Chapter 56: Cerminan

2100 Words
"Sa, gue minta maaf. Selama ini, gue udah bully lo. Gue tulus, Sa. Sekarang mulut gue udah enggak bohong kaya dulu. Permintaan maaf gue benar-benar nyata bukan cuma kebohongan. Gue nyesal karena gue selalu ngusik hidup lo dan rebut kebahagiaan lo. Gue minta maaf. Gue yakin, gue akan dapet karma dari perbuatan gue, tapi gue akan terima karma itu dengan senang hati karena gue memang harus daket hukuman." "Aku udah maafin kamu sejak awal, Han. Semua orang itu pernah buat kesalahan. Iya, kan? Kamu jangan merasa bersalah banget. Lagian juga aku udah ngelupain semua pembully an itu." "Semudah itu lo lupain?" "Iya. Buat apa nyimpen kenangan luka? Enggak ada untungnya kali. Yang ada aku cuma nyakitin diri aku sendiri." "Lo jadi orang kenapa baik banget sih, Sa? Gue udah jahat. Gue udah rebut orang yang lo suka. Gue juga... udah rebut ibu lo." "Ibu aku, ibu kamu juga. Kita sekarang udah jadi saudara, Han. Jadi kamu enggak perlu merasa begitu bersalah. Udah. Jangan mellow. Ayo senyum. Semua kegetiran yang terjadi, ayo lupain semuanya. Jangan terbelenggu sama masa lalu." Mereka berdua berpelukan dengan penuh haru dan melupakan semua kejadian pahit yang pernah mereka alami bersama. Chesa terharu menyaksikan interaksi dua orang yang seumuran dia, saling memaafkan. Tadi ia seperti menonton cerminan kisah dirinya dengan Hana. Tapi bedanya, kisah dua orang asing itu berakhir happy dan saling memaafkan. Chesa... tidak tahu bagaimana ending hubungan pertemanannya dengan Hana. Entah Hana akan meminta maaf padanya atau tidak. Tiba-tiba Chesa mengingat kala dirinya pertama kali masuk ke SMA Kauman. Masa itu Hana masih baik padanya. "Murid baru?" "Iya, Kak." "Jangan panggil Kak. Kita seumuran loh. Sekelas malah." Chesa menepuk pelan keningnya. "Maaf. Lupa," "Enggak perlu minta maaf. Oh iya, nama gue Hana Maheswari." dia menjulurkan tangan, Chesa langsung menjabat nya. "Chesa Auliza," "Udah istirahat belum? Belum, kan? Istirahat bareng yuk." ajak Hana. "Belum," "Iya udah ayo. Enggak usah malu-malu sama gue. Sekarang gue sahabat lo. Kita sahabatan. Eh, btw lo mau jadi sahabat gue?" "Mau kok." "Oke, deal, ya! Kita sahabat!" Mereka berdua saling melemparkan senyum. Hari pertamanya sekolah di SMA itu, Chesa merasa amat bahagia. Tidak ada rintangan. Semua murid dan guru menyayanginya. Hingga di bulan ke empat, semuanya berubah. "Eh, lo yang kirim surat ini ke Putra, kan?!" Hana menggebrak meja. Chesa yang sedang berbincang dengan Camelia dan Safira, seketika terdiam. "Surat apa, Han?" "Ini!" Hana melempar sebuah lipatan kertas tepat di wajah Chesa. Untung saja mengenai pipi, bukan mata. Chesa membuka lipatan itu. Dia membacanya dengan teliti. Ia merasa sama sekali tidak menulis surat itu. Memang, tulisan di kertas itu sangat mirip dengan tulisannya, namun Chesa tidak mungkin menulisnya lantaran ia tidak menyukai Putra--murid kelas 10 MIPA. "Han, bukan gue yang nulis surat ini." "Sekarang lo udah berani bohong ke gue? Ke sahabat lo sendiri?" kedua mata Hana berkaca-kaca. "Tulisan di surat ini mirip tulisan tangan lo. Alasan apalagi yang mau lo buat? Lo tau, kan, gue udah suka Putra dari pertama masuk ke SMA ini? Bahkan satu hari pun gue enggak pernah absen buat nyeritain tentang Putra ke lo. Harus kah gue mengalah lagi? Apa harus gue relain Putra sama kaya Gibran waktu itu? Itu yang lo mau kan?" Chesa berdiri. Ia menggeleng-geleng. "Bukan. Bukan gitu, Han. Lo salah paham." "Ternyata benar apa kata Keisha! Lebih baik gue jauhin cewek kaya lo daripada menderita terus kaya gini. Gue kecewa. Mending lo jangan jadi sahabat gue lagi." Hana melengos. Chesa hendak mengejar, tapi dicegah oleh Camelia. "Lebih baik lo biarin Hana sendirian untuk sementara ini aja." Setelah melabrak Chesa, Hana jarang kelihatan. Chesa mencoba ke rumahnya, tapi kata tetangga sekitar, pemilik rumah itu sudah pindah beberapa hari lalu. Minggu depan berikutnya, Hana kembali. Dan lebih mengejutkan lagi, penampilannya berbeda. Seragam dikeluarkan, rok terlampau ketat dan menggunakan sepatu berwarna mencolok. Chesa menyambut baik Hana. Tetapi bukan respons baik yang ia dapat melainkan cacian dan ejekan. Yang membuat Chesa sangat sakit hati adalah saat Hana memanggilnya dengan sebutan 'parasit'. Siapa yang tidak sakit coba jika dipanggil seperti tadi? Camelia, Safira dan teman-teman yang lain kompak menjauhi Chesa. Ya, bisa dibilang Chesa diperlakukan seperti parasit. Dan itulah awal dia menderita sampai sekarang. Sedangkan Putra? Cowok itu pindah ke sekolah lain karena tidak nyaman dengan kehadiran Hana. Nyes! Sesuatu yang dingin menyentuh pipi tirus Chesa. Chesa terperanjat. Ia mencari tahu apa yang ditempelkan ke pipinya barusan. Kedua mata Chesa membesar. Ini dia tidak salah lihat kan? Mengapa Gio ada di sini?! Dari mana tahunya coba?! Alamak! Chesa harus mengeratkan topi supaya wajahnya tak terlihat. "Terlanjur." ucap Gio, mendudukkan diri di sebelah Chesa. Chesa mengunci mulutnya. Tidak! Ia tak boleh menghiraukan Gio. Atau tidak, identitasnya terungkap dan rambut ini... Pasti Gio akan tertawa melihatnya! "Udah Tahu bukan tempe." lanjut Gio, terdengar aneh. Kenapa bawa-bawa tempe?! "Mba, sorry tadi saya enggak sengaja naruh ice cream di pipi Mba." ujar Gio. Chesa dibuat bingung. Sebenarnya cowok itu mengetahui identitasnya atau tidak sih?! "Mba, enggak maafin saya? Kok diam saja?" "Hm." Chesa berdeham kecil. Gio mendekat, mengkikis jarak di antara mereka. Chesa spontan berdiri. "Mbak bilang apa? Saya enggak dengar." Chesa berniat pergi saja, namun lengannya ditarik. Tubuh Chesa spontan berbalik, menghadap Gio. Saat itulah topinya lepas. Mata mereka saling bertemu sejenak. Tawa seorang anak kecil menyadarkan Chesa. Gadis itu syok usai menyadari topinya terlepas. Ia bergegas memungut topi hitam tersebut. Lantas memakainya. "Rambut lo kok... " "Iya! Kenapa? Lo puas bikin gue malu di depan umum, Gi? Puas lo sekarang? Emang, ya. Semua orang kayaknya senang lihat gue menderita." Chesa mulai menangis. Gio gelagapan. Bukan maksud dia untuk membuat gadis itu menangis. Ia hanya bertanya karena terkejut, tidak mengejek. "Lo... Jangan nangis." "Semua orang nggak ada yang mau dengar ucapan gue sama sekali! Dan juga dia nggak ngebiarin gue bahagia. Gue mau nyerah, Gi. Tapi..." pandangan Chesa mendadak kabur. Ia memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. "Sa, lo kenapa?" Gio menahan tubuh gadis itu supaya tidak jatuh. Chesa merasa sangat lemas. Ia tak bisa menopang tubuhnya bahkan membuka mata saja terasa berat. Ia sudah tidak kuat lagi. Gio makin panik melihat Chesa pingsan. Ia takut terjadi sesuatu yang serius pada gadis itu. Satu tangan Gio menyeluk saku untuk mengambil ponsel dan menelefon seseorang. **** Perasaan Rumaisa jadi tidak enak. Sedari tadi ia tidak bisa fokus mengerjakan sesuatu. Ada yang membuatnya resah. Ia menengok ke arah calon suaminya, Pandu. "Mas," "Apa, Yang? Kamu tidak setuju baju bayi yang aku pilih?" Pandu bertanya, ia tak mengalihkan pandangannya dari gadget. Jemarinya men scroll produk dari olshop yang ia tengah lihat. "Bukan itu." Pandu menghela nafas. Ia perlahan menengok, "lalu mengapa, sayang?" Rumaisa seketika mengurungkan niat untuk memberitahu tentang Chesa. Nanti ia di cap sebagai ibu yang tidak baik lagi karena telah membiarkan anaknya pergi di hari menjelang malam. "Sepatu. Kita belum beli sepatu buat Lova," ucap Rumaisa. **** "Dia siapa, Bang?" tanya Alen--adik Gio. Ia mengikuti arah ke mana Kakaknya pergi. "Telefon Dokter sekarang juga." titah Gio, masih melanjutkan langkahnya. Ia kemudian meletakkan tubuh Chesa di sofa dan berusaha keras membuat gadis itu sadar. "Dia cantik, Bang. Pacar, ya?" Alen menggoda. Bisa-bisa nya... "Diem. Mending lo bantuin gue biar dia siuman." Gio menatap tajam sang adik membuat Alena ketakutan melihatnya. "Kasih nafas buatan aja, bang. Kakak kelas gue pernah kaya gini. Setelah dia dikasih nafas buatan pacarnya, dia jadi sadar." saran Alen. Gio menolak keras. "Nggak." "Yah, kenapa? Abang kan pacarnya." "Bukan. Gue cuma temen. Lagian kalau kita udah pacaran, gue enggak mau sentuh dia." "Ciee... Lo jadi bucin sekarang, ya. Pantes setiap hari lo bengong kaya mikirin sesuatu. Eh, ternyata ini." "Diem." ujar Gio kedua kalinya. "Iya, Bang." Chesa mengerjapkan mata. Sayup-sayup dua kelopak mata itu terbuka. Ia melihat wajah Gio dan seorang cewek, tapi wajahnya asing. Chesa tidak pernah melihatnya. "Dia sadar, Bang!" seru Alen histeris. Chesa perlahan duduk dibantu oleh Gio. "Gue di mana?" Chesa memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut. "Di rumah gue. Tadi lo pingsan begitu aja. Lebih baik, lo makan sesuatu dulu biar energi lo kembali." saran Gio, namun gadis itu menolaknya dan mengatakan ingin pulang. "Keadaan lo belum pulih. Ini juga mau malam. Mending lo di sini aja, Sa." "Bener kata Abang! Sasa di sini aja!" Gio beralih menatap sang adik. "Sasa? Siapa?" Alen jadi bingung. "Nama dia Sasa, kan?" "Bukan. Dia Chesa Auliza." "Wah, namanya manis sama kaya orangnya." "Gue harap lo masih normal, Len." "Normal lah! Abang ini pikirannya menjurus ke mana?!" tanya Alen nge gas. Eh, ini kenapa jadi mereka berdua yang ribut? Kepala Chesa tambah pusing mendengarnya. "Sa, lo enggak apa-apa?" Jelaslah kenapa-napa! Gio pake nanya lagi! "Air," pinta Chesa pelan. "Len, ambilin." titah Gio pada sang adik. Alen berdiri dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh sang kakak. Tidak sampai 1 menit, Alen kembali dengan segelas air putih di tangannya. "Ini." Chesa segera menerima. Ia menengguk minuman itu hingga habis. "Makasih." "Amas-amas." "Maksud lo Sama-sama?" sungut Gio. "Yoi. Anggap aja gitu. Mulut gue lagi typo, Bang." "Typonya kebangetan!" Gio sedikit membentak. Namun, mengingat Chesa di dekatnya, ia jadi merasa bersalah. "Maaf gue bikin lo tambah pusing, Sa. Habisnya dia suka mancing emosi gue." Gio melirik Alen. "Apaan sih, Bang! Kok jadi salahin gue? Lagian Abang yang mulai! Bukan Alen!" gadis berusia 15 tahun itu mencak-mencak tidak Terima. Suaranya cempreng sekali. Siapapun yang mendengarnya pasti akan menutup kuping, tapi berbeda dengan Chesa juga Gio. Gio sudah terbiasa, sedangkan Chesa ingin sekali menyumpal kupingnya, namun ia merasa tidak enak. "Gak pa-pa. Gue malah suka. Rumah kalian sepertinya setiap hari rame, ya." Chesa memaksakan senyum di bibir pucat nya. "Pasti dong, Kak! Ya kali sepi," sahut Alen begitu sumringah. "Gi, gue boleh minta tolong?" "Boleh." "Jam tujuh nanti, lo anterin gue pulang, ya?" Chesa meminta dengan raut begitu memohon. "Kenapa enggak nginep di sini aja? Kamu bisa tidur sama Kakak dan juga Alen." suara wanita mendadak muncul. "Kak Minyak Telon akhirnya dateng!" Alena menyambut, ia langsung menyambar Sang Kakak dengan pelukan erat sampai Ilona merasa kehabisan nafas. Ilona--anak tertua dikeluarga ini. Bekerja sebagai wanita kantoran ternyata sudah cukup memenuhi kebutuhan kedua adiknya dan juga ia sendiri. Sedangkan kedua orang tua mereka bertiga kini sedang di luar negeri, melakukan perjalanan bisnis dan entah kapan pulangnya. Chesa mengenal sosok itu. "Tapi, nanti orang tua khawatir, Kak." "Kamu masih aja panggil kakak Minyak Telon!" tegur Ilona pada Alen. Ia sudah cukup sabar menghadapi tingkah aneh adiknya. "Oya, mana nomor orangtua kamu? Kakak akan bilang ke mereka kalau kamu akan nginep malam ini." kata Ilona pada Chesa. Chesa meraba-raba saku. Ia lupa membawa ponsel. "Ponselnya nggak bawa? Kamu inget nomor ibu atau ayah kamu kan?" dari reaksi Chesa, Ilona sudah tahu apa yang akan dikatakan gadis itu. "Enggak, Kak." "Udah sih. Jangan dibikin ribet. Kak Chesa nginep aja di sini! Okay?" sergah Alen. "Sini, Sa. Ikut Kakak." ajak Ilona. Chesa berdiri dibantu oleh Gio. Alen dan Ilona mengantar Chesa ke kamar mereka. Di dalam kamar Chesa melihat sebuah kitab yang berbeda dengan miliknya yang ada di rumah. Ia juga melihat patung salib terpasang di salah satu sudut dinding kamar itu. "Sa, sini duduk." Ilona membuyarkan perhatian Chesa. Ia langsung menengok ke arah wanita tersebut. Ilona menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Chesa yang tahu artinya langsung menurut. "Len, siapin makanan sana." Ilona memerintah. "Ashiap!" Alen mengayunkan kakinya ke dapur. Kini tinggal Chesa dan Ilona. Chesa diam, tidak berani membuka pembicaraan. Jujur, ia canggung dengan seorang yang bahkan ia baru kenal. "Gio selalu cerita tentang kamu. Katanya kamu orangnya enggak enakan, selalu peduliin kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaan diri sendiri, dan kamu orang yang bisa bikin adik kakak berubah. Kakak berterimakasih banget sama kamu," "Adik kakak? Maksudnya Gio?" "Yap." "Kalau soal berubah, itu karena kemauan Gio sendiri. Aku cuma bantu aja, Kak." "Iya, Tapi kata dia, dia berubah karena pemicu pertamanya itu kamu. Dia berusaha dapetin hati kamu, Sa." Ilona perlahan mengangkat dagu Chesa supaya mendongak. "Dia... menyukai kamu." Chesa tergemap. Ia tidak pernah menyangka Gio menyuksinya. Dia pikir Gio bersikap baik kepadanya hanya karena ingin berteman, bukan hal lain. "Besok kamu libur dan tidak ada acara kan? Gimana kalau Kakak dan Alen ngajak kamu ke salon?" "Salon? Kayaknya... itu enggak perlu, Kak. Maaf," Chesa menolak dengan rasa tidak enak. Iya, rasa yang sudah melekat di hidupnya beberapa hari terakhir ini. "Yakin enggak perlu?" Ilona mengeluarkan sesuatu dari balik tabuhnya. Alis Chesa bertaut melihat sebuah undangan pernikahan. "Tadaa..." Ilona membuka undangan yang ia genggam. Chesa terbelalak. Di undangan sana tertera nama ibunya dan juga Om Pandu. Jadi... Mereka akan menikah esok. Akhir-akhir ini Chesa tidak melihat kalender, itu sebabnya ia lupa. Ilona menjentikkan jari tepat di depan mata Chesa. "Malah melamun." tegur Ilona, kemudian terkekeh. Lamunan Chesa buyar. "Jadi gini, besok Kakak mau, kamu ikut. Kamu bersedia kan?" lanjut Ilona bertanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD