Chapter 70: Datang, lalu Pergi

1623 Words
Devian tidak menyangka Hana benar-benar tega melakukan hal buruk ini. Dia kira, Hana sudah menyerah dan tak akan berusaha membunuh Chesa lagi, namun salah. Hana memegang bekas tamparan Devian dengan mata memerah sekaligus berkaca-kaca. "LO ENGGAK BERHAK NAMPAR GUE!" Devian tidak menghiraukan Hana. Dia melepas jaket hitam yang ia kenakan, lantas masuk ke dalam kolam tersebut untuk menyelamatkan Chesa. Dia menggendong Chesa dengan kedua tangannya. Devian panik lantaran Gadis itu tidak sadarkan diri. "Oh, jadi lo suka dia?! Lo berani nampar gue gara-gara dia?! Devian! Jawab gue!" teriak Hana tak terima. Devian bergerak menekan d**a Gadis itu agar semua airnya keluar. Tidak. Jangan sekarang. Chesa tidak boleh meningggal. Cukup dirinya saja yang menjadi pembunuh,sedangkan Hana jangan. Dia tak akan membiarkannya. "Devian! Jangan selamatin dia! Lo sebenarnya suka dia atau gue sih?!" "Dev! Kenapa lo tiba-tiba peduli sama dia , hah?!" "Devian!" Cowok itu geram. Hana menambah suasana menjadi semakin genting. Dia menoleh dan memberi tatapan tajam. "Diam! Harusnya kamu bantu aku. Bukannya malah ngoceh enggak jelas." "Apa lo bilang? Enggak jelas?!" "Bantuin." tekan Devian. "Ogah!"' Hana pergi begitu saja. Tidak peduli dengan Devian yang masih berusaha menyelamatkan Chesa. Chesa terbatuk-batuk. Air bening keluar dari mulutnya. Sayup-sayup netra hitam itu terbuka dan mendapati Devian yang menatap panik. "Lo enggak pa-pa?" tanya Devian. Chesa mengangguk, ia beringsut duduk. Saat itulah Devian memegang pundak Chesa untuk membantu. "Makasih." parau Gadis itu. Devian melenggut. "Mulai hari ini, lo harus waspada sama Hana. Dia bisa nyelakain lo kapanpun." sarannya. Belum Chesa menjawab, Devian sudah pergi meninggalkannya. Devian mengejar Hana. Ia takut Cewek itu marah. Padahal tadi dia menyelamatkan Chesa untuk kebaikan Hana juga. "Hana! Tunggu!" dia berhasil mengejar Hana. Dipegang eratnya tangan Hana, Devian berbalik menghadap Gadis tersebut. "Apaan sih lo?!" Hana menghempaskan tangan Devian yang menggenggamnya. "Kamu jangan berbuat gegabah, Han. Aku nyelamatin Chesa bukan karena aku peduli apalagi suka sama dia, tapi aku gak mau kamu jadi pembunuh. Aku gak mau tangan kamu kotor." jelas Devian. Hana memutar malas bola matanya. "Halah! Basi. Bilang aja suka! Emang dari awal lo sama sekali enggak berniat membunuh dia. Apalagi kalau bukan suka coba." "Hana!" gertak Devian. Hana mendelik, "Apa?!" "Aku cuma suka sama kamu." "Aku juga sayang sama kamu." "Kamu enggak pernah berpikir buat menghargai perasaan aku? Sekali aja, Han. Balas perasaan aku." "Enggak! Gue nggak suka lo. Gue suka Raka. Jangan harap gue mau balas perasaan lo. Cih. Lo bukan kriteria gue." Hana melewati Devian. Pundaknya menyenggol kasar bahu tegap Cowok itu. Chesa merasa kasihan dengan Devian. Dari mata itu, dia bisa melihat ketulusan yang dalam, tapi Hana justru bersikap seenaknya. Ketika akan mendatangi Cowok itu, Devian malah sudah pergi duluan. **** Chesa terkejut ketika Raka mengajaknya bertemu malam-malam begini. Dia duduk di salah satu bangku yang sepertinya sudah di pesan oleh Raka karena pramusaji menyuruhnya untuk duduk di sini. Pengunjung cafe tidak begitu ramai. Kebanyakan orang-orang yang ada di cafe ini adalah orang seumuran dengan dirinya. Chesa membuka ponselnya, ia akan mengabari Raka sekarang. "Enggak perlu. Aku udah di sini." Chesa menoleh ke belakang. Seketika sudut bibirnya tertarik, "Aku kira kamu bakal lama datangnya." Raka menarik bangku di hadapan Chesa, lantas duduk. "Nunggu lama, ya?" "Enggak kok. Cuma lima belas menit." "Berarti itu lama dong." "Bagi aku sebentar. By the way, ada apa? Ada masalah serius, kah?" tanya Chesa, menatap penasaran. "Bukan masalah, tapi rencana." "Rencana?" "Iya. Rencana buat nemuin pembunuhnya Gio." Raka beralih duduk di samping Chesa, ia mengikis jarak dan mulai berbisik tentang rencananya. Chesa mendengarkan saksama, tapi ada rasa tak setuju di hatinya. Rencana Raka terlalu berisiko. Raka memandang Chesa, memberi isyarat setuju atau tidak. Gadis itu tetap mengangguk meski ada rasa tidak rela. Seseorang dengan memegang koran di belakang bangku Mereka, tersenyum tipis. Ia mengeratkan topi hitam yang ia pakai. Baginya rencana Raka akan membuka kesempatannya untuk memiliki Hana se utuhnya. Orang itu tidak percuma mengikuti ke mana perginya Chesa. "Kamu yakin? Besok Ibu sama Ayah pulang, Raka. Kalau Mereka lihat Hana kayak gitu, gimana? Aku enggak tega liat Hana dimarahin." "Hana aja tega nyiksa kamu waktu di sekolah. Kenapa kamu malah enggak tega, Ches?" tanya Raka. Chesa itu terlalu baik. Oleh karena itu Hana semakin bersikap semena-mena. "Ya, kan, sebagai adiknya aku nggak mau lihat dia dimarahin," "Emang Hana udah menganggap kamu sebagai adik?" Chesa menggeleng samar, "Walau begitu, aku tetap nganggap dia Kakak kok." ia lantas mengambil gelas untuk menyesap cokelat panas. Dahi Raka mengerut dalam mendapati jari-jari Chesa yang keriput. Tumben sekali. Biasanya normal-normal saja. "Kamu mandi jam berapa?" Chesa terperangah, "kenapa tanya gitu? Badan aku bau, ya?" ia mendengus, mencium aroma badannya, namun biasa saja. Tidak bau sama sekali. Hanya tercium parfum yang ia pakai tadi. "Bukan bau. Jari kamu keriput. Apa Hana gangguin kamu lagi?" "Enggak kok." entah sudah berapa kali Chesa berbohong demi Hana karena dia tak mau Raka khawatir. "Udah. Enggak ada yang mau dibahas lagi, kan? Aku pulang, ya." "Jangan sekarang dong. Kamu enggak mau ngobrol sama aku?" "Ngobrol apa? Besok aja, ya. Enggak baik ngobrol larut malam gini. Aku pergi dulu." "Eh, tunggu. Aku anterin kamu pulang." "Enggak usah." "Gak ada penolakan yang diterima." tegas Raka. Chesa merengut dibuatnya. "Kamu Cewek, Ches. Bahaya pulang sendirian." "Sampai depan gerbang aja, ya? Aku takut Hana lihat." ujar Chesa, langsung dibalas anggukan oleh Raka. **** "Pembunuh!" "Lo enggak pantas hidup!" "Lemparin dia pakai kotoran aja, guys! Biar kapok!" "Ih. Merinding gue dekat-dekat dia. Jangan-jangan nanti gue bakal dibunuh juga." "Intinya jangan temenan sama dia kalau masih mau hidup di dunia ini." "Eh, dengar-dengar adiknya Gio di penjara gara-gara dia, loh." "WTF! Serius lo?" "Ya enggak tau. Berita itu simpang siur sih." "Awas! Pembunuh mau lewat, gaes!" "Gue enggak nyangka banget. Mukanya polos, tapi kok kelakukan mirip iblis." "Buat apa sih dia membunuh Gio? Emang Gio punya salah sama dia, ya?" "Gak dong. Gio malah keliatan baik, tapi Chesa nya aja yang gak tau balas budi." "Gue khawatir nih. Masa dia dibiarin sekolah di sini. Bilang aja ke kepala sekolah buat keluarin dia, yuk." "Kita nggak perlu ke sana. Kan, ada Hana yang bertindak." Kepala Chesa tertunduk. Ia mendengar semuanya. Sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk menjawab Mereka. Percuma. Dirinya nanti akan dipermalukan. Chesa hanya bisa berharap situasi ini cepat berlalu. Hana muncul, dia melempar telur ke rambut Chesa. Semua yang ada di sana terbelalak. "Kenapa kalian cuma ngomong doang? Sekalian aja lemparin dia. Jangan nanggung-nanggung." Hana mengulas senyum. Dia kemudian menengok ke belakang, "bagiin telurnya ke semua murid yang ada di sini." titahnya pada Pak Addar, Sang supir pribadi. Pak Addar menurut saja. Dia membagikan telur itu. Tidak ada yang menolak. Chesa memejamkan mata. Bau amis menyeruak di indra penciuman nya. Dia lanjut melangkah sebelum murid lain ikut-ikutan melempar telur ke arahnya. "Heh! Mau ke mana lo?!" gertak Hana. Ia mengejar Chesa. Tepat ketika dia berada di belakang Gadis itu, kuku-kukunya menancap di bahu Chesa. "Lo yakin mau pergi? Apa lo mau gue keluarin dari sekolah ini?" Kontan Chesa menggeleng cepat. "Nah. Makanya lo tetap di sini." Hana melengos. Ia beralih memandang teman-temannya. "Ayo! Mulai, guys!" lanjutnya berteriak heboh. Semua mulai melempari Chesa dengan telur. Ada yang tidak tega, ada juga yang dengan brutalnya menimpuk tanpa jeda. Chesa diam. Hatinya sudah muak. Dia ingin sekali melawan Mereka. Ia juga ingin membuktikan kalau dirinya bukan pembunuh Gio. Tapi saat akan menangkal hal itu, lidahnya terasa kelu. Chesa mendadak jadi tidak berdaya. Dan pada akhirnya... dia harus menerima hinaan dari kesalahan yang tidak ia perbuat. **** Gadis itu terus merenung di bangku penonton lapangan basket. Tidak ada waktu untuk membersihkan tubuhnya. Dua menit lalu, bel sudah berbunyi. Bau amis yang menyengat sama sekali tidak mengusik dirinya. Netra hitam itu terus memandang lurus. Tatapannya kosong. "Kalau sedih yang aesthetic dong. Jangan diem-diem aja." Chesa melengak. Suara itu tidak asing. Dan benar saja ketika dia menoleh... "Gio!" rautnya berubah sumringah. Sudut bibir yang tadinya datar kini tertarik. Ia segera berdiri. "Ini beneran kamu? Serius? Kamu masih hidup? Aku enggak salah lihat kan? Hari itu enggak pernah ada, kan? d**a kamu... " Chesa tersenyum haru. "d**a kamu udah gak berdarah berarti hari itu mimpi." Gio tidak menjawab. Ia malah terus menatap teduh Chesa. "Kamu mau janji sama aku?" Pertanyaan Gio membuat Chesa mengernyit bingung. "Janji apa?" "Janji enggak akan sedih dan melamun kayak tadi lagi, oke? Kamu enggak salah, Sa. Kamu berhak melawan Mereka. Berhenti jadi Cewek lemah, ya? Kamu harus tegas. Aku enggak rela kalau kamu terus ditindas seperti ini. Kamu gak harus selalu tunduk sama Hana. Tolong berubah, Sa. Demi aku. Biar aku bisa pergi dengan tenang. Walaupun aku enggak ada di sekitar kamu, aku ada di dalam hati kamu. Aku juga ada di setiap kenangan dan juga aku akan selalu awasin kamu dari atas sana." "Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu marah karena aku enggak balas cinta kamu? Aku bersedia jadi pacar kamu kok. Asalkan kamu tetap di sini. Jangan pergi. Kasihan Kak Ilona sama Alen. Mereka terpukul banget waktu kamu enggak ada. Ayo, kita pulang, Gi." Chesa berusaha meraih tangan Gio, namun Cowok itu tak bergeming sama sekali. "Alam kita udah berbeda, Sa. kita enggak bisa bersama lagi kayak dulu." "Terus buat apa kamu ke sini, Gi?" parau Chesa. Gio menarik sudut bibir, "Buat menghibur dan kasih motivasi buat kamu." ia menjeda. "apa boleh aku minta sesuatu?" "Boleh." "Peluk aku sekali aja." Gio merentangkan tangan. Kedua mata Chesa berkaca-kaca. Dia buru-buru mendekap tubuh Gio. Mereka berpelukan sejenak. Melupakan kalau Keduanya sudah tidak bisa bersama lagi. Alam Mereka telah berbeda. Air mata Chesa tumpah. Harusnya dia tidak datang ke rooftop waktu itu. Chesa makin melekap erat Gio. Namun, Gio malah melepaskan pelukan dan beralih menangkup kedua pipi Chesa. Salah satu tangannya mengusap air mata Gadisnya itu. "Jangan sedih lagi." Gio tersenyum. Lama kelamaan tubuh Cowok tersebut menghilang seiring dengan angin yang berhembus. "GIO! JANGAN PERGI LAGI!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD