Chapter 55: Rambut Pendek

1500 Words
Raka menatap jengah Hana yang ada di hadapannya. "Sebenarnya ada apa, Han? Kenapa lo ke sini? Lo nggak perlu bohong. Gue nggak suka pembohong." Hana menengok ke belakang sedikit. Chesa sudah pergi! Bukannya menjawab, Hana malah mendekati Raka. Hal itu yang menambah kebencian Raka. "Aku mau ketemu kamu. Dari bel masuk sekolah, kamu nggak kelihatan sama sekali padahal kamu kan berangkatnya pagi-pagi. Eh, ternyata kamu di sini sama Chesa. Kalian bicara hal apa? Kelihatannya asyik banget." "Ada." respons Raka singkat, jelas, padat. Hana sama sekali tidak memahami maksud Raka itu. "Kok 'ada'?" tanyanya memastikan. Ya, siapa tau aja, kan, mulut Raka typo. "Lupain." "Kamu kesal karena aku ganggu kamu sama Chesa, ya?" "Enggak. Siapa bilang?" Raka memandang Hana tanpa ekspresi. "Kamu jawabnya singkat terus, sih. Jadi aku ngiranya kamu lagi marah." "Salah. Gue emang lagi males bicara." ujar Raka terlihat tidak antusias untuk merespons. "Emang ada orang yang males bicara? Bukannya ngomong itu nggak susah, ya? Dan nggak butuhin tenaga ekstra juga." Hana membeo. "Setiap orang itu berbeda." Raka mulai berdiri. Kepala Hana mendongak, mengikuti ke mana arah perginya Raka. "Raka, kamu--" "Aduh, Han. Maaf. Badan gue hari ini kurang vit. Jadi gue mau istirahat." setelah sampai di depan pintu kamar, Raka baru berhenti melangkah. "Lo mau tetap di sini? Atau pergi?" "Kamu sakit?" Hana mendekat, mencoba meraba kening Raka, tapi Raka mundur usai beberapa detik Hana memegang keningnya. "Adem aja tuh." "Kepala gue pusing. Badan gue pegal. Lo nggak bakal ngerasain kecuali lo jadi gue." "Ada banyak obat di apotek. Gue beliin sekarang, ya." tawar Hana Raka menggeleng, "enggak perlu. Oh, iya, kalau lo mau keluar, jangan lupa tutup pintu." Raka berjalan masuk ke dalam kamar. Hana tak bisa mencegahnya. Hanya sebentar saja dia ingin bersama dengan Raka. Tapi lihatlah. Hana hanya bisa membuang nafas kasar. Dia membuka pintu rumah, lantas beranjak dari sana. *** Hana masuk ke dalam rumah. Ia menyambar sofa besar yang terletak di depan televisi. Kaki satunya naik ke atas masih dalam keadaan menggunakan sepatu. Hana tidak berniat untuk melepaskannya. Terlalu merepotkan. Ngomong-ngomong mengapa rumah ini sepi sekali? Mungkinkah semuanya pergi? Ponsel Hana berbunyi, menampilkan notif pesan dari sang ayah. 'Hari ini ayah, adik dan ibumu akan menginap di malam ini. Kamu dan Chesa tidak keberatan kan?' Hana merotasikan bola matanya. "Ngapain gue se rumah sama dia. Berdua lagi. Cih, nggak sudi!" Jemari Hana dengan terpaksa mengetik, 'Iya, ayah. Yang cepat pulangnya, yah.' "Eh, tapi ada untungnya juga ayah gue dan pembantu itu enggak ada di rumah." Hana mulai berpikir licik. Apalagi kalau ia berpikir untuk menyakiti Chesa. Baru saja dipikirkan, gadis berambut panjang sepinggang itu masuk dengan wajah sumringah. Chesa tidak tahu kalau ibu dan adiknya tidak ada di rumah. "Tuan putri sudah datang." Hana menyindir, nada bicaranya terdengar meremehkan. Chesa tak memedulikan. Ia baru saja sembuh dari demamnya. Chesa ingin merilekskan tubuh dan pikirannya terlebih dahulu. Mungkin ia akan tidur beberapa jam. "Manja terus gatel lagi! Udah tau cowok itu milik orang, tapi masih aja direbut! Dasar cewek ular!" seru Hana kembali menyindir. Chesa seketika berpikir tidak ada orang di sini selain ia dan Hana. Sebab jika ada, maka Hana tidak akan berani bersikap seperti tadi. Lancang dan tak sopan. Chesa menggeleng pelan. Sudahlah. Akan menjadi panjang jika ia meladeni Hana. Dia masuk ke dalam untuk ganti baju. Setelah selesai, Chesa membuka sedikit tirai jendela, menyaksikan indahnya matahari senja. Menenangkan sekali. Ia sangat menyukainya. Brak! Pintu dibuka kasar oleh Hana. Lebih tepatnya ditendang. Chesa tergemap. Lengannya mendadak gemetar. "Lo mau apa, Han?" dia bergidik ngeri kala melihat sebuah gunting digenggam oleh Hana. "Rambut lo kayaknya udah kepanjangan deh. Sini gue potong!" Hana tersenyum menyeramkan. "Lo jangan panik gitu dong! Potong rambut di gue gratis kok. Nggak dipungut biaya." ujarnya dengan raut muka di-setting polos. "Lo boleh iri, Han. Tapi nggak gini caranya." Chesa mulai berdiri, rasa paniknya makin menjadi kala Hana semakin dekat. "Udah gue bilang, jangan ketakutan gitu. Gue nggak akan gigit lo kok. Gue cuma mau bikin rambut lo lebih indah dan enak dipandang." Hana menekankan kata 'indah' seolah makna dari kata itu berbeda dari yang ia ucapkan. "Gak!" Chesa mendorong kuat Hana, kemudian langsung berlari. Hana mendengus kesal. Dengan sigap, ia mengangkat rambut Chesa yang terurai bebas. Alhasil gadis itu menghentikan langkah dan sambil meringis kesakitan. Hana menarik kuat rambut Chesa supaya mendekat. "Diem!" "Han..." Chesa tak sanggup melanjutkan lagi. Rasa sakit di kepalanya mendera hebat. Bisa kalian bayangkan, bagaimana rasanya jika rambut kalian dijambak kuat oleh seseorang. "Makanya turutin ucapan gue!" bentak Hana. Ia mengangkat tangan satunya yang membawa gunting, bersiap untuk mencukur rambut Chesa. "Katanya ayah lo suka rambut panjang, kan? Gue mau coba ah. Gimana reaksi ayah lo setelah liat rambut lo gak panjang lagi." Hana tersenyum miring. "Enggak!" Chesa memberontak. Tapi itu malah membuat cengkraman Hana semakin menguat. Nyali Chesa untuk kabur semakin menciut. Chesa tidak bisa lagi menahan tangis pilunya. Sungguh. "Cih, dasar cengeng." ujar Hana, merendahkan. Tanpa membuang waktu lagi, ia memotong rambut gadis tersebut dari rambut bagian bawah terlebih dahulu. Potongannya begitu asal. Tidak seimbang dan berantakan. Hana tidak peduli. Memang inilah tujuannya, membuat Chesa cantik dengan rambut yang ia potong sendiri. Chesa menoleh ke bawah, ia melihat rambutnya tergeletak di lantai. Tidak sedikit, namun banyak. Chesa mengusap kasar air matanya. Ia menendang tulang kering Hana dari belakang. Hana spontan melepaskan Chesa. Chesa langsung berlari ke kamar mandi, menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya. Nafas Chesa memburu, ia terduduk. Jemarinya meraba rambutnya. Kini sudah pendek. Tidak panjang lagi. Rambutnya kini sebatas bawah telinga. Bahkan potongannya tidak rapi. Chesa memeluk lututnya sendiri. Ia menangis sesegukan tanpa suara. Di luar sana, Hana geram. Ia menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan cepat dan kencang hingga menimbulkan suara gaduh. Chesa menutup telinganya sendiri. Andaikan ia bisa kembali ke masa lalu. Sudah pasti ia tidak ingin sekolah di SMA itu sehingga tak akan bertemu dengan Hana. Tapi semuanya sudah terlanjur. Akan sulit bagi Chesa jika pergi dari kehidupan Hana. Mengingat, ibunya menikah dengan ayah Hana. "s**l! Gue nggak akan lolosin lo lain hari nanti!" Hana misuh-misuh. Tenggorokannya mendadak terasa kering. Ia bergerak ke dapur. Melalui jendela dapur, ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Mata Hana menyipit, itu kan mobil ayahnya! Hana segera berlari untuk membukakan pintu. Benar. Ayah, pembantu dan anak kecil itu keluar dari mobil dengan raut bahagia. Hana benci melihatnya. "Bukannya Ayah bilang mau nginep di hotel, ya? Kenapa pulang?" sambut Hana, mengambil alih Lova ke gendongannya. "Ibu kamu tidak mau menginap di sana." Pandu mengendorkan kerah kemeja di lehernya. "Oh. Bagus, Tan! Lagian, suasana rumah sama hotel pasti beda dan lebih enakan di rumah." ucap Hana. "Iya, sayang." Rumaisa menyahut. Ia dan Pandu mulai masuk ke dalam disusul oleh Hana. "Chesa mana?" Sudah ia duga! Pembantu itu pasti bertanya tentang anaknya. "Dia di kamar mandi, Tan." "Sedang mandi?" Hana menunduk. "Bukan..." "Lalu dia sedang apa?" "Nangis, Tan." Rumaisa mendadak gelisah. Selama ini putrinya tidak pernah menangis. Jarang. Kalau dia menangis, berarti ada sesuatu yang serius telah terjadi. "Nangis karena apa?" tanya Rumaisa dengan nada amat serius. "Karena rambut, Tan. Tadi sore dia ke salon. Potongan rambutnya enggak sesuai jadi dia nangis dan ngunci pintu di kamar mandi. Menurutku, Chesa kenak-kanakan. Ini pendapat aku, ya, Tan. Maaf kalau pendapat aku nyakitin perasaan Tante." ujar Hana pura-pura tidak enak. "Kamu benar. Tante akan suruh dia buat keluar." Rumaisa melangkah ke tempat di mana Chesa berada. "Tante, tapi ja---" terlanjur. Rumaisa sudah masuk. Jangan lupa marahin dia sampai nangis darah, lanjut Hana dalam batin. "Chesa! Keluar!" Rumaisa membentak. Chesa yang tadinya menangis, kini terhenti. Dia buru-buru bangkit usai mendengar suara sang ibu. "Ma, Hana--" "Dasar anak malu-maluin!" Badan Chesa seketika tambah lemas. Ibunya mengapa seperti ini? Ah, sudah pasti Hana yang mencuci otak Ibunya. Tatapan Chesa kosong. Baru saja dia merasakan kebahagiaan tadi bersama Raka, namun sekarang dirinya harus menderita lagi. "Ngapain kamu ke salon segala?!" "Salon?" Chesa heran. Melihat tempat itu saja, ia tidak pernah sebab dia merasa tak tertarik. "Jangan pura-pura kaget kamu! Hana sudah cerita semuanya ke saya." Sesuai dugaannya... "aku mau jelasin sebentar aja. Apa Ibu nggak kasih kesempatan?" tanya Chesa dengan suara parau. "Tidak. Buat apa? Kamu mau berbohong, hah?" "Enggak. A--" "Saya tidak bersedia mendengar kebohongan kamu." Tatapan Chesa berubah jadi sendu. "Bahkan sebentar pun Mama enggak kasih aku kesempatan. Mama lebih percaya anak orang lain daripada anak kandung sendiri." "Anak orang lain? Dia itu anak Ibu juga! Dulu, kamu baik dan penurut. Tidak pernah bohong. Tapi sekarang kenapa kamu berani berbohong?" "Ibu enggak bisa bedain mana yang benar, mana yang salah. Kedua mata Ibu masih tertutup." Miris. Itu lah yang ada dipikiran Chesa. "permisi, Ma." ia berjalan melewati Rumaisa dengan kepala tertunduk dan berurai air mata. Ia membuka lemari terlebih dahulu untuk mengambil topi supaya rambutnya yang berantakan ini tertutup. "Mau ke mana kamu?" Rumaisa bertanya tanpa mengalihkan pandangannya. "Katanya Mama enggak akan percaya perkataan aku. Jadi aku enggak perlu berbicara apapun kan?" Chesa tersenyum singkat. Ia menghapus air mata di pipinya, kemudian pergi meninggalkan Rumaisa yang masih terdiam di tempat. Rumaisa merasa aneh. Dia seperti... tidak rela jika anaknya pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD