CHAPTER 13: Dihukum

1545 Words
Kedua netra Chesa membulat sempurna setelah mendengar Raka berkata barusan. Tiba-tiba seorang pria paruhbaya berseragam biru memergoki mereka berdua. "HEH! KALIAN!!" Pak Dodi menarik daun telinga Raka. Chesa tergemap, ia sekarang sangat malu. "Adu-duh!" Raka memekik kesakitan. Chesa yang melihatnya tambah merasa bersalah. "Lepasin dia, Pak. Raka enggak salah," mohon Chesa. "Ke ruang guru. SEKARANG!" perintah Pak Dodi mutlak. Dia menyeret Raka, sedangkan Chesa mengekor dari belakang.    Murid yang melihat Raka sedang diseret oleh Pak Dodi pun merasa terheran - heran. Raka itu korban dari perkelahian tadi. Kenapa sekarang Pak Dodi malah menyeretnya?   Saat sudah sampai, mereka berdua duduk menghadap Pak Dodi untuk diientrogasi. "Kalian kenapa tadi peluk-pelukan kaya gitu?!"    Time for interogasi pun dimulai... Chesa tertunduk. "Ka-kami tadi enggak sengaja kaya gitu, Pak." Raka menatap sekilas Gadis yang berada di sebelahnya kemudian kembali memandang Pak Dodi. "Iya benar Pak. Saya tadinya kesandung. Karena takut jatuh, saya terpaksa meluk dia." Raka beralasan semoga saja Laki-laki yang ada di depannya ini percaya. Pak Dodi menaikkan kacamata yang sudah turun dari matanya. "Sumpah demi apa?" Mampus! Raka tidak bisa menyebutkan nama Tuhan terlebih lagi, alasam yang tadi dia ucapkan itu bohong. "Sumpah demi penghuni Bikini Bottom." jawab Raka. "Berarti kamu bohong," simpul Pak Dodi. Raka tidak bisa berkata-kata. Otaknya kini sedang memutar mencari kalimat untuk membela dirinya sendiri dan juga Chesa. "Waktu di kantin tadi, sebelum perkelahian terjadi, Hana peluk-peluk saya pak. Kenapa dia enggak dibawa ke sini buat diinterogasi juga?" cecar Raka membuat Pak Dodi diam sesaat. Guru di sini tidak ada yang berani mengganggu, menghukum ataupun menegur Hana karena jika mereka melakukan itu, tamatlah pekerjaan mereka di sekolah SMA Kauman ini.  Pernah kejadian, ada seorang guru perempuan, namanya Priska. Priska menegur bahkan berani menghukum Hana karena Hana tidak mau menurut padanya. Ke esokannya, Priska dikeluarkan dari Sekolah dengan alasan sudah menganiaya Hana padahal saat dirinya menghukum Hana, Priska tidak pernah memukul Gadis itu. Pak Dodi menimbang-nimbang pikirannya kembali. "Bersihin kamar mandi sampai istirahat. Seharusnya kalian bersyukur kalau Bapak enggak jadi manggil orang tua kalian," setelah mengatakan itu, tangan Pak Dodi mengambil beberapa buku untuk mengajar di kelas 10. Kemudian Pak Dodi berdiri meninggalkan mereka. Tak peduli dengan wajah Raka yang terlihat tidak terima. Chesa berdiri. Dia harus menerima hukuman yang diberi Pak Dodi karena itu salahnya juga. Seharusnya Chesa melepaskan pelukan Raka pasti dia sekarang sedang tenang belajar. Melihat raut muka Chesa yang sebal, Raka menjadi tidak enak. "Sa, lo marah?" "Enggak," sahut Chesa, namun ekspresinya menunjukkan hal berlawanan. Mereka sudah sampai di kamar mandi. Chesa refleks menutupi memencet hidungnya karena mencium bau kamar mandi yang tidak sedap. "Pake dasi gue," Raka melepas dasi dari kerah dan menutup hidung Chesa menggunakan dasi tersebut. "Enggak perlu. Jadi sesak," tolak Chesa sambil melepaskan dasi milik Raka.                                       ***** Jadi pembantu itu merepotkan. Ditambah lagi, Rumaisa harus menggendong Lova yang merupakan anak keduanya. "Mey," panggil Pandu, majikan di rumah Rumaisa bekerja. "Ada apa, Tuan?" Rumaisa menghampiri majikannya itu. "Dasi saya mana?" tanya Pandu. "Saya kan udah naruh semuanya di atas kasur." "Mana? Kok enggak ada?" Mata Rumaisa mengamati kasur size big itu. Memang, tidak nampak sebuah dasi. "Perasaan saya udah naruh di sini, Tuan." "Cariin sekarang juga." singkat Pandu dengan nada dingin. "Enggak pake dasi lain aja, Tuan?" "Enggak. Pokoknya saya hari ini mau pakai dasi biru." Pandu bersikukuh membuat Rumaisa menghela nafas untuk bersabar. Ibu dua anak itu menilik kolong meja, menyibak sprei, dan mengamati setiap sudut ruangan itu. Namun hasilnya nihil. "Buruan. Saya keburu telat ini," Pandu beberapa kali melihat jam tangannya. "Coba, saya mau tanya ke Gea dulu." Rumaisa melangkah keluar. Gea merupakan pembantu juga di rumah itu. Dia lebih muda dari Rumaisa karena umurnya baru 18 tahun, tapi Gea menjadi pembantu dibagian mencuci, memasak dan membersihkan rumah, sedangkan Rumaisa mengurus Pandu dan selalu melayani apa yang dibutuhkan majikannya itu kecuali, tubuhnya. "Gea." Rumaisa memanggil hingga akhirnya, orang yang dipanggilnya itu datang. "Kenapa, Mbak?" "Kamu lihat dasinya Tuan Pandu?" Gea tampak menepuk pelan keningnya. "Oh ya,  aku lupa, Mbak. Dasinya ke cuci." "Ya ampun..." Rumaisa kecewa. "Kamu ngomong ke Tuan gih," suruh Rumaisa. Gea langsung mengangguk. "LAIN KALI KERJA YANG TELITI DONG! SAYA UDAH TELAT BUAT RAPAT PENTING INI!!!" suara bentakan terdengar beberapa menit kemudian setelah Gea memasuki ruangan milik Pandu. Rumaisa terperangah, sedangkan Lova melengkungkan bibir, lalu menangis kencang. "Punya pembantu enggak becus!" ucap Pandu dengan nada nyelekit kala melewati Rumaisa yang sedang berusaha menenangkan Lova. Gea mendekati Rumaisa dengan mata yang berkaca-kaca. "Sabar," Rumaisa melihat Gea dengan rasa iba. Gea menyeka air matanya agar tidak keluar. "Aku denger Tuan itu udah puluhan tahun ditinggal mati istrinya jadi dia kasar gitu sama perempuan." ucap Rumaisa. Dia tahu hal tersebut lewat ibu-ibu komplek yang sering bergosip ketika membeli sayur keliling. "Pantes, Mbak. Dia kasar banget," Gea mendudukkan dirinya di dekat Lova. Dia sesekali memasang ekspresi lucu agar anak teman kerjanya itu berhenti menangis.                                                                           ***** Sudah sekitar 1 jam Chesa dan Raka membersihkan kamar mandi. Chesa duduk dipojokan sembari melanjarkan kedua kakinya karena lelah. "Lo mau minum?" Raka mendudukkan diri di samping Chesa. Gadis itu menggelengkan kepala pertanda menolak. "Tante Rumaisa apa kabar?" tanya Raka agar suasana tidak hening. "Baik," singkat Chesa. "Gue habis ini main ke rumah lo boleh?" Chesa tersentak. Dia menoleh ke arah Raka, "Eng-enggak perlu." ucapnya terbata-bata. "Kenapa?" "Karena orangtua gue lagi kerja di luar kota," bohong Chesa. Akhirnya dia bisa mengatur ekspresinya yang gugup. "Oh gitu," Beberapa menit, mereka sama-sama diam. Kamar mandi hanya diisi dengan suara nafas mereka. "Sa, gue boleh tanya?" "Boleh," jawab Chesa tanpa mengalihkan pandangannya. "Tipe cowok lo kaya gimana?" Chesa heran, untuk apa Raka menanyakan hal itu? "Kok enggak dijawab sih?" tanya Raka sembari mengamati wajah Chesa. "Kalo enggak dijawab berarti gue tipe cowok yang lo cari," lanjut Raka dengan penuh rasa percaya diri. Chesa merotasikan bola matanya. Chesa memicingkan mata. "Apaan sih," "Tipe cowok gue itu... yang kalem, pengertian, sayang dan apa adanya." Chesa jujur. Dibenaknya, andaikan ada seorang Laki-laki seperti itu di dunia ini pasti dia akan sangat bahagia. "Emang kenapa nanya hal itu?" tanya Chesa. "Enggakpapa," jawab Raka. "Tiga jam lagi istirahat, sedangkan kita udah nyelesain hukuman. Lo sekarang mau apa?" lanjut Raka mengalihkan topik pembicaraan. "Duduk aja," "Kita ke tempat lain yuk," ajak Raka. "Ke mana?" "Ke rooftop." jawab Raka. Dia berdiri membuat Chesa mendongak. "Enggak ah, gue mau di sini aja." Chesa kembali memandang ke arah depan. "Gue harap lo bisa bela diri kalau ada Veo dan teman-temannya," kata Raka, kakinya melangkah keluar. Veo merupakan teman laki-laki yang akrab dengan Hana. Mereka berdua sudah terkenal sebagai raja dan ratu bully di SMA Kauman ini. Semua murid takut padanya ditambah lagi, Veo adalah ketua genk yang suka tawuran dan sering membuat onar. "Gue ikut," Chesa berdiri, ia memegang tangan Raka sebentar, lalu melepaskannya. Mereka sudah sampai di rooftop. Chesa sebenarnya tidak menyukai rooftop karena di tempat itulah Chesa sering dipermalukan, dibully dan disiksa. Rooftop bagi Chesa adalah neraka. "Kok bengong? Sini." Raka melambaikan tangan. Menyuruh Chesa mendekat agar bisa ikut melihat pemandangan yang indah. Setelah sudah berada di dekatnya, tangan Raka terulur merangkul Chesa. Chesa berdeham. Merasa tidak nyaman. Raka pun melepaskannya. "Di sini indah enggak?" Chesa mengangguk. "Seandainya kalau lo bisa balik ke masa lalu, apa yang akan lo lakuin?" Raka tiba-tiba bertanya seperti itu. Gadis itu menarik nafas, lalu membuangnya secara perlahan. Kedua ntra cokelatnya masih melihat pemandangan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang dan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. "Gue enggak mau sekolah di SMA ini," ujar Chesa dengan mantap. "Kenapa?" "Lo enggak perlu tau karena itu bukan urusan lo," ketus Chesa. "Judes amat. Lo enggak mau tau apa yang akan gue lakuin gitu?" "Apa?" Chesa terpaksa bertanya. Dia sebenarnya sedang kesal karena Raka lah yang membuat dirinya tertinggal pelajaran. "Gue enggak akan pindah ke Bali waktu itu," Chesa teringat pada saat dirinya masih berusia 7 tahun. Kala itu, sehari setelah Dewi (ibunya Raka) meninggal, Raka menghilang entah ke mana. Dia kesal, kecewa sekaligus sedih padahal persahabatan dirinya dan Raka sudah bagaikan pohon dan tanah yang tidak terpisahkan. "Emangnya kenapa?" Chesa merasa penasaran. "Lo enggak perlu tau karena itu bukan urusan lo," ucap Raka menirukan ujaran Chesa. Chesa memicingkan mata, sedangkan Raka melempar senyum manis. Tangan Raka terulur mencubit pipi Chesa. Gemas. "Sakit." kata Chesa dengan raut muka datar. "Biar pipi lo chubby kaya dulu," "iihh..." jari-jari Chesa bergerak menjiwit perut Raka yang sixpack itu. "Aduh." Raka memekik. Melepaskan cubitannya. "Awas lo ya." Chesa berlari untuk menghindari pembalasan Raka. Alhasil, kejar-kejaran tidak terelakkan. Raka jadi teringat saat-saat dirinya bermain dengan Gadis yang sedang dikejarnya ini. Waktu mereka kecil, tiap-tiap menit dan detik mereka selalu lewati bersama-sama. Tidak ada hari tanpa bermain, tapi semuanya berakhir setelah Raka pindah ke kampung halamannya yang berada di Bali. "Berhenti hah,, hah,, hah,," Chesa ngos-ngosan sambil memegangi lututnya. "Lo,, lo jangan hah,, hah,,"  "Duduk dulu." Raka menarik lengan Chesa agar Gadis itu duduk di dekatnya. Chesa menurut. "Capek banget," "Tapi lo kalau lari cepet banget. Lo udah dilatih dari kecil ya?" tanya  Raka sedikit meledek. "Ya enggak lah,"  "Mau gue pijat?" tawar Raka. "Enggak." "Sampai kapan lo ngomong enggak, enggak dan enggak." protes Raka dengan dongkol. "Sampai lo berhenti nanya mulu." jawab Chesa. Tangannya mengibas-ngibas agar bisa memberi efek dingin pada kepalanya. "Jangan galak banget napa. Nanti suka lho," Raka malah meledek Chesa. "Suka kalau lo tadi enggak meluk gue dari belakang. Gue jadi tertinggal pelajaran!" Chesa membentak di akhir kalimat. "Raka!" suara teriakan itu membuat Chesa terkesiap.    Raka merotasikan netra coklatnya. Sebuah lengan tiba-tiba menggenggam erat tangannya. "Gue ikut dihukum! Tapi waktu gue ke kamar mandi, lo sama Chesa kok enggak ada? Malah kalian di sini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD