bc

WANITAKU ASHA

book_age18+
1
FOLLOW
1K
READ
family
fated
kickass heroine
sweet
bxg
campus
city
highschool
like
intro-logo
Blurb

Natasha Viona, seorang gadis yang dicintai hebat oleh pemuda bernama Briyan David Ardian.Dalam perjuangannya menjalankan misi untuk mendapatkan cinta Asha kembali, Iyan berusaha sangat keras.Cinta yang dulu bersemi itu harus berlayar kembali, hatinya masih menaruh harap meski sudah setahun berlalu. Setelah Asha memutuskan untuk berpisah tanpa sebab, Iyan masih setia menunggunya.

chap-preview
Free preview
Bab 1
​Briyan David Ardian, atau Iyan, tahu betul bagaimana rasanya waktu berjalan. Ia bukan ahli fisika, apalagi filsuf. Tapi sejak satu tahun lalu, ia merasa detak jam itu bergerak melambat, dan hanya akan kembali normal kalau... ah, sudahlah. ​Tepat hari ini, 13 Desember, adalah hari di mana ia dianugerahi predikat 'Mantan Tersayang' oleh satu-satunya gadis yang menguasai seluruh peta di hatinya. Natasha Viona. Asha. ​Iyan menarik napas, bau debu dan bensin tipis menyeruak di lorong kos. Matanya langsung tertuju pada satu titik, pintu kayu nomor 8 yang dicat krem kusam. Jarak Kamar 3 ke Kamar 8 = 15 meter Jarak yang terbilang lumayan karena terhalang area parkir motor yang berjajar rapi. Tapi, bagi Iyan, jarak itu terasa seperti sekat antardimensi yang tak bisa ia tembus. ​Asha. ​Satu nama itu bisa mengubah Iyan yang sedang bergaya cuek anak teknik, menjadi cowok bucin akut, polos, dan agak menyedihkan. ​“Sha, lo itu kayak matahari, ya? Walaupun kita udah putus setahun, lo tetep bersinar paling terang di galaksi gue.” ​“Gue tau ini receh banget, tapi sungguh, cuma lo yang bisa bikin jantung gue kayak di-overclocking.” ​Bisikan-bisikan manis nan cheesy itu selalu ia simpan, siap dilontarkan kapan saja, andai saja Asha mau melihatnya. ​Iyan meraih ponselnya, membuka galeri. Folder yang hanya ia yang tahu isinya: "Calon Istri Arsitekku." ​Di sana, ada foto Asha saat tertidur dengan buku arsitektur yang menutupi wajahnya, ada foto saat Asha cemberut karena kalah main game kartu, dan ada foto, yang paling ia suka, saat Asha tertawa lepas, memperlihatkan gigi kelinci dan matanya yang menyipit lucu. ​Tring! Tring! ​Ponsel bergetar. Sebuah notifikasi dari grup kosan, "Penghuni Elite (Cuma 10 Orang)." ​Mama Kos (Anggi, Kamar 1): Woy! Jadwal piket dapur bulan ini udah di-share di grup utama ya. Yang piket hari ini: Iyan (3) sama Asha (8). Jangan lupa, kulkas udah mulai bau rendang 3 hari lalu. Please, be responsible, guys! ​Iyan langsung tegak. Asha? Piket bareng? ​"Anjir, hoki banget gue!" Iyan tersenyum lebar, sampai matanya ikut menyipit. Ini kesempatan emas! ​Piket dapur umum adalah agenda wajib di kosan mewah ini. Dapur terletak di bagian paling belakang, tempat segala hal receh terjadi—mulai dari rebutan slot freezer sampai drama bumbu dapur yang hilang. ​Pukul 19.00 WIB. ​Iyan sudah siap sedia di dapur. Ia bahkan mengganti kausnya dengan hoodie abu-abu keren yang dulu dibelikan Asha. ​Ia melihat sekeliling. Dapur yang rapi, dua kompor induksi, microwave, dan tentu saja, kulkas bersama. Di dinding terpampang aturan kosan dengan font Comic Sans yang menggemaskan: ​ATURAN SUCI KOSAN! ​JANGAN AMBIL BARANG ORANG LAIN! (Peringatan: Malaikat pencatat dosa ada di sini). ​BERSIHKAN SETELAH MEMAKAI DAPUR! ​JADWAL PIKET WAJIB DILAKSANAKAN! (Sanksi: Cuci piring sebulan). ​Tak lama kemudian, pintu belakang berderit. ​Masuklah sang primadona, Natasha Viona. Asha. ​Asha memakai celana kulot longgar dan kaus oversized berwarna hijau mint. Rambutnya diikat asal, tapi tetap terlihat manis. Namun, wajahnya? Jelas sekali, ekspresi standar 'Aku-enggak-sudi-piket-bareng-mantan' terpampang nyata. ​Asha pura-pura tidak melihat Iyan. Ia langsung menuju wastafel dan mengambil spons. ​"A-Asha," sapa Iyan, jantungnya dug-dug tak karuan. "G-Gue... eh, kita piket bareng ya?" ​Asha hanya bergumam pelan. "Hmm." ​"Lo... lo bersihin kompor sama counter deh. Biar gue yang urus perang dunia di kulkas sama cuci piring," ujar Iyan menawarkan diri, seperti pelayan yang siap melayani ratunya. ​Asha menghela napas, tapi tak membantah. "Terserah lo." ​Ia mulai membersihkan area kompor. Gerakannya kaku. Entah karena gugup atau memang sudah bawaan sifat cueknya setelah putus. ​Iyan memperhatikan dari sudut mata. Ia melihat ada yang janggal. Asha tampak sedikit pincang, lalu ia memegangi perut bagian kanannya sekilas, lalu cepat-cepat ia lepaskan lagi. ​Mata Iyan langsung sendu. Kista. Hanya Iyan yang tahu. Ia tahu betul bagaimana rasa sakit itu kadang datang tiba-tiba. ​"Sha, lo oke?" Iyan tak bisa menahan diri. Suaranya terdengar lembut dan khawatir, bukan suara mantan yang sok cool. ​Asha terkejut, hampir menjatuhkan lap. Ia mendongak, matanya yang indah menatap Iyan, penuh waspada. ​"Gue kenapa? Gue oke. Kenapa emang?" Nada bicaranya judes. Jelas sekali ia sedang membangun tameng. ​"Enggak, enggak apa-apa. Cuma... hati-hati aja, lapnya licin," Iyan berbohong. Ia harus terlihat santai. "Nanti lo kenapa-kenapa, gue juga yang repot digodain anak-anak kosan." ​Mendengar itu, Asha mendengus. "Pede banget lo." ​Puk! ​Tiba-tiba, Asha yang sedang membalikkan badan untuk meraih botol sabun, terpeleset sedikit karena kakinya tersandung kaki kursi plastik yang tidak ia sadari. ​Badannya oleng. ​Refleks. Iyan langsung bergerak, secepat kilat. Ia memeluk pinggang Asha dari belakang untuk menahannya agar tidak jatuh. Tubuh mereka menempel erat. Aroma shampoo mawar dan sedikit keringat dari Asha langsung menghantam indra penciuman Iyan. ​Waktu seolah berhenti. Hanya ada suara napas mereka berdua. ​Asha kaget setengah mati. Wajahnya memerah, mungkin karena malu, marah, atau panik. ​"I-Iyan! Lepasin!" Asha berbisik kencang, berusaha melepaskan diri. ​Iyan menahan sejenak, ia mendekatkan mulutnya ke telinga Asha, nadanya serius, sangat kontras dengan sifatnya yang receh. ​"Sha, lo harus hati-hati," bisik Iyan. "Gue tahu lo kenapa. Kalo lo kenapa-kenapa, nanti siapa yang mau revisi tugas arsitek lo tengah malam?" ​Asha akhirnya berhasil melepaskan diri dengan dorongan kecil. Wajahnya benar-benar merah padam. Ia kembali ke posisi awal, memunggungi Iyan, dan berpura-pura sangat sibuk mencuci piring. ​"Lo... lo ngawur! Itu cuma kesandung!" Asha membantah, suaranya sedikit bergetar. ​Iyan hanya tersenyum tipis. Ia tahu, ia baru saja mencetak poin di hati Asha. ​"Iya, iya, kesandung. Tapi untung ada gue, hero kesiangan lo," Iyan kembali ke mode receh, lalu ia berjalan mendekat ke kulkas. "Oke, sekarang mari kita basmi aroma rendang 3 hari ini!" ​Iyan membuka kulkas, dan langsung disambut aroma yang agak menusuk hidung. ​"Ya ampun! Ini rendang apa bom biologis?! Gila, ini yang punya pasti anak kosan yang lagi diet kalori," gerutu Iyan sambil mencari sumber bau. ​Asha tidak tahan. Ia menyenderkan punggungnya ke counter, dan tanpa sadar, ia tertawa kecil, menertawakan tingkah receh Iyan yang selalu mencari drama di hal-hal kecil. ​Kringgg! ​Sebuah kaleng s**u kental manis yang tersimpan di dekat sayuran beku, tergelincir dari rak dan jatuh tepat mengenai kepala Iyan yang sedang membungkuk di kulkas. ​Puk! ​"Aduh!" Iyan mengaduh, tangannya memegangi dahi. ​Asha yang masih tertawa kecil, langsung panik. Tawanya hilang seketika. ​"Iyan! Lo gapapa?!" Asha berlari mendekat, tanpa sadar ia memegang lengan Iyan dengan raut wajah khawatir yang teramat sangat. ​"Duh, sakit, Sha..." Iyan merengek, matanya dibuat-buat berkaca-kaca, "Lo sih, ketawa mulu. Tuh kan, kulkasnya jadi cemburu." ​Melihat Iyan tidak parah, hanya sedikit kaget, Asha langsung menarik tangannya. Gengsinya kembali. ​"Makanya! Jangan lebay jadi orang! Itu balasan karena lo ngawur!" Asha memaki, tapi ia tetap memeriksa dahi Iyan sekilas. ​Iyan tersenyum. Ia tidak peduli dahinya benjol sedikit. Asha menyentuhnya! Asha khawatir! ​"Gue nggak lebay, Sha. Gue cuma kaget aja. Tapi sumpah, kaget gue langsung hilang gara-gara... lo megang tangan gue," Iyan menatap mata Asha lekat-lekat, senyumnya kini benar-benar tulus dan manis. "Rasanya kayak... fast charging buat hati gue yang udah lowbat setahun." ​Asha terdiam. Wajahnya yang memerah, kini semakin menjadi. Ia buru-buru memalingkan wajah, kembali ke wastafel. ​"B-Biasa aja kali! Sana! Urusin rendang lo! Jangan ganggu gue!" ​Iyan tertawa kecil, senang. Ia tahu, di balik wajah cemberut dan nada ketusnya, Asha tetaplah WANITAKU ASHA. ​Ia kembali ke kulkas, bersenandung pelan. . . ​Pagi harinya. Sabtu. Meskipun hari libur, Iyan dan Asha tetap harus ke kampus karena jadwal mata kuliah mereka yang padat. Keduanya adalah mahasiswa dengan nilai di atas rata-rata di fakultas masing-masing. ​Di area parkir kosan, Iyan, yang sudah rapi dengan jaket teknik andalannya, sedang memanasi motor sport merahnya. Ia pura-pura sibuk, padahal matanya mengawasi pintu nomor 8. ​Cklek! ​Pintu itu terbuka. Keluarlah Asha. Ia tampak cantik, meskipun hanya mengenakan kemeja kotak-kotak oversized dan celana jeans pensil. Di tangannya, ia memeluk erat dua gulungan kertas kalkir tebal—gambar rencana proyek arsitektur yang tidak pernah selesai. ​Iyan otomatis tersenyum. Namun, ia langsung memasang wajah datar, tak ingin terlihat terlalu antusias. ​"Wohooo! Pasangan piket malam! Good morning, guys!" ​Sebuah suara nyaring dan ceria menyambar. Dari pintu Kamar 1, muncul Bima, teman Iyan. Bima mengenakan kaus sepak bola Real Madrid dan celana pendek training. Rambutnya berantakan, baru bangun tidur, tapi energi recehnya sudah full charge. ​Bima mendekat, menyenggol lengan Iyan. ​"Gimana, Yan? Semalam nostalgia rendang di dapur? Itu kulkas kayaknya happy banget, akhirnya kalian bersatu lagi," Bima berbisik, tapi suaranya sengaja dibuat keras. ​Wajah Asha yang baru saja merapikan tasnya, langsung keruh. Ia melirik Iyan dengan tatapan tajam, seolah berkata, 'Awas lo kalau sampai lo bales omongan Bima!' ​Iyan hanya meringis ke Bima. "Apaan sih lo, Bim? Berisik pagi-pagi. Kulkasnya aja udah bau, apalagi omongan lo." ​Bima tertawa terbahak-bahak. "Sans, Bro. Gue cuma pengen tahu. Jangan-jangan rendangnya aja yang dingin, tapi suasananya panas cieeee..." ​"Bima, lo nggak usah ngawur! Gue sama Iyan cuma piket. Itu aja," potong Asha, nadanya ketus dan cepat. Gengsinya tak membiarkan rumor receh ini berkembang. ​"Oh, cuma piket? Seriusan?" Bima pura-pura terkejut. "Padahal Iyan, dari subuh tadi udah wangi banget, Bro. Parfumnya yang edisi 'Mantan Terhebat' tuh. Biasanya dia cuma pake minyak telon." ​"Bacot, Bim!" Iyan menoyor kepala Bima pelan. "Udah, sana lo mandi! Bau apek lo nyampe ke kamar 8 nih." ​Asha mendengus keras. Ia buru-buru naik ke motor matic-nya, memasang helm dengan gerakan kasar. ​"Gue duluan!" kata Asha tanpa menoleh, lalu tancap gas meninggalkan kosan. ​Bima menyenggol Iyan lagi. "Tuh kan! Dia pasti salting!" ​"Bukan salting, Bima! Dia kesel sama Lo!" Iyan menggelengkan kepala. ​"Kesel itu kan level tertinggi dari peduli, Yan," ujar Bima penuh filosofi sesat. "Udah, cepetan susul bidadari arsitek lo. Nanti keburu ada engineer lain yang modusin dia." ​Iyan tak bisa menahan senyumnya. Bima memang biang kerok receh, tapi ada benarnya juga. ​"Yaudah, gue cabut. Thanks udah jadi cheerleader gagal gue," kata Iyan. Ia menyalakan mesin motornya, dan melaju mengikuti Asha, menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok. ​Kampus mereka terbilang luas dan elit. Fakultas Teknik dan Fakultas Arsitektur berada di satu kompleks, dipisahkan oleh lapangan rugby hijau yang jarang dipakai. ​Iyan memarkir motornya di area Teknik. Ia tahu Asha pasti akan memarkir di dekat gedung Arsitektur. ​"Yan!" panggil Bima, yang entah sejak kapan sudah tiba dengan motor bututnya. "Lo ada jadwal lab nggak?" ​"Ada. Habis ini mata kuliah Material Lanjut," jawab Iyan. "Kenapa?" ​"Pinjem dong, lab coat lo. Lab coat gue basah. Mau modifikasi motor tapi nggak mau kena kotor," Bima nyengir. ​"Motor lo udah kayak rongsokan, Bim. Mau dimodif kayak apa juga nggak ngaruh," cibir Iyan, tapi ia melempar tasnya yang berisi lab coat putih. ​Saat Iyan berjalan menuju gedung Teknik, ia melihat Asha, yang sudah berada di lantai dasar gedung Arsitektur. Asha tampak sedang berbincang serius dengan seorang teman wanitanya, mungkin membahas proyek yang ia peluk. ​Ini kesempatan, Yan! Jangan cuma jadi mantan yang melamun, batin Iyan menyemangati diri sendiri. ​Iyan mengambil jalan memutar, melewati gedung Arsitektur. Ia tiba-tiba punya ide receh. ​Asha sedang berdiri dekat display proyek tugas akhir, saat Iyan berjalan melewatinya dengan gaya sangat berlebihan. Iyan mengenakan jaket Teknik yang cool, tapi ia membawa dua barang yang sangat tidak nyambung: satu tang dan satu mangkok mie instan panas. ​"Permisi, numpang lewat, guys. Ini namanya eksperimen, jangan ditiru," kata Iyan dengan suara agak keras. ​Asha melirik. Matanya membulat melihat Iyan. ​"Lo ngapain bawa mie instan ke gedung Arsitektur, Yan? Gila lo?" Asha bertanya dengan nada terkejut, lupa kalau ia seharusnya bersikap dingin. ​Iyan berhenti. Ia menoleh dengan ekspresi polos. "Oh, hai, Sha. Lo di sini juga? Kirain cuma gue yang kesasar." ​"Ya jelas gue di sini. Ini fakultas gue!" ​"Santai, Sha. Jangan nge-gas," Iyan memegang mangkok mie-nya, pura-pura menghirup aroma. "Ini gue lagi uji coba, Sha." ​"Uji coba apaan, coba? Mie instan lo?" ​"Iya," Iyan mengangguk serius. "Ini tugas dari dosen gue. Eksperimen Ketahanan Energi Mahasiswa Teknik Terhadap Godaan Aroma Mie Rebus di Pagi Hari. Gue disuruh nulis report tentang berapa lama gue bisa nahan nggak makan mie ini sampai jam makan siang." ​Asha menatapnya datar. Teman Asha, Rina, yang melihat adegan itu, sudah menutup mulutnya menahan tawa. ​"Iyan, lo makin aneh aja semenjak kita putus," ujar Asha, kembali ke mode kesal. ​"Aneh kenapa, Sha?" Iyan memiringkan kepalanya. "Gue cuma pengen nunjukin, kalau bahkan mie instan seenak ini aja bisa gue tahan, apalagi perasaan gue ke lo?" ​SKAKMAT! ​Asha langsung memalingkan wajah, menyembunyikan senyumnya yang hampir meledak. Ia merasakan pipinya menghangat. Ia benar-benar benci betapa mudahnya Iyan mengubah kekesalannya menjadi rasa geli. ​"Nggak lucu, Iyan. Minggir, gue mau ke ruang studio!" Asha mendorong Iyan pelan. ​Iyan mengambil kesempatan itu. "Oke, gue minggir. Tapi, reminder aja, Sha. Nanti sore kalau lo udah kelar, jangan lupa minum vitamin C. Apalagi kalau lo ngerasa pegal di perut kanan," bisik Iyan lagi, nadanya langsung berubah jadi sangat lembut dan perhatian. ​Asha yang sedang berjalan pergi, tiba-tiba berhenti. Ia tidak menoleh, tapi bahunya sedikit turun. Ia tahu maksud Iyan. Iyan peduli pada kista yang ia miliki. ​"Nggak usah sok tahu, Yan," jawab Asha pelan, tapi tidak sejudes tadi. "Urus aja mie lo biar nggak tumpah." ​Iyan tersenyum puas. Itu bukan penolakan mutlak. Itu adalah kode. ​"Siap, Bos Arsitek!" Iyan memberi hormat dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memegang mie instan yang wanginya sudah memenuhi lobi gedung. ​Tiba-tiba, Bima datang lagi, berlari kecil dengan napas terengah-engah. ​"Yan! Yan! Lab coat lo! Ada noda spidol permanen di bagian belakang! Sori, buat nulis tagline!" Bima menyodorkan jas putih itu. ​Iyan menerima jas itu, lalu melihat bagian punggungnya. Bima si receh, menuliskan sesuatu yang besar dengan spidol hitam: ​BRIYAN DAVID ARDIAN (Kamar 3) A.K.A. PAWANG ASHA (Kamar 8) ​Asha yang kebetulan berbalik untuk melihat Iyan membawa mie instan, langsung membaca tulisan itu. ​"BIMA!!" teriak Asha, benar-benar marah. Wajahnya kali ini bukan merah malu, tapi merah kesal. ​"Hehehe... Sorry, Sha. Cuma buat branding!" Bima langsung lari terbirit-b***t menghindari amukan Asha. ​Iyan hanya tertawa pasrah sambil memegang jas putihnya. Ia menatap Asha yang kini terlihat seperti gunung berapi siap meletus. ​"Oke, oke, ini receh banget, gue janji gue ganti jasnya," kata Iyan cepat. ​Asha menunjuk Iyan dengan jari telunjuknya. "Lo dan temen lo itu sama aja! Nggak pernah dewasa!" Setelah berkata begitu, Asha berbalik dan lari menaiki tangga menuju studio, ia tidak mau terlihat semakin konyol. ​Iyan menatap kepergian Asha, senyumnya tak hilang. Bagi Iyan, kemarahan Asha yang ceroboh, lucu, dan penuh gengsi itu, adalah seni. ​Siap, Sha. Permainan baru saja dimulai lagi, batin Iyan. . . Siang itu, cuaca di kampus cukup terik, namun sejuk di bawah pohon rindang di dekat Fakultas Hukum (Fakultas yang paling jauh, menjamin ketenangan). Asha memilih tempat itu untuk menunggu Rina, teman studionya, yang katanya sebentar lagi datang membawa model maket yang nyaris ambruk. Asha duduk di bangku kayu panjang. Ia menyandarkan tasnya dan meletakkan dua gulungan kertas kalkir dengan hati-hati. Ia membuka ponselnya, berpura-pura sangat sibuk membalas pesan, padahal diam-diam ia masih kesal mengingat tagline memalukan di jaket laboratorium Iyan. "Aish, dasar anak teknik nggak ada akhlak!" gumam Asha pelan. Tap, tap, tap! Dua pasang sepatu menghampirinya. Asha mendongak, dan wajahnya langsung cemberut total. Iyan dan Bima. Iyan mengenakan kaus polos santai, sementara Bima masih dengan kaus bola Real Madrid-nya. "Halo, Sha! Ketemu lagi kita!" sapa Bima dengan tone yang terlalu ceria. Iyan buru-buru duduk di samping Asha, sedikit menggeser tas Asha agar ia punya tempat. "Lo ngapain di sini, Yan?" tanya Asha ketus, otomatis menjaga jarak, seolah Iyan membawa virus. "Gue? Cuma numpang lewat. Refreshing mata habis liat skema rangkaian listrik, pusing, Sha," jawab Iyan santai. "Nunggu siapa, Sha? Sendirian kayak lagu galau. Nanti gue beliin gitar deh biar lo bisa nyanyi." "Gue nunggu Rina," jawab Asha singkat. Bima langsung duduk di sisi Iyan, membuat posisi mereka menjadi Iyan dan Asha terapit di tengah, meskipun Iyan tetap berusaha menjaga jarak sopan dari Asha. "Bosen banget gue liat lo berdua mulu," cetus Bima, ia mengambil ponselnya, tapi pandangannya tidak lepas dari dua orang di sebelahnya. "Maksud lo?" Asha mengerutkan kening. "Ya, lo berdua! Jauh di mata, tapi dekat di kosan! Putus di omongan, tapi mesra di dapur umum! Sekarang ketemu lagi di bawah pohon kayak FTV, Sha," Bima memutar matanya dramatis. Asha menghela napas panjang. "Bima, gue nggak punya waktu buat drama receh lo. Gue beneran nunggu Rina. Drop aja maketnya, terus lo berdua pergi." Iyan tersenyum tipis, lalu ia menyikut Bima. "Bim, ngomong-ngomong, lo nggak ada jadwal rapat sama Pak Hadi?" "Oh iya!" Bima langsung berakting. "Waduh! Gue lupa! Ada urusan mendadak tentang Proyek Penyelamatan Bumi dari Serangan Lalat di kantin!" "Hah? Seriusan?" Asha menatap Bima, skeptis. "Serius, Sha! Penting banget. Pokoknya, misinya adalah menyelamatkan Iyan dari kesendirian, eh, maksud gue, menyelamatkan dunia!" Bima langsung berdiri, tangannya menepuk pundak Iyan dengan kode keras. "Yaudah, Yan. Lo temenin Asha dulu ya? Kalo ada lalat yang ganggu Asha, lo usir. Itu udah termasuk dalam misi gue!" Bima berkedip ke Iyan, lalu lari menjauh sambil tertawa puas. Asha menatap kepergian Bima, lalu kembali ke Iyan dengan tatapan membunuh. "Lo suruh dia pergi, ya?" tuduh Asha, menyipitkan mata. "Nggak kok. Dia emang gitu, random," bela Iyan. Ia sengaja menggeser sedikit tubuhnya agar sedikit lebih dekat dengan Asha. "Dia cuma peduli. Kasian gue. Nggak ada yang care selain dia." "Cih," Asha membuang muka. "Gue nggak peduli. Jauh-jauh, Yan. Nanti Rina salah paham." Iyan malah mengambil salah satu gulungan kertas kalkir Asha yang tergeletak di bangku. "Ini apaan, Sha? Gambar rumah minimalis?" tanya Iyan, pura-pura tertarik. "Bukan urusan lo! Balikin!" Asha berusaha merebutnya, tapi Iyan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ih, galak banget. Lo jangan-jangan belum makan siang ya? Makanya mood lo jelek banget. Dulu lo nggak gini," goda Iyan. "Ya, dulu! Dulu itu setahun yang lalu! Gue udah ganti operating system!" balas Asha, tangannya masih berusaha meraih kertasnya. Iyan menurunkan gulungan itu, tapi tangannya kini memegang ujung kertas, dan tangan Asha juga. Jari-jari mereka bersentuhan sebentar. Asha langsung menarik tangannya secepat kilat, wajahnya memerah lagi. Ia mengambil napas dalam-dalam untuk menetralkan rasa gugupnya. "Yan, lo tahu, kan? Kita udah nggak ada apa-apa," ujar Asha, nadanya kali ini lebih serius, ingin menetapkan batasan. Iyan menatap matanya dalam-dalam. "Gue tahu, Sha. Status kita emang nggak ada. Tapi perasaan gue punya license seumur hidup buat lo doang." Asha mendengus, gagal total untuk tidak tersipu. "Gombalan lo udah basi! Ketinggalan zaman!" "Nggak apa-apa basi, yang penting nggak error kayak coding anak teknik yang baru belajar," jawab Iyan, lalu ia tersenyum. "Gue cuma mau mastiin, lo baik-baik aja, Sha." Asha terdiam sesaat. Ia tidak bisa menyangkal rasa nyaman saat Iyan tiba-tiba berubah dari receh menjadi sangat perhatian. "Gue baik-baik aja. Jangan ganggu lagi," kata Asha, kembali memasang wajah dinginnya. Tiba-tiba, Bima muncul lagi, ngos-ngosan, sambil membawa dua kantong plastik kecil. "Gue... gue balik lagi!" Bima mengatur napasnya. "Katanya lo ada misi penyelamatan lalat?" tanya Asha, bingung. "Misi Lalat ditunda! Ada misi yang lebih penting!" Bima meletakkan salah satu kantong di pangkuan Iyan, dan satu lagi di depan Asha. Isinya: Dua bungkus roti bakar yang masih hangat dan dua botol infused water rasa timun. "Ini buat apa, Bim?" tanya Iyan. "Nih! Ini roti bakar buat Iyan, biar nggak jadi 'Mantan Kelaparan'!" Bima menunjuk Iyan. "Dan yang itu, roti bakar full keju mozzarella buat lo, Sha. Biar lo nggak dingin kayak kulkas, tapi lumer kayak keju!" Asha terbelalak. "Bima! Gue nggak dingin!" "Iya, iya, nggak dingin. Tapi tadi lo nyuruh Iyan jauh-jauh. Kayak ngusir anabul lapar," Bima nyengir. "Udah, makan gih. Jangan cemberut mulu. Nanti muka lo kaku kayak maket arsitek yang salah skala." "Terserah lo!" Asha akhirnya menyerah. Ia membuka bungkus roti bakar itu, pura-pura tidak terpengaruh, padahal aromanya sudah sangat menggoda. "Gimana, Yan? Misi berhasil, kan?" Bima menyenggol Iyan. "Gue cabut ya! Next time gue bawa hot chocolate!" "Lo kenapa balik lagi sih, Bim?" tanya Iyan. "Gue? Gue cuma ngerasa energi jomblo gue mengganggu frekuensi romantisme kalian. Vibes gue terlalu single, Bro. Nggak cocok buat jadi saksi mata," bisik Bima dramatis, lalu ia benar-benar pergi sambil melambai lebay. Iyan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah temannya. Ia membuka roti bakarnya. "Nih, Sha, lo mau?" tawar Iyan, menyodorkan setengah potong roti bakarnya. "Nggak! Gue udah punya," tolak Asha cepat. Iyan tersenyum maklum. "Iya, gue tahu. Tapi kan, kata dosen Teknik, kita harus selalu berbagi, biar nggak ada error di hubungan sosial. Ambil dikit aja." Asha menatap roti yang ditawarkan Iyan, lalu beralih ke roti bakarnya sendiri. "Lo... lo ambil punya gue deh sedikit. Roti keju ini terlalu cheesy buat gue," kata Asha, tanpa menatap Iyan. Ia menyodorkan sepotong kecil dari rotinya. Iyan menerima potongan keju itu dengan senyum kemenangan. Jelas, ini bukan tentang roti bakar. Ini tentang mereka. "Makasih, Sha," kata Iyan tulus. Ia menatap Asha yang sedang menggigit rotinya sambil cemberut lucu. "Sama-sama. Cepetan habis, terus lo pergi," balas Asha, tapi nadanya tidak sekeras tadi. Iyan memakan roti itu dengan bahagia.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
311.0K
bc

Too Late for Regret

read
291.1K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.2K
bc

The Lost Pack

read
405.0K
bc

Revenge, served in a black dress

read
148.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook