Chapter 53: Topeng

2035 Words
Hana mencak-mencak. Tangisan anak kecil itu mengganggu waktu santainya. Ia segera membuka pintu kamar. Lova kecil melamun, memerhatikan Hana. Ia justru menangis lebih kencang lagi. "Diem lo!" bentak Hana. "Cih, kakak adik sma aja! Ganggu kehidupan orang!" "Ibu..." kata Lova kecil di tengah isakannya. "Ibu lo gak ada!" "Gue harap dia nggak selamat!" "Ogah gue punya adik kaya lo!" Hana membanting pintu dengan amarah yang memuncak. Lova makin merengek. Hana membuang nafas kasar. Hari ini sepertinya semesta tidak memihak pada dirinya. Suara mobil berhenti sukses menyita perhatian Hana. Ia refleks melanglang keluar. Mobil ayahnya. Oh, tidak! Hana kini harus mendatangi ayahnya. Tunggu, sebelum itu dia harus berpura-pura baik pada bocah kecil itu. Hana memasuki kamar Lova kembali. Ia menggendong Lova walau gadis cilik tersebut memberontak. "Diam, sayang." ucap Hana penuh penekanan. Ia membawa Lova ke ambang pintu. Di sana nampak Ayahnya bersama Chesa dan Rumaisa. Hana benci. Melihat mereka tersenyum, emosinya makin naik ke ubun-ubun. Harusnya ia dan ibu kandungnya yang ada di sana! "Ayah," Hana bergerak mencium tangan Pandu. "Akhirnya kamu mau pulang ke rumah ini," Pandu tersenyum haru. Ia beralih menatap Chesa. "Nak, antar ibumu ke kamar." tatapan berpindah pada Rumaisa. "Kamu jangan ngelakuin hal-hal yang berat dahulu." Rumaisa mengangguk lemah. "Tan--maksud aku, Ibu kenapa, Yah?" tanya Hana terbata-bata. s**l! Ia harus memanggil pembantu itu dengan sebutan 'ibu'. "Kelelahan. Kondisinya sekarang sedang drop." "Tapi aku bersyukur karena Ibu gak sampe dirawat di rumah sakit." Pandu menyentuh puncak kepala Hana. "Anak Ayah yang dulu ternyata kembali," "Maksud Ayah?" "Tidak. Lupakan. Ayo masuk ke dalam. Lova sayang, sini sama Ayah, Nak." Pandu mengambil alih Lova dari gendongan Hana. Barulah Lova tidak sesedih itu. "Tadi dia nangis terus. Mungkin aku orang asing jadinya gak mau." keluh Hana. "Kamu bukan orang asing. Kamu Kakaknya." Dih, amit-amit, batin Hana tidak Terima. "Iya, Yah." *** Rumaisa terus menolak makanan dan juga minuman yang dibawa oleh Chesa. Chesa menunduk dan menghela nafas panjang. "Sekali lagi, aku minta maaf, Ma." berulang kali Chesa sudah meminta maaf, tapi ibunya tetap tidak mau mendengar sama sekali. Ia beringsut duduk di sebelah sang ibu. Rumaisa bahkan tak ingin menoleh sedikit pun. "Ma, aku nggak sengaja nampar Hana. Mama sampai kapan marah sama aku? Aku butuh jawaban Mama sekarang," "Semua orang itu pasti berbuat kesalahan. Mama beneran nggak mau maafin aku?" "Ini teh nya udah dingin lho, Ma. Mubadzir kalau gak diminum." "Dan ini buburnya nanti gak hangat lagi. Chesa udah buatin susah payah. Mama enggak menghargai perjuangan aku?" "Aku taruh teh sama buburnya di sini, ya. Mama kalau marah jangan kelamaan. Nggak baik buat adik aku," Rumaisa tetap diam mendengarkan. Chesa beranjak pergi keluar kamar. Siapa tahu, beberapa jam kemudian ibunya akan memaafkan dirinya. Di kamar, Chesa menatap ponselnya cukup lama. Ia ragu, haruskah ia menelefon Raka? Namun ia takut jika Hana mendengarnya. Chesa menggelengkan kepala. Tidak. Ini akan menjadi buruk. Tadi saja Hana berbuat sesuatu di luar dugaannya. Apa jadinya kalau ia kepergok menelefon Raka. Bisa-bisa dirinya difitnah lagi. "Mulai sekarang, lo tidur di lantai! Biar selevel sama kasta lo." Hana muncul, menaruh bantal yang tadinya ditaruh rapih ke lantai kamar yang tidak beralaskan apa-apa. Chesa melengak. Jemarinya mematikan ponsel. Ia mengambil bantal yang dilempar oleh Hana. Ketika Chesa melepaskan sandal, ia begitu kaget usai merasakan dinginnya lantai kramik ruangan ini. Ia tidak akan sanggup. Chesa meletakkan bantal ke sifa yang letaknya tak jauh dari ranjang. "Eh, lo ngapain di situ? Gue suruh tidur di lantai, ya, di lantai!" gertak Hana. "Dingin." "Gue gak peduli! Pokoknya lo harus tidur di bawah! Rumah ini milik gue, jadi gue bebas ngelakuin apa aja! Kalau lo berani ngelawan gue, Siap-siap ibu dan adik lo out dari sini!" ancam Hana tidak main-main. Ya, dia bisa melakukannya. Akan sangat mudah bagi Hana untuk memengaruhi sang ayah. Hana melotot saat melihat Chesa tidak bergeming dari tempatnya. "Tunggu apa lagi lo?! Buruan!" Chesa terpaksa menaruh bantal di lantai yang begitu terasa dingin. Ia perlahan membaringkan diri, menghadap ke arah jendela. Hana tersenyum penuh kemenangan. Giliran dia yang merebahkan diri di nyamannya kasur berukuran besar itu. "Aduh, enak banget. Anget lagi. Akhirnya setelah sekian lama, gue bisa tidur di sini lagi. Dan gue berhasil rebut ini dari parasit yang sukanya nguras harta ayah gue." ujar Hana menyindir. Chesa tak memedulikan. Merespons Hana hanya akan menambah semuanya jadi semakin panjang. Chesa meringkuk kedinginan. Tidak ada selimut lagi. Tetapi ia harus bertahan beberapa jam ke depannya. Dia mengusap-usap tangan untuk mengurangi rasa dingin. **** Byurr! Air dingin itu menyiram kepala Chesa. Chesa terbelalak. Kedua matanya terbuka lebar-lebar dan mendadak menjadi segar. Ia mulai menggigil. Sudah kedinginan akibat lantai tempat berbaring nya sekarang, eh ia malah disiram air. "Bangun lo!" bentak Hana. "Sabar, Han..." Chesa duduk. Ia memeluk dirinya sendiri. Bibir pucat itu bergetar. "Lemah lo! Baru semalem lo tidur di bawah, tapi sekarang kedinginan! Cemen!" Hana menunjukkan jempolnya dengan terbalik. Chesa berjalan ke arah kamar mandi untuk mengganti pakaian tanpa peduli dengan ocehan Hana. *** "Hana berangkat, ya, Tan." dia mencium punggung tangan Ibu Rumaisa. "Hati-hati, Nak." Chesa maju ke depan setelah Hana. Ekspresi Rumaisa mendadak berubah masam. Chesa tidak nyaman melihatnya. Hari kemarin sudah berlalu, namun ibunya belum juga memaafkan. Rumaisa tidak mengelak saat Chesa mencium tangannya. Ia sadar, Pandu ada di ruang tamu sedang membereskan sesuatu. "Ayah! Kami berdua berangkat sekolah, ya!" seru Hana, melambaikan tangan dengan wajah energik dan ceria. "Tunggu. Ayah akan mengantarkan kalian." Pandu menutup kembali tasnya. Ia menjajarkan langkahnya dengan dua putrinya. "Chesa? Kamu sakit?" tegur Pandu kala melihat wajah tidak biasa dari Chesa. Gadis itu menggeleng dengan senyum sendu sebagai jawaban. "Aku baik-baik aja." "Serius? Kamu nggak masuk dulu, gak apa-apa kok." timpal Hana. Topeng yang sangat sempurna sekali... Lagi, Chesa menggeleng. "Kalau dia kenapa-kenapa, kamu bisa hubungin Ayah, ya, Han." ucap Pandu pada Hana. Hana mengangguk cepat. Ketiganya mulai masuk mobil menuju sekolah. Hari ini, Chesa terasa lemas sekali. Sungguh. Ia tadinya tak akan berangkat, namun ketika mengingat ada jadwal pelajaran, Chesa mengurungkan niat. Ia tidak mau ketinggalan materi. "Makasih, Yah!" "Ya. Jaga saudara kamu," ujar Pandu memperingatkan. "Pasti." Pandu menjalankan mobil. Kedua mata Hana memicing tajam usai mobil sang ayah sudah benar-benar pergi dari sana. "Jangan caper, deh, lo!" Hana melengkung. "Han, lo kok bisa berangkat bareng dia? Dianterin ayah lo lagi." ucap Keisha yang baru saja datang. "Panjang ceritanya. Ogah banget gue serumah sama dia! Pengin gue tendang dia, pembantu itu sama adiknya!" kata Hana kelewat jengkel. Chesa tak memusingkan ucapan mereka berdua. Ia menarik langkah pelan ke dalam kelas. Berjalan seperti ini saja, rasanya begitu lemas seperti ingin pingsan. Chesa melipat tangan di meja, ia menenggelamkan wajahnya di sana. Kedua mata itu terpejam sejenak, berharap rasa tidak nyaman di tubuhnya ini hilang. "Han, lo dipanggil Guru di kantor." tutur Raka sesampainya di kelas. Hana buru-buru menuju tempat yang dikatakan Raka demikian. Mungkin jika seseorang selain Raka yang memberitahunya... Hana tidak akan mau. "Ches, kamu kenapa?" Chesa pelan-pelan menengadah. "Muka lo pucat." punggung lengan Raka bergerak meraba kening Chesa. Panas. Gadis ini berarti memaksakan diri untuk berangkat sekolah. "Harusnya kamu nggak usah masuk dulu." saran Raka. Chesa tersenyum samar. "Aku baik-baik aja." "Bohong." "Kamu sebaiknya menjauh. Nanti ada yang liat kita berdua gimana?" bisa-bisa nya disaat sakit, Chesa mengatakan hal demikian. "Gak ada seorang pun di kelas ini selain kita, Ches. Ayo ikut aku." "Ke mana?" "Kalian berdua?" Keisha mendadak sudah berdiri di ambang pintu. Belum lama, sejak beberapa detik lalu. Raka refleks menjauh dari Chesa. "Kenapa?" tanyanya pada Keisha. "Kalian..." Keisha menatap curiga. "Apa? Gue tadi tegur dia biar piket hari ini." jawab Raka, menaruh tas di tempat bangkunya. "Oh. Hana mana?" "Dipanggil di kantor." *** Kedua mata Hana mengeliling, menelusuri setiap sudut ruang kantor. Ia tak menemukan satu pun guru di sana. Wajar, hari masih sangat pagi tepatnya masih jam 06:30. Para murid juga masih sedikit yang datang. Tidak mungkin Raka berbohong. Hana sangat mempercayainya. "Orang yang lo cari ada di sini," Suara Devian. Hana merotasikan bola mata. "Lo lagi lo lagi! Ke--" Devian bertekuk lutut tepat di hadapan Hana. Hana merapatkan bibir. Ia menunggu apa yang akan dikatakan Devian. Kelihatannya cowok itu tampak sangat serius. "Maafin gue, Han. Gue nyesel udah jemput lo waktu itu." ucap Devian sungguh-sungguh. Ternyata soal masalah beberapa hari lalu... "Berdiri. Malu-maluin lo." tegur Hana, sambil memerhatikan sekitar. "Lo ternyata peduli sama gue." takjub Devian. Ia mulai merasa ada secercah harapan untuk mendapatkan hati gadis di hadapannya ini. "Siapa bilang? Gue takut mereka yang liat lo, mulai salah paham dan ngira lo nembak gue. Akan lebih sulit buat deketin Raka lagi. Please, lo berdiri sekarang juga." pinta Hana menyatukan paksa kedua telapak tangannya. Devian muak mendengar nama 'Raka'. "Segitu cintanya lo sama dia? Apa yang spesial dari Raka, sih, Han?" "Dia ganteng dan pintar. Beda jauh sama lo! Udah lah! Gue nggak mau buang waktu berharga gue. Terserah lo mau bertekuk lutut kaya gitu sampai pagi juga nggak masalah! Gue gak peduli!" Hana melipat lengan di d**a sambil melengos sombong, kemudian melenggang pergi. Devian memukul keras tembok yang ada di depannya. Ia kecewa sekaligus benci pada dirinya sendiri karena telah gagal! *** Melihat Keisha sudah tidak ada lagi, Raka kembali memerhatikan Chesa. Ia bahkan membujuk Chesa berkali-kali untuk pulang saja. Tapi Cewek itu keras kepala. "Sehari aja. Lagian kamu gak bakal rugi, Ches. Nanti aku pinjemin buku biar kamu nggak ketinggalan materi." "Gak bisa, Raka. Ibu pasti kecewa kalau aku bolos," "Kamu bukan bolos. Tapi izin. Badan kamu udah panas. Kamu harus secepatnya ke dokter, Ches." "Enggak mau. Sebentar lagi aku bakal sembuh kok." "Kamu itu..." "Raka sayang! Aku dateng!" Tania mendadak memeluk Raka dari belakang. Yang dipeluk terkejut bukan main. "Ucapin salam. Gak sopan lo." kata Raka dengan nada dingin. Tania terkekeh. "Aku lupa," "Dasar." Raka membuang muka, enggan manatap Tania. "Kalian berdua aja? Anak lain mana?" Tania mendudukan diri di sebelah teman sebangkunya. "Hm." Raka terdengar tidak tertarik menjawabnya. "Serius, Raka. Aku nanya." Tania membeo. "Terus?" "Jawab lah!" seru Tania sedikit emosi. "Oh.' "Raka nyebelin yah!" "Permisi, Tan." ucap Chesa. Tania memberi jalan. Raka ikut mendongak bersama dengan berdirinya Chesa. Rasa penasarannya seketika muncul. Haruskah ia mengikuti? Tapi... ada Tania di dekatnya. Tania beralih duduk di hadapan Raka. "Kamu tau enggak? Aku tadi bawa bekal dari rumah. Ibu aku masakin enak banget. Kamu cobain deh! Waktu kecil, kamu sering makan masakan ibu aku. Siapa tau aja, kamu inget masa kecil setelah kamu makan bekal dari ibu aku." jelas Tania panjang lebar. Raka bangkit. Ia tak tahan dengan rasa penasarannya. Tania buru-buru ikutan berdiri. "Gue mau ke kamar mandi. Yakin lo mau ikut?" Pertanyaan Raka membungkam mulut Tania. Gadis berambut panjang ikal itu mematumg di tempat. Ya, tidak mungkin juga kan, dia mengikuti seorang cowok ke kamar mandi. Apa yang akan dikatakan jika seorang melihatnya nanti. Raka pergi. Ia berpapasan dengan Hana dan juga Keisha. "Kamu mau ke mana?" "Toilet." "Ikut." "Gila lo." bukan Raka yang berkata, tapi Keisha. "Diem." ujar Hana lirih. "Nggak." Raka melanjutkan langkah. Hana menggerutu. "Gara-gara lo sih!" tuduhnya pada Keisha. "Lagian lo aneh. Cewek kok mau ikut cowok ke toilet." "Gue nggak aneh! Pikiran lo aja yang ambigu." Di tempat lain, Chesa memijit kepalanya semdiri. Ia juga bersin berkali-kali. Sepertinya perkataan Raka ada benarnya. Ia harus pulang sekarang juga daripada sakitnya bertambah parah. Tiba-tiba pandangan Chesa menjadi kunang-kunang. Ia berpegangan pada wastafel supaya tidak ambruk. Rasa lemas itu semakin terasa. Chesa tak akan bisa menahan tubuhnya lebih lama lagi. Hingga detik-detik terakhir, seseorang menahan tubuhnya. Belum Chesa sempat meluhat, dia sudah pingsan lebih dulu. Cowok itu mengangkat tubuh Chesa dengan kedua tangannya. **** Chesa merasakan kain dingin menempel di keningnya. Dia segera meraba-raba. Dan benar saja, ada kain yang diletakkan di keningnya. Sudut bibir Chesa perlahan terangkat melihat Raka tertidur di sisinya dengan tangan memggenggam hangat telapak lengannya. Ia mengamati setiap sudut ruangan ini. Tempatnya begitu asing di mata Chesa. Mau membangunkan Raka, tapi ia tidak tega. Raka terlihat tidur sangat pulas dan nyaman. Jemari Chesa bergerak melepaskan genggaman tangan Raka. Ia akan mencari tahu siapa pemilik rumah ini. Kaki jenjang Chesa beranjak keluar. Di ruang tamu berantakan sekali. Baju-baju berserakan di mana-mana. Di dapur juga. Banyak bungkus mie tergeletak begitu saja dan tidak dibuang ke tempat sampah. Nampak di wastafel dapur terdapat piring serta gelas kotor. Chesa geleng-geleng. Ia tidak percaya. Ini beneran rumah Raka, kan? Atau orang lain?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD