Chapter 54: Menua Bersama

2013 Words
Chesa mulai membereskan seluruh ruangan di setiap sudut rumah. Yang tadinya berantakan dan terdapat sampah berserak di mana-mana, sekarang jadi tertara sangat rapi sehingga enak dilihat. 'Chesa mengusap keringatnya. Ia merasa sehat sekarang. Tiba-tiba perutnya bergemuruh, menandakan ia butuh asupan. Chesa melangkah ke dapur, membuka kulkas dan beberapa laci. Isinya mie instan semua. Chesa menghela nafas. Namun, perutnya sudah lapar. Chesa terpaksa memasak mie instan. " Di lain tempat, Raka terbangun. Ia menguap. Kedua matanya terbelalak melihat Chesa tak ada di dekatnya. Raka langsung berpikiran buruk. Ia langsung bergerak keluar. Senyuman di bibirnya perlahan terbit melihat gadis yang ia sukai sedang memasak sesuatu, tampak sangat serius sekali. Raka mengendap-endap berjalan mendekat. Kebetulan saat Chesa laci untuk mengambil sesuatu, Raka memeluknya dari belakang. Chesa tersentak. Badannya seolah kaku, tidak bisa berbalik ke belakang. Jantungnya juga berdentam-dentam di d**a. Raka menempatkan dagunya di pundak kecil Chesa. "Kamu udah sembuh?" "I--itu... Anu... Aku..." "Hm?" "Nanti kalau ada yang liat, bisa salah paham, Raka. Lepas," Raka menjauhkan tubuhnya. "Jadi kamu masak apa?" Chesa berbalik badan, menghadap Raka. "Menurut kamu?" nada bicaranya terdengar berbeda, tepatnya menyindir. "Oh, di rumah ini cuma ada makanan itu doang." "Makan mie setiap hari, nggak baik, Raka." "Hari ini aku belum sempat beli." "Aku beliin sekarang, ya." Chesa bersiap untuk pergi, Raka langsung mencekal. "Kamu baru aja baikan. Masa mau keluar lagi. Jangan ngelakuin hal-hal yang berat dulu, Chesa." "Tapi kan--" "Lanjut masakin aku makanan, oke?" Raka memegang pundak Chesa seraya menatap lekat. "Eh, enggak-enggak. Biar adil, aku akan bantuin kamu." "Serius bisa? Jangan-jangan kamu tambah bikin aku repot." ujar Chesa meremehkan. "Enggak lah. Aku jamin kamu sampai bingung mau ngelakuin apa. Udah deh. Aku bantu sini," Raka mengambil alih alat dapur yang dipegang oleh Chesa. "Oke. Kalau kamu salah, aku kasih kamu hukuman." ucap Chesa, terdengar menantang. "Hukuman apa?" "Rahasia. Gak akan aku kasih tau. Liat aja nanti," "Oh, kalo aku buat kesalahan, baru aku tau apa hukumannya kan?" "Ya." Chesa mengambil dua bungkus mie. Ia membukanya, lantas menaruh mie ke dalam air yang sudah mendidih. Tapi Raka membuat kening Chesa mengernyit. "Kamu mau ngapain?" "Angkat mie-nya." Chesa menarik nafas dalam-dalam, ia menghembuskan perlahan. "Itu belum matang, Raka." sabar, ia harus sabar menghadapi Cowok macam Raka. "Kamu kaya gak pernah makan mie aja." "Emang. Semua mie yang ada di sini punya Devian. Aku nggak pernah makan sama sekali. Pagi, siang, sore, aku selalu pesen makanan di restoran sebrang sana." Chesa mengerjap. "Serius? Aku kira kamu ikut makan mie ini. Oh, iya, kebanyakan makan makanan cepat saji enggak baik buat kesehatan." "Ya, habis gimana lagi? Gak ada pilihan. Andaikan Ibu..." Raka tak sanggup melanjutkan lagi. Sudah bertahun-tahun, ia tidak bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya. Sulit bagi mereka untuk bertemu karena... berbeda alam. "Jangan sedih. Aku bisa bikin makanan buat kamu setiap hari kok." "Kamu gak keberatan?" "Enggak, Raka." "Makanannya harus keasinan, ya." "Ha?" Chesa sama sekali tidak mengerti maksud Raka. "Makanannya harus keasinan biar aku tau kalau kamu kebelet nikah sama..." Raka menggantung. "seseorang," lanjutnya. "Ih! Bukan berarti makanan keasinan pertanda kalau orang yang masak kebelet nikah. Itu menurutku. Tapi pendapat orang lain beda-beda sih." Chesa meniriskan mie yang telah matang. Ia taruh mie itu ke dalam mangkuk. Raka menghirup dalam-dalam aroma mie yang tercium memenuhi seluruh dapur. "Setiap Devian yang masak, bau mie-nya biasa aja, tapi kalau kamu, kok aromanya beda. Rahasia kamu apa, sih, Ches?" Chesa geleng-geleng. "Kamu ini ada-ada aja. Udah yuk. Ayo makan." dia mengangkat mangkuk. Namun tiba-tiba oleng. Alhasil lengannya tersiram air panas dari kuah mie tersebut. Chesa meringis. Raka buru-buru mengambil alih mangkuk itu, kemudian meraih jemari Chesa dan mengusapnya berkali-kali dengan menggunakan ujung baju. "Kamu ceroboh. Gak hati-hati." misuh Raka terdengar begitu kesal. Ia lanjut meniupi jemari Chesa tergesa-gesa. Chesa tersenyum samar. "Kenapa senyum? Bagi kamu, omongan aku cuma candaan doang?" Chesa tergemap. Jadi, apa Raka melihatnya tersenyum tadi?! "Maaf." "Untung tangan kamu nggak terluka parah. Lain kali, kamu lebih baik istirahat aja. Biar aku yang masak." Oke, Raka mulai bersikap posesif dan menganggap... Chesa itu pacarnya. *** "Devian, Raka mana?" begitulah pertanyaan Tania begitu sudah sampai di depan Devian. Cowok itu menaikkan satu alis. "Ngapain lo tanya gua?" "Karena aku sering liat kamu bareng Raka. Kamu pasti temannya Raka, kan?" Tania memastikan. Devian mengangguk kecil membuat senyum Tania mengembang. "Kamu pasti tau di mana Raka. Kasih tau aku. Please. Mau kan? Mau, ya? Ya? Ya?" cecar Tania sambil terus menatap Devian dengan wajah memelas. Devian memalingkan muka. Matanya hanya akan tertuju pada Hana, bukan yang lain. "Gue nggak tau." "Gak mungkin. Masa teman sendiri pergi, kamu nggak tau dia akan ke mana. Jangan bohong ih. Dosa, loh. Ada karmanya juga kalau kamu bohong." desak Tania. Devian mencebik. "Minggir lo. Jangan ganggu gue." ia mendorong bahu Tania dari hadapannya. "Aku nggak nganggu kamu. Aku cuma tanya, tapi kamunya yang gak mau jawab. Iya udah, aku pakai cara ini. Makanya langsung jawab pertanyaan aku kalau enggak mau diganggu gini." jelas Tania, rautnya terlihat kecewa. "Bacot lo, ah! Sana cari sendiri! Gue gak tau! Nggak urus!" Devian beranjak pergi. Hidung Tania kembang kempis. Dadaanya naik turun, menandakan emosinya sudah di ubun-ubun. "Aku bakal cari Raka sendiri!" "Kamu enggak pantas jadi temannya Raka, Devian!" "Aku akan ngadu tentang sikap kamu!" Teriak Tania beruntun. Devian dengan santainya tetap melanjutkan langkah. Terserah Tania akan mengicsh apa pun. Ia tak akan menggrubis. Baginya, Tania hanyalah seorang gadis polos dan lemas. Namun... semua orang punya 'topeng' masing-masing, kan? Tidak selamanya orang yang kita lihat baik akan baik pula jika di belakang kita. "Devian, gue mau ngomong sesuatu," Suara Hana menghentikan langkah Devian. Devian beringsut menoleh. "Kenapa? Lo mau caci maki gue? Lo mau bilang kalau lo lebih suka Raka, Raka lebih ganteng dan pintar daripada gue, sedangkan gue, cowok yang nggak akan pernah bisa dapetin lo. Stop, Han. Gue udah denger kata-kata barusan dan gue inget semuanya, jadi lo dan usah repot buat jelasin lagi." lanjut Devian, kecewa. Hana tahu-tahu berlari, lantas memeluk Devian dengan erat. Detak jantung Devian kini bak lampu kelab malam yang ia sering datangi. Ia sungguh tidak menyangka sekaligus tak percaya. "Gue minta maaf." Hanya tiga kata. Tetapi membuat Devian senang dalam hati. Lengan Devian perlahan membalas pelukan Hana. "Buat apa lo minta maaf?" Hana melepaskan pelukan. "Karena gue udah ngomong hal yang bikin lo sakit hati di depan kantor waktu itu. Gue lagi marah banget, Dev, jadi gue ngelampiasin kemarahan itu ke lo." "Gak apa-apa. Yang terpenting lo udah sadar." Devian menyunggingkan senyum tampan. "Jadi... lo udah nggak marah lagi sama gue? Gue boleh tanya sesuatu nggak?" "Boleh banget! Bebas lo mau nanya apa." jawab Hana energik. "Apa lo hari minggu nggak ada acara? Kalau iya, lo mau enggak pergi ke suatu tempat bareng gua?" Tercipta kerutan di dahi Hana. "Hm... Oke deh! Tapi ada syaratnya." "Syarat?" "Iya! Lo harus kasih tau dulu." Hana menjeda cukup lama. "Raka di mana?" Ekspresi Devian berubah menjadi datar dan tidak suka. "Raka lagi Raka lagi." "Gue cuma nanyain doang. Tadi gue disuruh guru buat panggil Raka. Nanti kalau Pak gurunya nanyain ke gue gimana? Gue harus jawab apa? Dev, pasti lo tadi bohong ke Tania, kan?" Devian tak menjawab langsung. Ada jeda beberapa detik di antara mereka. Hana cemberut. "Aku pergi kalau kamu nggak mau kasih tau. Dan mungkin aja... Aku bakal dihukum." suara Hana pelan di akhir kalimat. Dengan rasa kecewa, Hana meninggalkan Devian. Gagal sudah! Ia akan mencari Raka sendiri. Devian menjadi ragu. Ia berlari mendekat. Dia berdiri, menghadang Hana. Cewek itu tersentak. Harapan Hana yang tadinya terkubur dalam, kini mencuat kembali. "Gimana, Dev?" tanya Hana, senyum di bibirnya terbit. "Kamu mau tau Raka di mana?" "Iya!" "Penting?" "Banget!" "Buat apa?" Ingin sekali Hana memukul rahang cowok di depannya ini, namun ia harus menahan diri. Ia mau tahu di mana Raka sebenarnya. Sudah ia cari ke mana-mana. Termasuk kelas, perpustakaan, kantor bahkan seluruh sudut sekolada Hasilnya tidak ada! "Pak Deno tadi tanya ke gue, Devian." Hana tersenyum paksa. "Dia pulang--" "Pulang?" "Jangan potong perkataan gue kalau lo mau tau." "Oke-oke. Gue bakal diam." Hana menggerakkan lengannya seperti sedang menutup sleting koper. "Itu anak pulang ke rumah sambil bawa cewek yang sering lo bully." Seketika Hana mengerti maksud Devian. Parasit! Ya! Wajah gadis itu muncul di benaknya! Argh! Membayangkannya saja sudah membuat ia sangat kesal. "Makasih, Devian!" seru Hana, ekspresinya tetap seperti tadi. **** Hana tergesa-gesa ke rumah Raka. Ia tidak rela cowok yang ia sukai bersama gadis lain. Lihat saja! Dia akan memberi pelajaran ke Chesa sampai si parasit itu kapok dan tidak akan lagi mendekati Raka. Catat janji Hana ini pada dirinya sendiri. Tetapi, Hana mengurungkan niat usai melihat mereka dari jendela luar. Chesa dan Raka sepertinya tengah berbicara sesuatu. "Rambut kamu sama kaya kecil dulu. Panjang dan nggak pernah mau dipotong pendek." Raka memulai pembicaraan. "Itu karena ayah aku emang suka rambut panjang. Setiap Ibu mau potong rambut aku, kamu tau apa yang Ayah lakuin? Dia terus berusaha buat menghentikan ibu. Ketawa aku kalau inget moment itu." Chesa terkekeh kecil kemudian. "Oh, aku juga lihat kok. Ayah kamu sampai rela borong baju supaya ibu kamu enggak potong rambut kamu, kan?" "Enggak cuma itu! Ayah juga sampai rela disuruh-suruh Ibu buat ini itu. Bahkan Ayah disuruh masak. Kamu masih inget? Makanan yang dimasak ayah kepedasan. Cabenya banyak banget. Satu keluarga auto diare semua termasuk kamu." Chesa tertawa renyah. "Iya. Berkat kejadian itu, rambut panjang kamu enggak jadi dipotong." "Hu'um. Imbasnya seluruh rumah jadi bau busuk." Chesa berbisik, ia merasa geli sendiri setiap mengingat moment bertahun-tahun lalu. Mereka berdua kemudian tertawa. Chesa bahagia. Baru kali ini ia sebahagia sekarang. Benar kata orang, bahagia itu sederhana. Hanya menghabiskan waktu dengan orang yang kita sayangi saja, itu sudah membuat kita bahagia. Raka berdeham beberapa kali. Ia mulai berbicara tulus. "Tapi bagaimana pun juga, aku harus potong rambut biar wajar. Nanti nyeremin kalau rambut aku ke panjangan." "Rambut panjang atau pendek, aku bakal dukung. Lagian juga, wajah kamu pas dan cantik kalau pakai model rambut apapun." ujar Raka. "Yakin aku cantik pakai gaya rambut apapun?" Chesa mengusap dagu, tampak berpikir. "hm... aku mau cat rambut pakai warna putih. Kira-kira aku masih cantik enggak, ya?" "Cantik. Kalaupun wajah kamu sudah keriput di puluhan tahun berikutnya, kamu... tetap cantik." "Emang kamu pernah liat aku berambut putih? Kok tau kalo aku tetap cantik?" Chesa terdengar tidak mempercayai ucapan Raka. "kamu cuma gombal aja. Iya, kan?" "Aku pernah mimpi, Ches. Di mimpi itu, tiba-tiba muncul wajah kamu yang udah menua. Aku juga. Kita berdua..." Raka menggantung. "Kita berdua kenapa?" Chesa penasaran. Ralat, sangat penasaran! "Kita berdua ketawa, minum teh tanpa gula bersama, dan gigi kita udah ompong alias nggak lengkap lagi." Raka mulai mengingat mimpi yang ia alami kemarin. Mimpi itu membuat ia yakin kalau dia dan Chesa akan bersama selamanya sampai maut menjemput. Tapi.. bisa saja takdir Tuhan berbeda, kan? "Terus terus, kamu liat cucu-cucu kita enggak?" Raka menggeleng. "cuma kita berdua." "Anak kita?" "Belum lahir." "Lahirnya kapan?" tanya Chesa, masih tidak mengerti ke mana pembicaraan itu menjurus. "Kamu mau aku nikahin sekarang? Nanti anak kita lahir." "Raka!" Chesa refleks melempar sendok di dekatnya. Benda terbuat dari besi itu sukses mengenai kepala Raka. "HEH! LO--" Hana membekap mulutnya sendiri. Oh, tidak! Ia hampir mengeluarkan sifat aslinya. Raka dan Chesa kontan menatap Hana yang ada di ambang pintu. Chesa menunduk, mulai ketakutan. "Hana?" Mampus! Gue bodoh! Gue bodoh! Harusnya gue nggak masuk dulu. Dasar Hana bodoh! batin Hana mencemooh dirinya sendiri. "Gu--gue.. A--anu.. tadi... gu... guru..." Hana menarik nafas dalam-dalam, lantas menghembuskan perlahan. Raka tambah heran melihat perilaku Hana yang tidak seperti biasanya. Terlihat lebih gugup. Hm... ada yang janggal. "Guru! Ya! gue disuruh guru buat manggil lo!" "Gue udah izin ke guru, Han." sahut Raka. Hana gelagapan, ia kehabisan kata-kata. Otaknya berpikir keras untuk mencari alasan. Sedangkan Chesa mulai merasa tidak nyaman. Mimpi apa dia sampai dipergoki oleh Hana seperti ini. Ia harus meninggalkan rumah Raka sebelum Hana mengganggunya. "Sebenarnya ada apa lo ke sini, Han?" Raka malas sekali menanggapi gadis itu. Hana merusak waktu bahagianya! "Aku permisi," Chesa mulai bangkit. Dia mengambil tas yang diletakkan di sofa. Hana dia saja ketika Chesa lewat di sebelahnya. Dia akan memberi pelajaran, tetapi tidak untuk sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD