CHAPTER 11: Pahlawan

1546 Words
"Raka!" Chesa mendorong Revan dan berlari kepelukan Raka. "Lo enggakpapa? Ini pakai jaket gue," Raka melepaskan pelukan Chesa, memberi jaketnya dan berlari ke arah Revan. "Lo pikir bisa semudah itu ganggu dia!" Raka melemparkan tinju kepipi Revan. Chesa yang menyaksikannya pun ngilu sendiri dan sesekali memejamkan mata. Hingga akhirnya, polisi yang Raka panggil sebelum kemari, datang melerai mereka berdua sekaligus menangkap Revan. Raka senggang melihat Revan sudah ditangkap. "GUE BAKAL KEMBALI!" teriak Revan yang sedang diborgol oleh polisi. Chesa mendekati Raka. "Bibir lo berdarah. Maafin gue ya," jelas dirinya merasa sangat bersalah. "Enggak usah minta maaf, ini bukan salah lo." Raka tersenyum kepada Chesa dan membelai rambut hitam Gadis yang ada di hadapannya ini. Chesa tertunduk sembari menitikkan air mata. Raka yang melihatnya pun ikut sedih, ia dengan pelan mendongakkan wajah Chesa dan mengusap air mata Gadis itu. "Kalau lo nangis, gue jadi ikutan sedih." ucapnya dengan tatapan sendu. Chesa berusaha untuk kuat. Dia segera menyeka air mata yang masih tersisa dipipinya menggunakan tangannya sendiri. "Ayo, gue anterin sampe ke rumah lo" Chesa berdiri dan menuntun Raka. "Enggak. Gue aja yang anterin lo biar sampai ke rumah dengan aman," tolak Raka demi kebaikan Chesa. "Kita mampir dulu ke puskesmas buat ngobatin luka lo," saran Chesa. Raka tentunya mengelak mengingat hari sudah larut malam. "Enggak usah, Sa. Gue bisa obatin sendiri di rumah nanti," Raka masih tetap menegah. "Ya udah kalau tetap enggak mau," Chesa akhirnya mengalah. Mereka berdua keluar dari hotel tersebut. Tentunya semua orang yang penasaran berkumpul melihat siapa yang ditangkap oleh polisi. Beberapa orang bahkan berbisik membicarakan orang yang sedang ditahan oleh pihak berwajib siapa lagi kalau bukan Revan. Raka memberikan helm fullfacenya kepada Chesa. "Lo sebelum pergi reuni udah izin sama Tante Rumaisa?" "Belum, soalnya tadi lupa." lirih Chesa. Dia baru ingat sekarang. Entah bagaimana reaksi Rumaisa saat dirinya pulang nanti. "Habis ini lo enggak takut dimarahin?" "Udah resiko. Gue enggak takut kok," ucap Chesa. "Lain kali, kalau lo deket sama cowok lain jangan lupa bilang dulu ke gue." setelah mengatakan itu, Raka naik bersiap untuk menjalankan motor, sedangkan Chesa kaget mendengar perkataan Raka barusan. "Kenapa harus kaya gitu?" tanya Chesa. "Karena gue tau mana laki-laki yang baik buat lo dan mana yang enggak," balas Raka. "Ayo naik," lanjut Raka mempersilahkan. Ya ampun! Kenapa pipi Chesa memerah setelah mendengarkan perkataan Raka tadi. Dia memang orang yang mudah jatuh cinta. *** "Turun di sana." Chesa menunjuk rumah lamanya. Menyuruh Raka untuk berhenti. Raka pun menurut. "Sebelumnya makasih lo udah nyelamatin gue," lafal Chesa. "Sama-sama." Chesa tetap mematung, tidak masuk padahal Raka akan pergi jika Chesa sudah masuk ke rumah. "Kenapa diem?" Chesa kebingungan. "Masuk ke rumah. Ntar gue cabut." ujar Raka. "Ya nanti, lo dulu yang cabut sana." balas Chesa tak mau kalah. "Lo dulu," kata Raka. "Lo," "Enggak. Lo duluan," "Lo," "Lo dulu dong. Lo kan laki-laki," Chesa sudah mulai emosi. "Enggak. Gue harus mastiin lo bener masuk ke rumah apa enggak," ucap Raka santai. "Ini udah sampe rumah," lawan Chesa. "Ya masuk," "Lo cabut dulu. Baru gue masuk," Chesa masih bersikukuh. "Enggak." Raka memalingkan muka, tetapi matanya masih melirik. "ih! Kalau kaya gini enggak bakal selesai!" dongkol Chesa. "Gue masuk ke rumah, sedangkan lo cabut oke?" saran Chesa. "Okeh," tangan Raka bersiap untuk mengendarai motornya. Ya Tuhan! Semoga saja pemilik rumah yang Chesa akan masuki ini tidak muncul sekarang. Gerbang tidak digembok! Kenapa pemilik bekas rumahnya ini tidak khawatir akan maling yang berkeliling pada dini hari nanti. Chesa masuk. Kini sekarang ia sedang berada di halaman rumah besar itu. Tangannya mengisyaratkan Raka untuk pergi. Beberapa menit kemudian, Raka tancap gas meninggalkan tempat tersebut. Chesa lega. Dia keluar dari rumah tersebut dan jalan menuju rumah sebenarnya. Rumah yang dibangun oleh anyaman bambu, rumah pagar. Dia bersiap-siap untuk dimarahi oleh ibunya nanti. Dia membuka pintu rumah. Chesa terkejut karena pintunya tidak dikunci. Apakah ibunya lupa atau ketiduran? ia masuk ke rumah dan menilik ke sana kemari. Sepertinya tidak ada orang selain dirinya. Ke mana ibu dan juga adiknya? Tapi ada untungnya Rumaisa tak ada di rumah karena dirinya tidak diinterogasi sekarang. Chesa memilih untuk tak menghiraukan. Ibunya sering kali menginap di tempat kerjanya. Ia memilih untuk mengunci pintu dan beristirahat. *** Pagi yang cerah, Chesa keluar, menghirup udara yang masih segar dan belum tercemar oleh polusi asap kendaraan. "Mamah dari mana aja? Kok baru pulang?" tanya Chesa kala melihat Rumaisa dan adiknya baru saja datang. "Mamah nginep di rumah majikan." "Oh gitu, ya udah... Chesa pamit dulu ya." Chesa menyalimi tangan Rumaisa. "Hati-hati. Nanti langsung pulang dan jangan main ke rumah siapapun, oke?" "Siap, Bos." balas Chesa. Hari ini dia sengaja berangkat awal. Berharap Raka juga sudah berangkat sehingga dia bisa mengembalikan jaket itu. Dan ternyata dugaannya benar. Nampak Raka yang sedang fokus membaca buku. "Raka," panggil Chesa membuat yang dipanggil refleks mendongak. "Iya, kenapa?" Chesa meletakkan tas dimejanya, merogoh untuk mengambil jaket milik Raka. "Ini punya lo. Makasih ya," Chesa memberikan jaket berwarna coklat itu. "Sama-sama." "Kemarin lo dimarahin ibu lo?" tanya Raka. "Enggak. Ibu gue lagi nginep di rumah ma-" ucapan Chesa terhenti. Dia baru sadar kalau Raka tidak mengetahui bahwa ibunya kini sudah berprofesi sebagai pembantu dan juga Chesa bukan lagi berasal dari keluarga yang berada. Dia tidak ingin Raka mengetahui hal tersebut. Chesa takut Raka akan berubah seperti Revan. "Ah, enggak! Maksud gue itu mamah kemarin nginep di rumah temennya." lanjut Chesa gugup. Raka menautkan alis, menatap heran. "Oh gitu." "Iya," "Lo tadi udah sarapan?" Raka kini menutup buku yang tadi ia baca. "Udah," jawab Chesa, tapi tak lama kemudian... GRRUUGGG Bunyi perut seseorang terdengar ditelinga Raka. "Mulut bisa bohong, tapi perut lo enggak." ucap Raka. Chesa tertunduk malu. "Yuk, kita makan di kantin." Raka berdiri dan menggenggam tangan kurus Chesa. "Tapi gue lupa bawa uang. Gue baik-baik aja walaupun enggak sarapan," tolak Chesa. Tangannya berusaha untuk melepaskan telapak tangan Raka yang menggenggamnya. "Gue yang bayar," "Enggak usah. Gue udah cukup ngerepotin lo tadi malam dan gue enggak mau bikin lo repot terus," kata Chesa. "Enggak ada penolakan. Lo pernah pingsan gara-gara belum makan," "Pingsan?" "Iya. Waktu itu lo pingsan dan gue yang bawa lo ke UKS," Raka menggenggam telapak tangan Chesa dan menyeretnya secara halus. Chesa pun mengikuti, memang sejujurnya dia sudah lapar sejak malam tadi. "Raka! Lo mau ke mana?" sambar Hana yang baru saja datang. Dia menyesuaikan langkah Raka yang sedang menggandeng Chesa. Raka tak menghiraukan Hana di sampingnya. Sekilas Hana melotot ke arah Chesa. "Jangan kaya gitu matanya. Nanti gue colok, lo nangis." ekor mata Raka melihat Hana sedang memelototi Chesa. "Siapa yang melotot?" tanya Hana pura-pura tidak tahu. "Tuh, yang barusan nanya."jawab Raka tanpa mengalihkan pandangannya dari depan. "Raka, lepasin tangan gue." pinta Chesa, tapi laki-laki yang sedang memegangnya ini tak menghiraukan. "Sana pergi! Jangan ganggu gue yang mau berdua sama dia!" Raka sedikit membentak membuat Hana terpaksa memberhentikan langkahnya. Dia menatap berang Raka dan Chesa yang berlalu. "Lepasin gue!" Chesa akhirnya bisa lepas dari genggaman Raka dan menghempaskannya dengan kasar. "Lo kenapa setiap ada Hana pasti berubah? Lo takut dibully sama dia?" "Bukan urusan lo!" Chesa pergi meninggalkan Raka. "Itu urusan gue. Gue minta lo jangan bohongin perasaan lo sendiri, Sa. Gue tau sifat lo karena gue temen lo dari kecil," kedua netra Raka melihat mata Chesa dengan tatapan yang dalam. Chesa tertunduk. Memang benar apa yang dikatakan Raka. Tangan kanan Raka meraih lengan Gadis yang ada di depannya. "Ada gue di sini. Gue bakal selalu jagain lo," "Kalau Hana berani bully lo, gue bakal ngambil tindakan." "Gue minta lo ikut gue ke kantin biar lo enggak pingsan lagi," Chesa masih terdiam. "Lo mau?" tanya Raka sambil menilik wajah Chesa yang menunduk. Gadis itu mengangguk pelan. Mereka berdua sampai di kantin. Keadaan kantin masih sepi karena sangat jarang murid-murid datang ke sini pagi-pagi. Hanya ada dirinya dan juga Chesa. "Mau pesen apa?" Bi Surti menanya. "Satu mangkok bakso sama es teh aja, Bi." Raka membalas. Awalnya suasana hening dan tenang, namun Hana tiba-tiba datang menghampiri mereka berdua. "Bi! HANA PESEN MIE GORENG!" teriak Hana kepada Bi Surti yang sedang berada di dapur kantin. Dia kemudian duduk tepat di samping Raka. Tanpa memperdulikan kehadiran Chesa yang ada di sana, Hana merangkul dan badannya itu sangat menempel pada Raka. "Raka! Lo udah belajar buat ulangan minggu depan kan?" tanyanya. "Jangan nempel-nempel kaya gini dong. Nanti kena fitnah," respons Raka. "Fitnah apa?" ---- Hana. "Fitnah kalau gue pacaran sama lo," "Nanti kan sebentar lagi kita pacaran." jawab Hana dengan nada diimut-imutkan. Entah kenapa, Chesa merasa cemburu melihat Hana seperti itu pada Raka. "Sorry, gue udah ada yang punya." Raka sekilas melihat Chesa. "Ada yang punya? Siapa?" Hana bertanya-tanya. "Adalah pokoknya. Lo enggak perlu tau karena itu bukan urusan lo," ucap Raka nyelekit. Hana berusaha untuk tidak emosi. "Kenalin gue sama dia dong," "Lah, lo kan udah kenal sama dia bahkan setiap hari lo gangguin dia terus," Raka membuat Hana semakin bertanya-tanya. "Maksud lo?" "Pikir sendiri." singkat Raka. Pesanan Raka akhirnya datang. Muncul lampu terang diotak Hana. Dia merebut nampan yang masih dipegang Bi Surti. "Biar aku aja, Bi." ucapnya. Bi Surti pun menurut. Bukannya menaruh nampan itu dimeja, Hana malah menjatuhkannya ke arah Chesa dengan sengaja. Chesa sontak merintih karena tersiram kuah bakso yang panas. "HEY!" bukan Raka yang berteriak, namun Revan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD