Chapter 41: Pengganggu

1040 Words
Hana benci mendengar kata yang dilontarkan Raka barusan. Diam-diam tangan kanannya mengepal kuat. Namun Hana berusaha untuk menyembunyikan kebenciannya. Jangan sampai Raka mengetahui sifat aslinya. "Aku... ganggu kalian berdua, ya?" "Iya." Raka menjawab. Kedua mata Chesa terbelalak. Ketakutan mulai menyelimuti dirinya. Hana pasti susah marah dan akan menggangu nya nanti. "Oke, aku pergi sekarang, tapi besok kamu harus jalan sama aku. Janji?" Hana tetap pada pendiriannya, ia masih bersikap riang. "Hm." Raka berdeham. Hana berdiri, mulai meninggalkan tempat itu. Saat dia melintasi Chesa, Hana meninjau tajam sekaligus sinis. ​Awas aja lo, Parasit, ​batin Hana. Usai Hana benar-benar pergi dan tidak lagi berada di dekat mereka, Raka menengok kembali ke arah Chesa. "Sikap kamu terlalu kasar tadi," kata Chesa. "Lebih kasar dia. Kamu merasa bersalah?" "Iya. Kamu tau, kan, sifatnya Hana kaya gimana? Seharusnya kamu bersikap baik ke dia biar dia enggak tahu kalau ingatan kamu udah kembali," jelas Chesa langsung dibalas gelengan oleh kepala Raka. "Aku nggak bisa berpura-pura, Ches. Aku gak mau jauhin sahabat gue dari kecil." "Aku sahabat kamu? Sejak kapan?" Chesa berpura-pura tidak tahu. Raka menyentil kening Chesa, membuat gadis itu mengaduh kesakitan. "Sejak kapan kamu jadi pikun kaya gini?" "Sakit," keluh Chesa seraya membersut. "Maaf," ucap Raka, mulai mengelus kening Chesa penuh kasih sayang. "Jangan digituin. Malah tambah sakit tau." "Terus mau diapain?" Raka mendekatkan mulutnya di telinga Chesa. "Apa aku harus pakai cara Dilan buat nyembuhin luka kamu?" "Dilan siapa?" sungguh. Chesa tidak pernah mendengar nama itu. "Perasaan di sekolah kita, enggak ada yang namanya Dilan," "Kamu enggak nonton televisi ternyata." Raka menjauhkan wajahnya, lantas duduk seperti semula. "Televisi? Dilan itu artis, ya? Aku mau liat fotonya dong." Chesa tampak sangat bersemangat. "Eh, jangan. Nanti kamu suka sama dia terus lupain aku lagi." "Enggak. Aku bukan tipe cewek yang suka cowok hanya karena lihat fotonya doang." kata Chesa membela dirinya sendiri. "Aku nggak bawa ponsel, Ches." "Yah. Bilang dong dari tadi. Oh iya, gimana cara Dilan nyembuhin luka? Kasih tau. Aku mau praktekin sekarang." ujar Chesa menggebu-gebu, tidak sabar mendengar jawabannya. "Beneran mau tau?" "Iya!" "Aku harap, kamu gak nyesel setelah dengar jawabannya." "Jangan bikin aku penasaran, Raka!" Chesa berusaha sabar menghadapi satu makhluk di depannya ini. "Jangan pukul aku setelah kamu dengar caranya. Kamu harus janji." Chesa mendecak. "Iya. Janji." "Yang ikhlas dong." Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam. Setelah menghembuskan perlahan, "aku janji gak akan pukul Raka setelah mendengar cara Dilan nyembuhin luka atau apapun itu." ujarnya ogah-ogahan. "Udah kan? kasih tau caranya." "Cium." Kedua mata Chesa membulat sempurna. Refleks dia menampar keras pipi Raka. Raka mengaduh. "Udah janji enggak pukul aku, loh." ucap Raka, memegangi bekas tamparan Chesa. "Lo modus, ya?!" Chesa balik tanya. Ia sedikit membentak dan sebutan lo-gue nya keluar lagi. ​Hadeh "Kamu sendiri yang nanya. Ya udah aku jawab. Kamu marah?" "Jelas! Gue bukan cewek murahan, yang setelah denger itu, langsung mau." ujar Chesa mulai tersulut emosi. Ia berusaha mendorong kursi rodanya, meninggalkan Raka. Namun, ada yang menyangkut. Chesa jadi kesusahan untuk menggerakkan kursi rodanya. "Ada rumput. Bentar, gue ambil." Raka berjongkok, mengambil rumput yang tadi ia sebut. Setelah selesai, tangannya bergerak untuk mendorong. "Eh, biar gue aja. Jangan." Chesa berusaha mengelak, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Bahaya jalan sendirian, tuan putri." sahut Raka. "Bahaya apa? Gue bisa jalan sendiri kok!" lagi-lagi Chesa marah. "Kamu masih marah soal Dilan itu?" "Enggak." "Terus kenapa nada bicara kamu beda?" "Terserah gue dong!" Raka terus menjalankan kursi roda seraya cekcok dengan Chesa. Sejauh ini, Raka mengambil hikmah. Ternyata perkataan Devian benar, cewek yang sedang PMS, menyeramkan. Salah bicara dikit saja, langsung kena omelan panjang dan merambah ke mana-mana. "Kalian?" sosok tegap berpakaian amat rapi berdiri di hadapan Mereka berdua. Mulut Chesa berhenti mengoceh, sedangkan Raka menghentikan kursi rodanya sambil menatap penasaran. ***** "s**l!" Hana membanting tas slempang nya ke meja. Keisha terperanjat melihat kejadian itu. Ia buru-buru berdiri. Televisi yang tadi menyala, sekarang ia matikan. "Kenapa, Han?" "Dia rebut Raka dari gue! Gue benci parasit itu! Kemarin seharusnya kita matiin aja itu parasit biar enggak muncul di hidup gue lagi!" "Maksud lo... Chesa?" "Iya! Trus siapa lagi? Lo kok lamban banget sih!" Hana melotot ke arah Keisha. Keisha manggut-manggut. "Ta-- tapi lo jangan lenyapin seseorang, Han. Gue gak mau lo masuk penjara nanti." "Diem lo! Lo teman gue atau parasit itu sih?!" "Teman lo, lah." "Iya udah! Lo harus bantuin rencana gue!" senyum miring Hana terbit. Mungkin rencana itu akan membuat Chesa trauma berat dan tidak mendekati Raka lagi. "Rencana... apa?" **** Raka terkejut. Ralat, ia sangat sangat terkejut. Pandu--ayah Hana datang mendatanginya dan Chesa. Tahu apa yang membuatnya tercengang? Chesa menyebut Pandu dengan sebutan 'ayah'. Selama ini Raka menyangka, bukan Pandu ayah tiri sahabatnya itu. Ia mengira orang lain. Namun, perkiraannya salah besar. Kenyataan ini berhasil mengusik pikiran Raka. Tidak, ia tidak mau Chesa menderita. Putrinya saja sangat gemar mengganggu Chesa, apalagi ayahnya. "Kalian berteman?" tanya Pandu ramah. Lamunan Raka buyar. "Iya, Om. Dia sahabat saya sejak kecil." jawab Raka. "Kalian sahabat? Kenapa kamu tidak menceritakan tentang sahabatmu itu pada Ayah, Chesa?" tanya Pandu, kini beralih meninjau Chesa. "Aku lupa, Yah. Maaf, hehe..." responsnya. "Jadi, kenapa kalian terlihat bertengkar tadi? Apa ada masalah? Siapa tahu, Ayah bisa bantu menyelesaikannya." "Bukan masalah berat kok." tampik Chesa. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu cerita ke Ayah." ucap Pandu langsung dibalas anggukan oleh Chesa. Raka memerhatikan pria di depannya ini. Sifat Ayah dan anak ternyata berbeda. Raka menjadi sedikit lega. Namun.. bisa saja pria itu berpura-pura, kan? "Kata Dokter, dua hari lagi kamu boleh pulang." Mendengar kabar baik dari Ayah tirinya itu, Chesa hampir berteriak kesenangan, namun ia tahan mati-matian. "Dan juga, dua hari lagi Ibu kamu dan saya tunangan. Raka, kamu bisa datang untuk menemani Chesa. apa kamu bersedia?" Raka melenggut. "dengan senang hati, Om." "Baguslah." "Apa kalian berdua sudah makan?" "Saya sudah sarapan di rumah, Om." tolak Raka secara halus. "Aku juga udah sarapan, Om--eh, ayah." Ya, meskipun Chesa masih kaku menyebut Pandu dengan sebutan 'ayah' namun dia berusaha untuk lancar memanggilnya. "Kalau kamu belum siap memanggil saya Ayah, tidak apa-apa, Nak. santai saja." Sosok Ayahnya kini melintas di pikiran Chesa. Ayah yang sudah lama ia rindukan. Ayah yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpai olehnya. Tetapi, Chesa masih tidak bisa memanggil Pandu dengan sebutan 'ayah'. Ia tidak yakin dengan dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD