CHAPTER 10: Kalung

1530 Words
"Eh! Itu si Raka udah dateng!" seru Fika sembari menunujuk-nunjuk laki-laki berawakan tinggi. "Woy! Sini!" Fika melambai-lambaikan tangan. Chesa terkejut bukan main, ia kira Raka tidak akan datang. Raka sontak menghampiri mereka berempat. Revan menatapnya dengan tatapan tidak suka, sedangkan Chesa memalingkan muka tidak mau menatap apalagi memandang Raka. Raka mendudukkan diri di samping Chesa yang berada di sisi kanan. Sebenarnya ada tempat duduk kosong di sebelah Revan, namun ia memilih untuk bergabung dengan perempuan dibandingkam duduk bersama orang yang menurutnya paling menyebalkan. Chesa terlihat menggeser dan menjauhkan dirinya dari Raka. "Tenang aja. Gue enggak bakal gigit lo," ucap Raka. Chesa diam tak membalas perkataan Raka. "Tumben kalian enggak seheboh dan se akur kaya dulu. Kok sekarang pada diem sih?" Fika menilik Chesa dan Raka yang ada di sebelahnya. "Orang seiring berjalannya waktu berubah. Perasaannya juga," sahut Revan yang terkesan menyindir Raka. Raka menatap tajam Revan. Dia harus sebisa mungkin menahan agar emosinya tidak meledak terlebih lagi sekarang sedang berada di tempat umum. "Iya itu, gue setuju. Contohnya si Mei yang dulu jadi sadgirl gara-gara putus eh, sekarang udah moveon dan sikap savage nya balik lagi." sambar Fika. "Tau aja lo," Mei membenarkan. "Kalau misalnya nih, ada 2 orang yang udah jalin persahabatan dari kecil. Kira-kira perasaan mereka itu berubah enggak sih? Mereka selamanya bakal tetap jadi sahabat atau ada malah pacaran?" Fika bertanya-tanya. Semasa hidupnya dia tidak pernah menjalin persahabatan dengan laki-laki. Raka merasa pertanyaan itu menusuk dan ditunjukkan tepat untuknya. "Kebanyakan sih... ada yang pacaran bahkan nikah. Gue iri tuh, sama orang yang kaya gitu." ujar Fika. "iri karena lo belum pernah deket sama cowok manapun kan? Dan lo belum pacaran sama sekali," kata Mei menohok. "Pedes banget lo kalau ngomong!" dongkol Fika. "Lo kudet ya, gue udah deket sama senior di sekolah gue. Dia ganteng banget dan jadi idaman para cewek," lanjutnya. Mata Fika berbinar kala mengingat wajah laki-laki yang disukainya itu. "Iyakah? Lo ngayal ya?" Mei tidak percaya. Setahunya Fika adalah gadis pemalu. "Nih anak mungkin perlu di ruqyah ya?" Fika menjambak rambut Mei. Mei yang tidak terima langsung membalasnya. Raka menggeser tubuhnya membuatnya tak sengaja menyentuh badan Chesa. "EKHEEMM." Revan berdeham. Mei dan Fika seketika berhenti bertengkar padahal Revan berdeham untuk memperingatkan Raka. "Si Revan kalau udah berdeham kaya gitu nyeremin juga ya," ucap Mei. "Lebih nyeremin daripada Kak Ros yang lagi marah," kata Fika. **** Angin malam yang berhembus kencang, rintik-rintik hujan yang berjatuhan serta gemuruh petir yang berbunyi membuat malam semakin gelap dan dingin. Selesai reuni, Chesa merasa mengantuk karena biasanya jam 8 ia sudah terlelap. Sebelum memasuki mobil, Revan memberi jaketnya agar bisa membuat Chesa hangat. Indra penglihat Raka tidak lelah untuk memerhatikan Revan dan Chesa. Dia takut laki-laki itu berbuat hal yang tidak baik terhadap Chesa. Bahkan Raka membuntuti mereka untuk memastikan Revan benar-benar mengantarkan Chesa sampai rumah. Sementara itu, Revan tidak ingin menjalankan mobilnya terlebih dahulu. Dia ingin mendengarkan jawaban dari pertanyaannya waktu di kafe tadi. "Kenapa kita enggak jalan-jalan?" tanya Chesa. Revan menoleh dan menatap lekat mata coklat gadis yang ada di sampingnya ini. Chesa merasa malu menundukkan kepalanya. "Lo belum jawab pertanyaan gue." kata Revan. Chesa mendongak sekilas kemudian menunduk lagi. "Pertanyaan apa?" "Balikan," "Oh, itu... gue,,, gue masih ragu." Chesa merasa tidak enak mengatakannya, namun perkataan itu adalah sesuai kata hati kecilnya. "Sampai kapan lo gantung gue mulu? Ini udah 3 hari setelah gue ngasih kalung itu ke lo," ujar Revan dengan nada sedikit kesal. "Gue tuh sakit digantung." "Gue cemburu saat lo deket sama si Raka itu," "Lo cuma nikmatin jemputan gue yang rutin, gue udah beli baju buat lo dan sayang sama lo. Tapi lo malah enggak beri kejelasan tentang hubungan kita," Revan menatap jengkel Chesa. Chesa semakin tak berani memandang wajah Revan yang ada di hadapannya. "Lo beri kejelasan tentang hubungan kita atau lo sekarang juga keluar dari mobil dan jangan pernah ketemu sama gue lagi! Lo pilih mana?" tanya Revan serius. Chesa mengigit bibir bawahnya. "Gue terima ajakan balikan lo," ucap Chesa akhirnya. Revan tersenyum lebar. "Nah gitu dong," leganya. Chesa berharap setelah ini, ia bisa pulang ke rumahnya, tapi tidak! Revan malah diam tidak kunjung mengendarai mobilnya. "Lo kenapa?" Chesa memandang rupa Revan yang masih betah menatap dirinya. Revan tidak menjawab Dia mendekatkan wajahnya ke Gadis yang ada di hadapannya. Chesa mengernyitkan dahi, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Revan sekarang. Mereka sangat dekat. Hidung mancung Chesa dan Revan bahkan bersentuhan. Telapak tangan Revan bergerak dan tak lama kemudian memegang leher putih Chesa. Dia memiringkan wajahnya dan memejamkan mata. Chesa menurut, dia juga ikut memejamkan mata. 1 detik 2 detik "WOY! BUKA!" bentak Raka sembari mengetok keras kaca mobil Revan. Revan refleks melawat ke arah Raka. "JANGAN LO MACEM-MACEM SAMA DIA!" Raka berkoar-koar di luar sana, namun Revan malah tak menghiraukan. Revan tancap gas dari sana. Raka yang merasa khawatir terjadi sesuatu buruk menimpa Chesa, ia membuntuti mereka berdua dengan motor Devian. Jangan tanya reaksi Devian ketika motornya dipinjam padahal mereka belum damai sama sekali. Raka meminjam motor Devian tanpa izin terlebih dahulu. Karena lampu merah, Raka kehilangan jejak mobil Revan. Dia memukul kesal motor yang dikendarainya, tapi Raka menyerah begitu saja. Dia akan menemukan mobil Revan dan kemudian mengantar Chesa pulang dengan aman. Di tempat lain, Revan tersenyum senang sedangkan Chesa kelimpungan melihat jalan yang asing. "Kita mau ke mana?" Chesa panik terlebih lagi hari sudah malam. Dia ingin langsung pulang ke rumahnya. Takut jika ibunya sekarang sedang khawatir. "Ke suatu tempat. Gue ambil jalan lintas jadinya lo bingung ya?" tanya Revan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. "Lo mau anterin gue ke rumah kan?" Chesa memastikan. Revan lengang membuat Chesa semakin penasaran. 15 menit kemudian mereka sampai di suatu tempat. Bukan rumah Chesa tentunya. Revan memberhentikan mobilnya di hadapan sebuah gedung yang menjulang tinggi dan besar bernama 'hotel'. Chesa menautkan alisnya, "Ini... kenapa kita ke hotel?" Lagi-lagi Revan tidak menjawab pertanyaan Chesa. Dia membukakan keluar dan membukakan pintu mobil untuk Chesa. "Ikut gue," hanya itu yang Revan ucapkan setelah itu, ia menggandeng tangan Chesa. Resepsionis hotel menyambut mereka. Revan menyerahkan kartu kreditnya tak lama kemudian, sang resepsionis memberikan kunci kamar yang akan digunakan olehnya. Saat sudah sampai, Revan menutup pintu kamar tapi tidak ia kunci. Chesa pun merasa buncah ketika Revan mendekatinya. Chesa melangkah mundur, Revan malah semakin mendekat. "Lo mau apa?" tanya Chesa. Kedua kakinya masih melangkah mundur. "Jangan berani macem-macem sama gue!" lanjut Chesa membentak. Dia seketika berhenti melangkah mundur karena terdapat tembok di belakangnya. Revan menyeringai. Baru kali ini Chesa melihat ekspresi Revan seperti itu dan hal itu membuatnya ketakutan. "Gue mau lo jadi milik gue seutuhnya dan selamanya," ucap Revan. Chesa tahu maksudnya. Dengan cepat ia menggeleng-gelengkan kepala. "Lo kira gue anter jemput lo, baik sama lo dan beliin baju buat lo itu semua gratis?!" "Lo harus BAYAR itu semua!" Revan bertengking tepat di hadapan wajah tirus Chesa. Tangan Chesa gemetar. Revan menyentuh dagu Gadia yang ada di depannya kini. Chesa dengan segera menepis tangan Revan. "Gue enggak nyangka lo kaya gitu!" Telapak tangan Revan terkepal erat. Dia merasa direndahkan. "Jangan belagu lo! Gue tau lo itu sekarang udah jadi orang miskin kan?! Dan gue benci banget sama yang namanya orang mis.kin." Revan menekan kata miskin sembari menatap Chesa dengan penuh amarah. Chesa mendongak. Bagaimana Revan bisa tahu? "Lo pikir, lo bisa ngibulin gue dan morotin harta gue gitu!?" Revan menatap remeh Chesa. "Awalnya gue beneran tulus sayang sama lo, tapi semenjak gue denger dari Hana tentang lo, gue jadi benci sama lo." "Hana bilang, lo itu sekarang kaya parasit yang selalu menguras harta orang kaya!" "Dan gue sekarang gue udah jadi korban lo." Chesa sontak terkejut. Ternyata Hana yang sudah mengadu hal yang tidak benar kepada Revan. Bulir bening keluar dari kelopak mata Chesa. "Gue enggak seperti yang lo pikirin dan yang diucapin Hana." ucap Chesa dengan suara parau. "JANGAN BOHONG LO!" "Oh ya, gue denger-denger lo udah terkenal sebagai l***e di sekolah lo kan?" Revan tersenyum kecut. "Pantes gue enggak pernah liat lo bareng temen walaupun cuma satu ternyata semua murid di sana pada jauhin lo karena lo itu w***********g!" Hidung dan kedua netra Chesa memerah. Amarahnya kini sudah tidak bisa ia tahan lagi. Dia tidak terima jika disebut w***********g! "WALAUPUN GUE MISKIN, GUE ENGGAK PERNAH JADI w***********g!" bentak Chesa. Chesa memajukan langkahnya dan mendorong Revan hingga terjatuh. "Gue enggak kepikiran ngelakuin hal itu sama sekali! Meskipun gue miskin, tapi gue bangga dan enggak ada niatan buat morotin lo!" hati Chesa merasa teriris. Chesa tidak menyangka Revan menganggapnya sebagai orang seperti itu. "Gue enggak nyangka lo ternyata sifatnya udah berubah drastis," "Lo harus bayar semuanya malam ini!" Revan membanting Chesa dengan kasar ke kasur. Chesa menendang tulang kering Revan membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Dengan cepat, dia melangkah ke luar. Tapi Revan dengan cepat menarik busana Chesa dari arah belakang hal itu membuat gaun Chesa sobek. "Lo enggak akan lolos segampang itu!" Revan membenturkan tubuh Chesa ketembok dan mengunci kedua tangan Chesa dengan tangannya. "Lepas!" "Seharusnya gue enggak ketemu lo dari awal. Lo iblis! Lo dan Hana sama, enggak ada bedanya!" sesal Chesa. Brakkk Tiba-tiba ada seseorang yang mendobrak pintu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD