan? Salah denger kali." elak Raka. "Enggak. Gue gak salah denger. Jelas-jelas ta--" Raka langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir Chesa. "Sst. Masih pagi, gak boleh marah-marah." Chesa diam. Bungkam. Terpaku. Ya Tuhan! Situasi apa ini. "Gue senang bisa jagain lo kaya gini," Raka menjauhkan jari telunjuknya. Chesa sedikit lega, detak jantungnya perlahan normal kembali. "Ches?" Raka memastikan setelah beberapa detik perkataannya tidak dibalas. "Ya?" "Pagi-pagi udah melamun." "Raka, tadi malam Hana mau jenguk kamu." ucap Chesa pelan, tapi seketika Raka menegakkan duduknya. "lo belum kasih tau Hana kalau lo udah pulang, Ka? " Buat apa? lagian enggak ada gunanya kasih tau dia. Lo liat Hana? semalam lo enggak diganggu dia kan?" tanya Raka memastikan. Chesa menggigit bibir bawah. Ia tidak mau memberitahu Raka terlebih dahulu. Cukup dirinya sendiri saja yang tahu. "Jawab gue, Ches." lanjut Raka, mendesak. "Lo diapain sama dia, hm? Cerita ke gue. Gue ini sahabat lo dari kecil. Gue tau lo nyembunyiin sesuatu." tambah Raka mendorong Chesa untuk berbicara jujur. Telapak tangan Raka bergerak menggenggam hangat punggung tangan lawan bicaranya. "gue siap jadi teman curhat lo. Gue juga siap jadi sandaran lo. Kalau lo mau berbagi sakit, gue siap menerima supaya rasa sakit lo berkurang dan lo bahagia." Chesa terharu mendengarnya. Benar, hanya Raka yang mengerti dirinya. Tanpa mengucapkan petunjuk apapun, Raka sudah mengetahui isi hatinya hanya dengan lewat tatapan mata. Apa mungkin... ini yang namanya cinta? "Janji dulu," Chesa akhirnya bersuara. "Apa?" "Janji kalau kamu enggak bakal marahin atau berbuat sesuatu yang buruk ke Hana, ya?" Chesa menatap Raka. "Janji." balas Raka. "Jadi kemarin malam, aku bangun. Keinget kamu. Aku jalan ke ruangan kamu dengan berharap, kamu masih ada di rumah sakit. Tapi ternyata enggak ada. Aku mau balik ke ruangan aku sendiri, tapi Hana sama Keisha muncul." jeda. Chesa bingung. Ia takut perkataannya ini akan menambah masalah. Namun..ia berusaha untuk mempercayai Raka sepenuhnya. "Mereka buka paksa perban aku," Chesa berusaha tersenyum bersamaan dengan air matanya yang turun. "Apa? Berani-beraninya mereka--" "Kamu udah janji." peringat Chesa. "maaf, aku udah nyela perkataan kamu," "Terus gimana keadaan kaki sama siku kamu? apa baik-baik aja? s**l. Andaikan aku enggak pulang kemarin." Raka merutuki dirinya sendiri. Chesa mengibaskan tangan. "Bukan salah kamu. Kaki sama tangan aku baik-baik aja sekarang. Kamu jangan ngelanggar janji, ya?" "Hm." "RAKA!" Chesa tergemap. Otomatis ia merapatkan bibir agar tidak bicara lagi. Hana datang! Ia tahu betul siapa suara lantang cewek itu. Raka mendecak. "Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke mana-mana. Capek tau enggak. Kemarin, kenapa kamu enggak kasih tau aku kalau kamu pulang dari rumah sakit? Malam kemarin, aku belain dateng ke rumah sakit ini buat ketemu kamu. Eh, tau-tau, kamu udah pulang." Hana mulai berbicara tanpa henti. Ia mendarat di sebelah Raka. Raka merotasikan bola mata. "Iya." jawabnya malas. "Chesa, gimana keadaan kamu?" tanya Hana begitu lemah lembut. Berbeda saat tidak ada Raka. "Baik," respons Chesa lirih dan terlihat takut di sorot matanya. "Kalian berdua lagi ngapain di sini?" Hana menatap Chesa dan Raka secara bergantian. Ingin rasanya dia duduk di antara kedua orang itu, tapi ia tak mau Raka merasa terganggu dan akhirnya membenci dirinya. "Bicara." Raka menyahut. "Bicara apa?" "Apa aja." "Raka, kamu mau enggak ikut aku jalan? Hari ini kamu selesai, kan, jenguk Chesa?" Hana bertanya sambil terus menengok ke samping. "Belum. Lo kalau mau pergi duluan, silahkan." respons Raka, masih tidak mau menolehkan wajahnya. "Kamu marah sama aku?" tanya Hana. pasti si parasit itu udah cuci otak Raka, lanjutnya membatin. "Nggak." "Terus kenapa kamu keliatan enggak suka gitu? sini dong, menghadap aku." Hana berusaha membuat Raka mengarah padanya. Namun, Raka tetap tidak mau. Dekat-dekat dengan Hana saja ogah, apalagi menatapnya. Chesa memberi isyarat. Anehnya, Raka langsung menurut dan menghadapkan badan ke arah Hana. "Mau lo apa, sih, Hana?' "Kita nonton hari ini yuk!" balas Hana sumringah. "Enggak." tolak Raka mentah-mentah. "Yah, kenapa? Hari ini kamu enggak sibuk, kan?" Hana kecewa mendengarnya. "Sibuk." "Sibuk apa?" "Jagain Chesa." Tatapan Hana berubah menjadi tatapan benci sekaligus tajam. Lagi-lagi gadis itu menjadi tembok penghalang dan penghambat dalam hubungannya. "Ada Ibunya, Raka." Hana beralih meninjau Chesa yang berada di balik punggung Raka. "Iya, kan, Sa? Udah ada Ibu yang jagain kamu, kan?" tanyanya. Kedua matanya itu mengamati Chesa dengan tajam sekaligus menusuk supaya gadis itu mengiyakan. "I--iya." sahut Chesa. "Ibunya dia barusan pulang dan nyuruh gue buat jaga Chesa. Jadi sebaiknya lo yang pulang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD