Chapter 42: Sosok Yang Sama

1056 Words
Dua hari berlalu cepat. Chesa sudah dibolehkan pulang oleh Sang Dokter. Tadi pagi, perban di kaki dan lengannya sudah dilepas. Sekarang, Chesa tinggal menunggu kedatangan ibunya. Sungguh, ia tidak sabar untuk pulang dan bertemu Lova, adiknya. Dia juga rindu masakan sang ibu. Selama di rumah sakit, Chesa memakan makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Tidak terasa, sudah tiga puluh menit Chesa duduk dan menunggu. Mengapa ibunya sangat lama sekali datang? Chesa berdiri, ia menengok ke arah luar. Ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda ibunya akan datang. Chesa mulai maju mundur tidak jelas seperti setrika yang biasa dipakai ibu-ibu. Apa jangan-jangan ibunya lupa? Chesa harus mengirim pesan sekarang. Ketika jarinya sedang mengetik, suara langkah mendekat terdengar. "Ibu kamu suruh aku buat jemput." Chesa refleks mengalihkan pandangan. Ia mendapati Raka sedang berdiri dengan pakaian rapi dan wangi parfumnya menyerbak di indra penciuman Chesa. "Gak nanya." Chesa pura-pura bersikap sinis. Dia tidak tahu, ekspresi itu sangat tidak pas dengan wajahnya yang soft. Raka jadi merasa gemas sendiri. Ia melangkah lebar menuju Chesa, kemudian dua tangannya terulur mencubit gemas pipi gadis itu. "Jatuhnya lucu." ucap Raka. "Apanya?" Chesa heran sendiri. Niat iseng ingin membuat Raka terpancing emosi, eh malah pipinya yang menjadi korban. "Kamu," "Muka aku ada yang salah?" Chesa meraba-raba wajahnya untuk memastikan, namun ia tidak menemukan hal yang salah. "Kamu bohong, ya?" tanyanya dengan raut tajam. "Aku gak pernah bilang kalau wajah kamu yang lucu." Raka tersenyum. "Kamu udah siap? Ibu sama Om Pandu nungguin kamu," "Jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu bilang 'lucu' tadi?" "Pertanyaan itu nanti aku jawab di rumah kamu. Oke? Sekarang, kita pulang. Orang rumah udah nungguin kamu, sayang." Bluss! Kedua pipi Chesa mendadak merah merona. Tidak! Ia harus bersikap normal seperti biasa. "Tunggu. Tadi kamu manggil aku apa?" Raka terdiam sejenak. Tadi mengapa lidahnya keceplosan berkata seperti itu. Tapi untung saja Chesa bertingkah biasa saja. Seperti tidak mendengarnya. "Manggil apa? Enggak kok. Kamu salah denger kali." respons Raka. "Masa, sih?" "Ayo pulang. Mau nginep di sini lagi?'" Raka mengalihkan pembicaraan. Chesa menurut, ia mengambil tasnya. Mereka berdua berjalan keluar. Banyak pasang mata yang mengarah ke Mereka. Aura Chesa dan Raka begitu mencolok. Keduanya sangat pas untuk disandingkan bersama. Siapa pun yang melihatnya pasti iri termasuk murid berseragam yang ber--tag name Tania Andini. "Nia! Lo mau ke mana?!" heboh murid--berada di samping Tania. Mau tidak mau ia harus mengikuti ke mana langkah temannya pergi. "Kak Raka apa kabar?!" ujar Tania tiba-tiba begitu sampai di depan Raka. Mereka berdua berhenti. Raka mengernyit atas kelakuan Cewek asing di hadapannya ini. "Lo siapa?" tanya Raka. "Aku Tania Andini. Anak SMA Taruna Bhakti kelas sepuluh MIPA. Aku minta nomor kakak! Oh, iya. Kita pernah temenan waktu kecil loh! Kakak enggak inget?!" jawab Tania dengan nada riang dan penuh energi. Raka menggenggam punggung tangan Chesa, lantas berjalan, melintasi Gadis asing itu. " Eh, mau ke mana? Aku belum dapet nomornya, Kak!" Tania berjalan, ia menghadang langkah Raka lagi. "Maaf. Gak bisa." ucap Raka langsung. Ia melepaskan genggaman, kemudian menarik punggung Chesa, mengikikis jarak di antara mereka. "Pacar gue nanti cemburu." Chesa terbelalak. Sejak kapan ia jadi pacarnya Raka. Menyatakan perasaan saja belum. "Permisi." Raka membawa Chesa pergi bersamanya sambil merangkul pinggang kecil gadis itu. Tania diam di tempat. Ia meremas kuat ujung roknya. "Habis ditolak?" teman Tania tertawa meremehkan. "Makanya, jangan suka sama orang asing yang bahkan lo belum tau namanya." "Berisik lo! Gue akan dapetin cinta pertama gue secepatnya!" ujar Tania penuh tekad. "Hah? Cinta pertama lo?" **** Keduanya sudah sampai di rumah Pandu yang besar sekaligus mewah itu. Raka membukakan pintu mobil untuk Chesa. "Silahkan turun, Tuan Putri." ujar Raka. Oke, ini berlebihan. Chesa jadi senang sendiri. Mereka lanjut berjalan untuk memasuki rumah. Namun, sebelum ia sampai di ambang pintu, Raka mencegahnya. "Tunggu." Raka mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Mata Chesa tidak lepas untuk memerhatikan. "Kata Ibu kamu, aku suruh nutup mata kamu dulu pake ini sebelum kamu masuk." ucap Raka, memperlihatkan kain hitam yang baru saja dikeluarkan. "Tapi--" "Enggak ada tapi-tapi an," Raka memegang pundak Chesa, membalikkan tubuh Gadis itu agar menghadap pintu. Setelahnya, ia menutup kedua mata itu menggunakan kain. Chesa memejamkan mata. Semuanya berubah menjadi gelap. "Raka, kamu jangan pergi, ya?" tanya Chesa ketakutan. "Iya." Raka berdiri di samping Chesa, ia menggenggam lengan Gadis itu dan mulai berjalan. Chesa mengikuti saja. Ia tidak sabar! Chesa ingin melihat segera melihat kejutannya. "Sebentar lagi," Chesa mendengar suara Raka bersamaan dengan bunyi dibukakan nya pintu. Langkah Raka berhenti. Ia melepaskan kainnya. Perlahan Chesa membuka matanya. Ia takjub melihat dekorasi rumah yang berwarna navy, warna kesukaannya. "Selamat datang, anak Mama tersayang." Rumaisa mendatangi Chesa dengan sepiring makanan di tangannya. "Cake stoberi kesukaan kamu." lanjut Rumaisa dengan senyum mengembang. Chesa tersenyum haru. "Makasih, Mama." "Sama-sama, sayang." Rumaisa menyuapkan potongan cake itu ke mulut putrinya. Chesa dengan semangat langsung melahap. "Raka, sana duduk. Kamu pasti capek, kan?" tanya Rumaisa pada Raka tentunya. "Enggak, Tan." sahut Raka ramah. "Lova mana, Ma?" setelah mengunyah cake nya, Chesa bertanya. "Dia sebentar lagi ke sini," Rumaisa kemudian menengok ke belakang, kebetulan Lova dan calon suaminya itu sudah keluar dari kamar. Chesa terharu melihat adiknya berjalan walaupun masih dituntun. Ia melangkah cepat menghampiri sang adik, kemudian memeluknya hangat. "Kakak udah pulang," ucap Chesa setelah melepaskan pelukan. Ia beralih memcium pipi chubby adiknya. "Ayah tidak dianggap nih?" Pandu akhirnya bicara setelah sedari tadi diam. Chesa melengak. Ia baru sadar sekarang. Perlahan Chesa berdiri. "Dianggap kok." Chesa menampakkan gigi-giginya yang berderet rapih. "Selamat datang lagi di rumah ini. Ayah harap, kamu tidak kembali ke rumah sakit lagi." ujar Pandu. Chesa melenggut. Sedangkan di sana, Raka terpaku melihat keakraban Mereka. Ia ingin sekali memberi tahu sebenarnya. Memberi tahu kalau Pandu adalah ayahnya Hana. Satu pertanyaan yang terus terngiang di kepalanya. Apa Hana sudah mengetahuinya? Kenapa dari tadi, ia tidak melihat Hana di rumah ini? Ia yakin, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Besok, ia akan mencari tahu sendiri jawaban itu. Dan... menggagalkan pernikahan karena Raka tahu, Hana akan semakin menyiksa Chesa jika Chesa tinggal se rumah dengan gadis itu. "Kamu kenapa melamun?" tegur Rumaisa. Dari tadi ia memanggil nama Raka berulang kali. Ia kira suaranya lirih, namun ternyata anak itu sedang termenung seperti memikirkan sesuatu. Lamunan cowok itu terbuyar. "Enggak apa-apa, Tan." "Kamu boleh pulang sekarang. Terimakasih sudah mengantarkan putri saya ke sini." Rumaisa berjalan menjauh. Perlahan senyum di bibir Raka terukir. Sepertinya ibu dari gadisnya itu mulai mempercayai nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD