Chapter 52: Melewati Batas

1878 Words
Hana menutup pintu kamar serapat mungkin. Tidak ada yang boleh membukanya sebelum parasit itu pulang. Menampak Rumaisa sedang duduk di ayunan depan rumah sambil mengelus perut, Hana memutuskan untuk mendatangi calon ibu tirinya itu. Agak curiga juga setelah melihat gerak-gerik Rumaisa. "Tante sendirian aja?" Hana bergabung duduk. Rumaisa menengok sekilas. "Iya nih," "Perut Tante sakit?" tanya Hana rambang. "Tidak." Hana memilih tak peduli. Ia harus mengatakan apa yang membuatnya ke sini. "Tante, soal di kafe dekat rumah sakit, aku minta maaf karena--" Rumaisa membekap mulut Hana sambil menggeleng. "Tidak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Tante sudah maafkan kamu." ujarnya tulus. Hana bergerak memeluk Rumaisa. "Tante baik banget," Rumaisa balas memeluk. "Badan kamu sudah baikan?" tanyanya, melepaskan pelukan. Hana melenggut. "Tante tadi masakin makanan buat kamu. Makanannya ada di dapur." "Udah aku makan, Tan. Rasanya enak banget kaya masakan mendiang ibu aku." raut Hana berubah menjadi sendu. Rumaisa memegang kedua pundak Hana, berusaha menenangkan. "Anggap Tante ibu kamu," Pembantu tetap pembantu! Gak bisa jadi ibu gue, batin Hana. Hana meneteskan air mata. Rumaisa bergerak mengusap pipi Hana. "Kenapa menangis? Apa ucapan Tante salah?" "Enggak, Tan. Aku keinget mendiang Ibu," Chesa baru saja sampai. Ia mengucapkan terimakasih pada Raka lantaran telah mengantarnya. "Kamu gak mampir dulu?" tawar Chesa. "Nggak. Nanti dimarahin ibu kamu karena keseringan mampir lagi." Chesa geleng-geleng. "Iya, udah. Hati-hati, ya!" ia mengayunkan lengan dengan senyum manis. Raka tancap gas. Usai Cowok itu tidak terlihat lagi, Chesa balik badan. Sudut bibirnya perlahan mendatar, tidak terangkat lagi selepas menyaksikan Hana sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Ia berjalan perlahan mendatangi. Dia harus menerima. Karena bagaimana pun, Hana juga anak di rumah ini. Dan lambat laun, hal seperti ini pasti akan terjadi. Chesa berusaha membuang semua pikiran negative-nya. "Mama," Chesa mencium tangan Rumaisa. Kini ia berhadapan dengan Hana dan sang ibu. "Kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahnya?" "Baik, Ma." "Ches, ada PR nggak? Kamu nyampein pesan aku ke guru kan?" Chesa tersentak. Nada bicara Hana lebih halus dan pakai aku-kamu. Oke, ia harus menyesuaikan. "Ada PR Fisika." ia menjeda. "Maksud kamu pesan apa?" "Pesan kalau aku izin gak masuk karena sakit. Kamu lupa bilang, ya?" "Maaf. Sebelumnya kamu--" "Gak apa-apa kok." potong Hana. Ia tahu apa yang akan dikatakan Chesa. "Nak, sana masuk. Bersihkan diri kamu. Kamu pasti lelah dan perlu istirahat, kan?" saran Rumaisa. Langsung dibalas anggukan oleh Chesa. *** Pakaian berserakan di mana-mana, sprei yang sudah tidak terpasang di ranjang, dan... Foto kecilnya bersama sang ayah kini bingkai nya hancur. Chesa berlari memungut foto tersebut. Ia mengusapnya sebab terdapat bekas seperti diinjak. Tidak mungkin ada yang berani berbuat seperti ini selain Hana. Dari ia bertemu Hana di halaman rumah tadi, ia sudah tahu bahwa Hana membencinya. Tidak mungkin, kan, orang berubah hanya dalam 1 hari? Chesa menangis tanpa suara. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengeluarkan kesedihannya. Ia mengingat perkataan sang ayah waktu datang dalam mimpi. Dengan cepat, ia menyeka air matanya. Chesa menaruh foto itu di bawah kasur. Lengannya bergerak membersihkan seluruh kamar. Ia menempatkan barang yang seharusnya ditaruh di sudut ini. Chesa membuat kamar menjadi bersih dan rapih seperti semula. Langsung saja ia mandi. Hana mendedahkan pintu. Ia menyunggingkan senyum miring saat melihat kamar begitu rapih. Terdengar suara percikan air. Mendadak muncul satu ide di pikiran Hana. Ia meraih ponsel, lalu menyandar tepat di depan pintu kamar mandi. Tak lama, suara percikan itu menghilang. Hana bersiap. Chesa keluar dengan dibalut lilitan handuk. Perasaannya mulai tak enak melihat ekspresi Hana yang mencurigakan. Tanpa bilang apapun, Hana membuka balutan itu. Beruntung, Chesa bisa menahannya. Sorot kedua mata Chesa berubah menjadi penuh amarah. "Lo mau apa, Han?!" "Buka!" Hana membentak. "Gak akan!" Chesa mengelak keras. "Mau apa lo sih?! Lo udah cukup ganggu hidup gue!" "Buka enggak!" Hana mendekat. Chesa panik tak karuan. Ia melirik ponsel yang digenggam oleh Hana. "Jangan bilang lo mau videoin gue." ujar Chesa menebak. "Kenapa emangnya?! Gue akan sebar video lo seluas-luasnya biar hidup lo nggak tenang! Lo udah berani nempatin lemari, kamar, meja belajar gue, semuanya! Bahkan pembantu itu gantiin posisi ibu gue." "Gue gak pernah minta buat tinggal di kamar ini, Han. Ayah lo sendiri yang suruh gue." "Lo bohong! Palingan lo yang minta!" mata Hana berapi-rapi. "Turutin permintaan gue atau gue minta ayah buat ngusir ibu lo dari rumah ini!" "Gak! Lo udah ngelewatin batas. Gue gak bakal biarin lo menang. Gini-gini gue masih punya harga diri, Han!" ujar Chesa menggebu-gebu. "Lo sekarang berani, ya! Ingat, lo itu cuma parasit di sini! Lo dan Pembantu itu tinggal di rumah gue!" Satu tamparan mendarat tepat di pipi Hana. Tangan Chesa bergetar usai melakukannya. Ia masih terima dibully oleh Hana, namun sewajarnya. Jangan sampai melewati batas contohnya sekarang. Lagian perempuan mana sih yang membiarkan seluruh tubuhnya divideo kemudian disebar. Chesa... Tidak sebodoh itu. Ponsel yang digenggam Hana jatuh ke bawah. Chesa segera memungut, lalu memformatnya. "Lo?" Hana memegang bekas tamparan. Kedua matanya memerah, melotot tak terima. Chesa berdiri, ia tergemap melihat bekas tamparannya merah. Rasa penyesalan itu datang. "Maaf, Ha--" "Tunggu pembalasan gue!" Hana berlari keluar kamar. Tubuh Chesa seketika lemas. *** Devian mengangkat satu alisnya kala melihat seorang gadis berpakaian pendek muncul di depan rumahnya. Tentu, ia mengenalnya. "Raka ada di dalem." jawab Devian kala Tania menanyakan keberadaan Raka. Tania main masuk begitu saja. Devian kaget, ia berusaha menghentikan, tapi Tania sudah terlanjur masuk. "Eh, main masuk aja lo. Bilang dulu alasan lo ke sini buat ngapain." protes Devian, mengikuti Tania dari belakang. "Raka! Kamu di mana? Aku dateng nih sesuai perkataan aku tadi!" Tania berteriak dengan penuh energik. Ia menginjakkan kaki di setiap sudut rumah itu. "Raka! Kamu ngumpet ya?" lanjut Tania, masih bermonolog. Devian menghadang langkah Tania. "Gue tanya kok marah gak dijawab. Tujuan lo ke sini apa? Malem-malem lagi. Keluarga lo gak nyariin?" "Bukan urusan kamu." Tania melewati Devian. Ia lanjut mencari Raka. Kedua mata Raka yang sedari tadi terpejam, sekarang terbuka sepenuhnya selepas mendengar suara teriakan Cewek memanggil-manggil dirinya. "Cosplay jadi cewek lo, Dev--" "Raka!" Tania berhambur memeluk Cowok itu. Raka temtunya tersentak. "Lo? Malam-malam gini?" Raka sungguh tak percaya. Ia menatap Devian dengan sorot tajam. "Dev, harusnya lo suruh dia pergi." "Ih, Raka jahat. Baru dateng juga, malah diusir." Tania cemberut. Raka tidak menghiraukan. Ia menunggu jawaban dari Devian. "Gue udah tanya, tapi enggak dijawab. Dia juga main nyelonong masuk tanpa bilang apapun ke gue dan dia terus teriak-teriak jadi gue gak punya kesempatan buat nanyain." jelas Devian. Jika saja Raka tidak ada di dekatnya, sudah pasti Tania memicingkan mata, "Tan, sebaiknya lo pergi." pinta Raka. "Gue ngusir lo karena gue menghargai lo sebagai perempuan." "Nggak! Aku mau di sini aja." Tania bersikukuh. "Pulang, Tan." "Kamu kok jahat banget sih?!" "Gue gak jahat. Ini demi kebaikan lo." Raka mendorong pelan Tania. Tania misuh-misuh tidak terima. "Sebentar aja gue di sini. Please," "Gak bisa." "Satu menit. Satu menit doang. Ya? Lo izinin kan?" "Tetap gak bisa, Tania." "Sepuluh detik aja deh. Lo mau kan?" "No." Raka menutup pintu usai Tania berhasil dikeluarkan dari rumah. Sebelumnya, ia menengok untuk memastikan gadis itu tidak pulang sendirian. Ternyata ada mobil terparkir di depan rumahnya. Raka jadi tidak berat untuk menutup pintu. "Dia tergila-gila sama lo. Persis kaya Hana." ada rasa getir ketika mulutnya menyebut nama gadis yang sudah ia sukai sejak lama. "Tapi setidaknya, dia nggak ngebully Chesa." ucap Raka samar. "Hah?" "Lupain." Raka lega, temannya tidak mendengar apa yang ia katakan barusan. Tidak ada seorang pun yang boleh tahu kalau ingatannya kembali kecuali, Chesa. *** Hana duduk di halaman rumah. Ia menutup wajah dengan dua tangannya, lantas menangis pilu seakan telah mengalami kejadian buruk yang parah. Rumaisa yang kebetulan lihat, tanpa ba-bi-bu, dia mendekati Hana. Ia menyentuh bahu Hana. Hana melengak, pipinya yang merah itu terlihat jelas oleh mata Rumaisa. "Pipi kamu?" Rumaisa beringsut duduk, menatap khawatir Hana. Hana memalingkan muka, tetapi Rumaisa menangkup pipi Rumaisa menggunakan dua tangannya. "Cerita," Hana menggeleng cepat, ekspresi wajahnya tampak begitu ketakutan. "Kok ketakutan? Kamu jangan bikin Tante khawatir," ujar Rumaisa terus mendesak supaya Hana berbicara. "A--aku enggak apa-apa," isak Hana. Rumaisa makin curiga. "Siapa yang nampar kamu? Apa... putri Tante? Chesa?" ia mencurigai putrinya sendiri. Wajar, tidak ada orang di rumah ini selain mereka bertiga. Pembantu di sana baru saja pergi untuk berbelanja. "Bu--bukan, Tan." "Lalu siapa? Kamu jangan bohong. Ayo, cerita semuanya sama Tante." desak Rumaisa. Hana terus menangis. Rumaisa ikut sedih melihatnya. Ia memeluk Hana seraya mengusap punggung kecil gadis itu. "Ya sudah, kalau kamu belum bisa cerita. Kapanpun, Tante selalu ada buat kamu." "Ka-kalau...aku...bi...bilang...sebenarnya...,Tante janji... Jangan marahin dia," "Dia siapa?" "Tante janji dulu." Rumaisa membuang nafas perlahan. "Oke. Tante janji tidak akan memarahi seseorang setelah kamu bilang sebenarnya." "Chesa tiba-tiba nampar aku, Tan. Katanya dia kesal karena aku waktu di ayunan, memotong ucapan dia." "Apa? Dia nampar kamu?" demi Tuhan, Rumaisa tidak percaya, tapi bukti ada di hadapannya. Melihat pipi Hana yang memerah membuat Rumaisa percaya seketika. "Tante gak percaya?" "Tidak. Tante percaya. Kamu tunggu di sini. Saya akan memberi pelajaran pada anak itu." "Jangan, Tan. Tante kan udah janji kalau gak bakal marah sama dia." cegah Hana. "Biar dia sadar, Nak." Rumaisa ingkar pada janjinya sendiri. "Tapi--" Terlanjur. Rumaisa sudah pergi masuk ke dalam rumah. Hana mengusap air mata palsunya. Ia perlahan tersenyum. Kasih dia pelajaran sampai dia benar-benar kapok, Tanteku tersayang, batin Hana terkesan meledek. Ia tertawa kecil kemudian. "Bangun kamu!" Rumaisa menarik paksa Chesa agar cepat berdiri. Baru beberapa menit ia tidur, dirinya malah dibangunkan. Chesa berusaha mengumpulkan kesadarannya kembali. Ia tergemap menampak wajah emosi sang ibu. Rumaisa langsung melayangkan tamparan keras di pipi tirus putrinya hingga meninggalkan bekas merah. Chesa tertoleh ke samping. Ia melihat Hana tengah menyandar di pintu dengan raut penuh kemenangan. Chesa sudah menduga. "Kenapa kamu berani angkat tangan, hah?!" "Maafin Chesa, Ma. Tadi... Aku marah jadi kelepasan. Aku minta maaf, Ma. Ampun," bibir gemetar Chesa mengatakan hal demikian. "Kamu--" tenggorokan Rumaisa tercekat. Tenaganya seketika habis, raganya mendadak lemas. Pandangan Rumaisa kabur hingga akhirnya ia terjatuh pingsan. Chesa panik. Ia segera berjongkok, mengguncang bahu sang ibu. "Mama kenapa? Bangun. Ayo bangun, Ma. Marahin aku lagi," Mata Rumaisa tetap terpejam. Chesa merasa harus menelefon Om Pandu sekarang. Kepalanya kini meninjau Hana. "Han, bantu gue." "Idih! Lo anaknya bukan?" Hana melengos pergi. Ia tampak tidak begitu peduli. Chesa geleng-geleng kepala. Mau tidak mau, ia harus menelefonnya kemudian membawa ibunya ke rumah sakit. Jemari Chesa mengambil ponsel, lantas mencari-cari nomor seseorang. "Halo," "Iya? Kenapa, Nak?" "Itu Mama pingsan, Om." "Pingsan? Bagaimana bisa?" "Tidak tahu, Om. Lebih baik, Om secepatnya ke sini." "Ya. Lima belas menit lagi Om akan ke sana." Sambungan terputus. Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan Lova. Chesa menjadi bimbang. Tidak, ia tak mungkin menuju ke kamar adiknya. Ia harus membawa ibunya ini ke mobil. Dengan berat hati, dia tak menghiraukan Lova yang sedang menangis. Sedangkan Hana? Cewek itu malah dengan santainya menyaksikan televisi di ruang keluarga. Ia malah mengeraskan volumenya supaya tangisan Lova tidak terdengar. Usai berhasil memasukkan sang ibu ke dalam mobil, Chesa menunggu kedatangan Om Pandu terlebih dahulu karena dia sendiri tidak bisa mengendarai mobil. Ia tidak berhenti mondar-mandir sambil menggigit ibu jarinya sendiri. "Mana Ibu kamu?" Chesa tersentak mendengar suara berat dan serak itu. "Di dalam mobil, Om." Pandu bergegas menggendong Rumaisa dengan dua tangan kekarnya. Ia mengalihkan calon istrinya ke mobil miliknya. Chesa bertanya-tanya. Om Pandu cepat sekali sampai ke sini atau dirinya yang terlalu lama melamun sehingga tidak sadar? **** "Istri ada kelelahan. Di usia kehamilannya yang masih muda dan rentan ini, saya sarankan supaya pasien tidak melakukan pekerjaan berat apalagi sampai membuat dia stres." jelas sang dokter. Pandu menoleh sedikit ke belakang. Ia menatap dokter lagi. "Baik, Dok." "Bagus. Pastikan Pasien istirahat dengan cukup." Pandu mengangguk sekali. "Saya permisi dulu." Dokter perempuan itu keluar. Chesa masih setia duduk di samping ranjang. Ia tidak berhenti berdoa untuk ibunya. "Om? Gimana kata dokter?" "Ibu kamu kelelahan." terdengar helaan nafas. "Ini pasti gara-gara aku, Om. Aku tadi nggak sengaja pukul Hana. Terus Mama marahin aku. Aku minta maaf karena udah pukul Hana, ya, Om." Pandu menatap serius. "Apa? Hana? Dia ada di rumah?" Chesa melenggut dengan kepala tertunduk dalam. "Sejak kapan dia pulang?" "Tadi pagi. Om tidak tahu?" Mereka berdua sama-sama heran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD