Chapter 71: Satu Hari Untuk Selamanya

1682 Words
Raka terperanjat mendengar suara teriakan Chesa. Dia mematikan kompor sebelum bergegas mendatangi Cewek tersebut. "Ada yang salah? Kenapa? Kenapa kamu teriak? Apa Hana datang ke sini?" Raka panik. Chesa terduduk. Keringat sudah mengucur deras sedari tadi. Dia refleks memeluk Raka. Tatapannya seakan takut kehilangan Cowok itu. "Gio pergi lagi ninggalin aku, Raka. Dia... Ninggalin aku. Dia jahat. Padahal aku sayang, kenapa dia pergi?" isaknya. Raka terkejut dengan pernyataan Chesa. Dia tidak menyangka Chesa memang menyayangi Gio. Dia bergerak mengelus punggung Gadis itu untuk menenangkan. "Tenang. Walaupun Gio udah pergi, masih ada aku di sini kok." "Janji kamu bakal selalu ada di dekat aku? kamu nggak akan pernah ninggalin aku, kan? Kamu gak kayak Gio yang pergi begitu aja, kan?" cecar Chesa. Raka menggeleng cepat. "Enggak, Chesa. Aku janji gak akan pernah ninggalin kamu." "Kalau kamu melanggar janji, aku gak akan bisa maafin kamu." **** [Hana, malam ini lo gak ada acara?] Hana membelalakkan mata ketika dapat notifikasi pesan dari Raka. Ini baru pertama kalinya Cowok itu mengajak jalan malam-malam begini. Jari jemari Hana menari di atas layar ponsel. [Enggak ada kok! Emang ada apa, Raka?] [Kita makan malam bareng. Gue tunggu di restoran dekat mall.] [Oke siapp!] Hana melempar asal ponselnya. Ia ingin berteriak kalau Raka mengajaknya jalan. Oke, sekali lagi biar heboh. RAKA MENGAJAKNYA JALAN!!! Hana memekik, tetapi dia membekap mulutnya sendiri lantaran sadar sebentar lagi Ayahnya akan datang. Kalau Ayahnya mendengar dia berteriak-teriak seperti ini, bisa-bisa dirinya akan disebut tidak waras. Hana beranjak ke kamar mandi untuk ganti pakaian. Setelahnya, dia berdiri di hadapan cermin dan mulai merias diri. Yang terakhir, dia menyemprotkan parfum mahal kesukaannya. Tas slempang yang harganya bisa untuk membeli mobil itu, Hana kenakan. Dia keluar. Tepat saat itu Chesa akan masuk. Mereka berhadapan. "Kalau Ayah nanyain gue, bilang gue mau kerja kelompok." singkat Hana sebelum dia berlalu. Chesa memandangi kepergian Hana. Tetapi, mengapa perasaannya menjadi tidak enak seperti ini? Ah, sudahlah. Mungkin itu hanya perasaan saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Ya, dia yakin. Raka pasti akan menjalankan rencananya dengan baik. Langit-langit kini sudah hitam dengan bintang-bintang yang setia menyinari bersama bulan. Bunyi gemuruh petir sesekali terdengar, pertanda tak lama lagi akan hujan. Chesa menutup jendela kamar. Ia lantas menyesap teh manis yang ia bawa. Tangan kanannya kini disibukkan dengan mencatat jawaban PR yang akan diserahkan besok. Ting! Notifikasi chat terdengar. Chesa mengambil. Ternyata dari Raka. [Hana udah pergi, kan?] [Udah. Tiga puluh detik lalu.] [Kamu teliti amat.] [Raka, jangan sakiti Hana, ya.] [Gak, Ches. Percaya sama aku.] [Percaya sama kamu musyrik.] [Bukan gitu maksud aku...] [Hahaha. Iya aku tau. Udah, sana jalanin rencana kamu. Semoga berhasil :)] [Pasti dong. Demi kamu] Perlahan sudut bibir Chesa tertarik. Sekarang Raka begitu manis. Dia tidak sabar untuk bertemu Cowok itu besok. Mendadak suara mobil terdengar dari luar sana. Chesa terkesiap. Itu pasti Ayah, Ibu serta Adiknya. Dia menutup buku, kemudian pergi menuju pintu. Wajah Chesa sumringah. Ibu dan Lova sudah pulang! Dia langsung mengambil alih Adiknya itu. **** Raka terus memasang senyum. Dia menarik bangku untuk Hana. "Silahkan duduk." Sudut bibir Hana tak hentinya tertarik. Ia menyambar bangku yang dipersilahkan Raka. "Terimakasih," "Ada apa nih? Tumben kamu ngajak aku ke sini." lanjut Hana bertanya. Semoga ekspetasi nya benar-benar terjadi! "Nanti. Lo gak mau makan dulu?" "Eh, iya." Hana terkekeh. Ia mulai mengambil garpu dan mengiris steak lantas memakannya sedikit. "Itu. Aku udah makan." "Kenapa buru-buru? Lo gak nyaman sama gue?" "Enggak. Bukan gitu. Aku nyaman sama kamu kok. Banget malah." Hana panik ketika dirinya salah berbicara. Ya, sepertinya dia harus menikmati suasana restoran ini sejenak. Barulah ia bertanya hal itu lagi. Raka mulai memakan makanannya agar Hana tidak terlalu curiga. Mereka berdua diam, disibukkan oleh makanan masing-masing. Raka mengambil tissue, dia mengelap sisa makanan di seluruh bibir ranumnya. "Oh, iya, gue udah pesan minuman ini buat lo. Gue suka itu sejak lama. Mungkin lo juga suka." "Ini?" Hana mengangkat gelas di hadapannya. Langsung dibalas anggukan oleh Raka. Hana meminumnya, tapi seseorang tiba-tiba menabraknya dari belakang. Kontan gelas yang dipegang Hana tumpah. Meja juga terguncang menyebabkan minuman Raka juga ikut tumpah. Hana memicing ke arah belakang. "Kalau jalan yang benar dong! Gimana sih!" amarahnya semakin memuncak ketika dia mengetahui kalau orang yang menabraknya adalah seorang pramusaji. Tanpa menjawab, Pramusaji itu berjongkok dan mulai memunguti pecahan dari gelas itu. Sedangkan Raka? Dia begitu geram. Pramusaji itu telah merusak rencananya. Sebelum Hana datang, Raka sudah mencampurkan sesuatu ke dalam minuman itu agar Hana mabuk dan mengatakan sebenarnya, tetapi seketika hancur gara-gara kecerobohan pramusaji itu. Bagaimana pun juga Raka harus mencari cara lain. "Raka! Lihat! Minuman itu tumpah!" tutur Hana. Raka berlagak tenang. "Tolong bawa minuman yang sama ke sini lagi." "Baik, Tuan." Pramusaji itu pergi dengan beberapa beling di nampannya. "Rok lo gimana? Gak kena, kan?" Hana menggeleng. Ia bahkan tidak memandang Raka lantaran terlalu sibuk untuk membersihkan. "Kena di rok aku." "Perlu gue bantu?" "Enggak usah. Aku bisa sendiri." Melihat Hana yang masih fokus, Raka berdiri. "Gue mau ke kamar mandi dulu sebentar." "Iya. Jangan lama-lama." sahut Hana tanpa mengalihkan pandangannya. Raka beranjak. Ia melangkah bukan ke kamar mandi, melainkan ke arah pramusaji yang pastinya sedang menyiapkan minuman untuk Hana. Dari sini, Raka bisa melihat pramusaji itu berhenti dan menyerahkan nampannya ke Pramusaji lain. Raka tidak ambil pusing. Dia langsung saja mendatangi Pramusaji itu. Namun, yang aneh, kenapa pelayan itu memakai topi? Pramusaji itu berhenti tepat di depan Raka. Ia menyerahkan dua minumannya tanpa mengatakan apapun. Setelah Sang pramusaji pergi, Raka menengok dulu ke arah belakang untuk memastikan Hana tidak melihat. Dia mengeluarkan sebuah bubuk dan menuangkannya ke minuman yang akan diberikan kepada Hana. "Nih," Hana mendongak, senyum di bibir nya terbit. "Makasih, Raka sayang." ucapnya membuat Raka mengumpat di dalam hati. Hana tidak berhak memanggilnya 'sayang'. Ia tak suka dipanggil seperti itu. Raka mengambil gelas satunya, ia mulai meminum minumannya juga agar Hana tidak curiga. Matanya terus memandang Hana yang sedang meminum minuman yang ia telah campurkan sesuatu. Tidak disangka ternyata Hana menghabiskan minuman itu. Karena bagi dia... Apapun kesukaan Raka, dia akan menyukainya juga. "Selera kamu bagus, ya. Jus ini enak loh. Aku juga suka." kata Hana. Raka membalas senyum. Mendadak kepala Hana menjadi pusing. Ia berusaha untuk tidak tumbang saat itu juga. Raka... Kini terlihat menjadi banyak. Hana menatap langit-langit restoran, mengapa... mengapa semuanya terasa aneh? "Raka, kamu..." Hana tidak bisa melanjutkan perkataannya lagi. Dia pingsan begitu saja. Raka tersenyum samar. Tangannya terulur untuk mengguncang bahu Hana. "Han, lo kenapa?" Tiba-tiba Hana mendongak, "Raka sayang! Gue suka sama lo, tapi kenapa lo malah suka sama parasit itu! Gue kurang apa?!" Dari tatapan mata Hana, Raka bisa tahu kalau Cewek itu sudah mabuk. "Raka... gue sayang sama lo. Gue nggak suka Devian! Gak suka!" rengek Hana membuat mata orang-orang sekitar tertuju ke arah Mereka berdua. "Han, tenang dulu. Lo--" oh, Tuhan! Kenapa kepalanya mendadak pening? Raka berusaha mengontrol dirinya, ia berusaha berdiri tegak. Matanya melihat sekitar, semuanya... menjadi banyak. Dan restoran ini seperti sedang gempa. Raka melihat ke arah gelasnya. Apa dia salah menaruh obat? Tubuh tegap Cowok itu ambruk begitu saja. Dia pingsan. Seorang Laki-laki di sudut sana menyeringai. Dia bergegas mendatangi dan membawa Hana serta Raka ke dalam mobil. "Saya teman Mereka. Saya akan antar Mereka pulang." itulah yang dikatakan Devian ketika ditanya. Iya, Devian. Dia lah yang menaruh sesuatu ke minuman Raka juga Hana. Dia juga sudah menyuap seorang pramusaji untuk bekerja sama dengannya. Dan... Devian lah yang mendengar percakapan Chesa dan Raka sewaktu di restoran malam kemarin. Bukan tanpa alasan. Semua ini Devian lakukan demi Hana. Sampai nya di sebuah hotel, Devian menuntun Raka terlebih dahulu ke ruangan nomor 11. Terakhir, dia membawa Hana ke ruang nomor 12. Hana melihat Devian sebagai Raka. Dia tersenyum. Tangannya melingkar di leher Cowok itu. Keduanya mendekat. Bibir ranum Hana menyentuh bibir tipis Devian. Mereka saling memakai. Di luar, hujan semakin deras. **** "Hana di mana?" tanya Rumaisa, memperhatikan setiap sudut rumah. "Dia lagi kerja kelompok di rumah Keisha, Ma." "Semalam ini?" tanya Pandu di dapur sana. "Iya, Om." Chesa tersentak ketika tangannya di tarik. Ia semakin takut melihat ekspresi garang Sang Ibu. "Kamu itu sampai kapan memanggil ayahmu 'Om'?" tegur Rumaisa lirih, tapi penuh penekanan. "Ma--maaf." "Maaf kenapa?" sergah Pandu. Baik Rumaisa dan Chesa kompak menoleh. Rumaisa langsung melepaskan cengkramannya. "Karena... Karena dia--" "Aku minta maaf ke Mama karena gak ikut Hana kerja kelompok." potong Chesa. Rumaisa lega. Putrinya itu tidak mengatakan yang sebenarnya. "Chesa ke kamar dulu, Om, Mah. Aku mau tidur." pamitnya. "Lova, yuk ikut Kakak." ia melempar senyum ke arah Adiknya. Lova kecil balas tersenyum. Chesa menggendong Sang adik. Sampainya di kamar, ia meletakkan Lova di sebelahnya. Chesa merebahkan diri dengan badan yang menghadap Lova. Jari jemarinya memainkan tangan kecil Sang Adik. "Kamu tau? Kakak kangen sama kamu, loh. Udah berapa hari kamu pergi, ya? Tiga atau dua hari?" "Lova juga kangen Kakak." balas Anak kecil itu. Chesa terperangah. "Kamu sudah bisa berbicara?" ia terduduk. "Kata Ibu, aku udah gede. Aku halus udah bicala." Chesa terkekeh. Adiknya itu sangat menggemaskan. "Iya, Kakak tau." ia kemudian memeluk badan kecil Lova. "Aku sayang Kakak," "Kakak juga sayang kamu." balas Chesa dengan senyum manis. "Sekarang... Lova harus tidur. Udah malam. Gak baik begadang." "Enggak mau. Lova mau bicala sama Kakak dulu." "Besok, sayang. Ini udah jam sepuluh. Nanti kalau Lova enggak tidur, mata kamu jadi hitam. Emang Lova mau matanya hitam?" Gadis kecil itu menggeleng. "Nah. Makanya ayo tidur. Kakak bacain dongeng deh." Chesa mulai merebahkan diri. Ia mengulurkan tangan satunya. Lova langsung menidurkan diri di atas lengan Sang kakak. Sementara Chesa mulai membacakan dongeng untuk adiknya. "Putri salju dan Pangeran pun hidup bahagia." kata Chesa, mengakhiri cerita. Dia senang membaca kisah yang happy ending. Satu hal mengganjal di pikirannya. Apakah... Kisahnya juga nanti akan berakhir indah? Chesa mulai melepaskan tangan Lova yang merangkul dirinya. Dia penasaran dengan Raka. Cowok itu dari tadi tidak mengabari dirinya padahal sudah tiga jam sejak Raka mengirim pesan padanya. [Raka, gimana? ] [Kamu udah dapat bukti kan?] Centang satu. Itu artinya Raka sedang offline. Perasaan Chesa jadi tidak enak. Tapi ia berusaha menghilangkan rasa itu. Tidak mungkin juga, kan, Raka berbuat yang aneh-aneh. Chesa meletakkan ponselnya kembali di nakas. Perlahan matanya terpejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD