Asha dan Iyan masih duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang itu. Mereka menyelesaikan roti bakar pemberian Bima dalam keheningan yang nyaman—meskipun Asha terlihat berkonsentrasi penuh pada ponselnya, menghindari tatapan Iyan.
"Udah kenyang?" tanya Iyan, ia mengambil botol infused water dan meminumnya.
"Udah," jawab Asha singkat, padahal ia baru saja menjilati sisa lelehan keju mozzarella di jarinya.
"Lo... nggak mau cerita, Sha?" Iyan memulai, nadanya pelan. "Tugas arsitek lo kenapa? Sampe lo bawa gulungan kertas segede ini. Nggak tidur lagi, ya?"
Asha menghela napas. Rasa kesalnya pada Iyan tiba-tiba terasa tak penting dibandingkan dengan stres proyeknya.
"Gimana mau tidur, Yan? Dosen gue gila! Dia suruh gue merevisi tata letak fasad, padahal deadline-nya besok pagi!" keluh Asha, akhirnya mengeluarkan unek-unek. "Skalanya nggak pas, warnanya terlalu clash. Pusing gue. Mau nangis rasanya."
Iyan tersenyum. Ini dia Asha yang ia kenal—ceroboh, mudah panik, tapi sangat gigih. Ia tahu, Asha butuh Iyan untuk menenangkan kepanikannya.
"Siniin deh. Gue lihat sebentar," kata Iyan, mengulurkan tangan.
"Nggak usah! Nanti lo malah ngasih ide yang nggak masuk akal lagi," tolak Asha, tapi ia tak menolak ketika Iyan mengambil salah satu gulungan itu dari tangannya.
Iyan membuka gulungan kertas kalkir itu sedikit. Sebagai anak teknik yang terbiasa dengan desain struktur, ia mengerti dasar-dasar gambar teknik.
"Hmm... overall udah bagus kok, Sha. Cuma... lo suka lupa detail kecil," Iyan menunjuk salah satu bagian dengan jarinya. "Nih, saluran airnya harusnya ada kemiringan 0.5^circ. Masa airnya mau lo biarin banjir di teras?"
Asha terdiam, matanya membulat. "Ya ampun! Iya! Gue lupa slopenya!"
"Tuh kan," Iyan tertawa kecil. "Lo itu arsitek yang jenius, Sha. Tapi ceroboh. Makanya butuh teknik yang teliti buat backup lo."
Gedebag!
Tiba-tiba, sebuah suara benda berat jatuh terdengar dari kejauhan. Tak lama kemudian, muncul Rina, berlari ke arah mereka dengan wajah panik, sambil membawa maket rumah yang bagian atapnya sudah miring.
"Asha! Sorry gue telat! Maket gue ambruk! Kena angin kenceng!" Rina berteriak.
"Ya ampun, Rina! Lo serius?!" Asha langsung berdiri, panik.
Saat Asha berdiri dengan cepat, ia tidak menyadari ada sesuatu yang kecil dan hijau jatuh dari dahan pohon, tepat di ujung sepatu sneaker putihnya.
Iyan yang melihatnya, langsung menahan tawa.
"Sha, look down," kata Iyan dengan nada yang dibuat-buat serius.
Asha yang sedang panik melihat maket Rina, menoleh ke Iyan dengan tatapan 'apa-lagi-sih-Yan'.
"Apaan? Maket Rina nggak seburuk yang lo pikir kok," kata Asha.
"Bukan maket," Iyan menunjuk pelan ke ujung sepatu Asha. "Ada tamu nggak diundang."
Asha akhirnya menunduk. Matanya yang indah langsung melihat makhluk kecil, berbulu hijau dengan garis kuning, merayap perlahan.
"AAAAAARRRGGGHHH!!!"
Asha menjerit nyaring, jeritan yang tidak sesuai dengan fisiknya sebagai anak arsitek yang jago begadang. Ia melompat mundur sejauh dua meter, tangannya terangkat menutupi mulutnya.
Ekspresi wajah Asha? Priceless. Matanya melebar sempurna, pipinya yang memerah karena kesal kini bercampur dengan pucat ketakutan.
Ia terlihat seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permen.
Iyan tidak bisa menahan diri. Ia tertawa terbahak-bahak, sampai memegangi perutnya.
"Hahahaha! Ya ampun, Sha! Cuma ulat bulu doang! Kecil banget!" Iyan berusaha mengatur napas.
"IYAN! ITU JIJIK! MENDING LO PERGI! PERGIIN DARI SEPATU GUE!" Asha berteriak panik, kakinya diangkat-angkat ke udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan karena panik.
"Ulatnya nggak salah apa-apa, Sha. Dia cuma mau pinjam sepatu lo buat jalan-jalan," Iyan masih tertawa, namun ia bergerak cepat.
Iyan mengambil gulungan kertas kalkir Asha yang tadi, dan dengan ujung kertas itu, ia menyentil ulat itu pelan hingga jatuh ke tanah dan merayap menjauh.
"Udah, udah pergi. See? Lo lebih galak daripada ulat itu," kata Iyan, tersenyum jahil.
Asha perlahan-lahan menurunkan kakinya. Ia menatap Iyan dengan mata berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena malu dan panik yang berlebihan.
Rina yang baru saja tiba, melihat seluruh adegan itu dan hanya bisa menahan tawa melihat tingkah dua orang di depannya.
"Astaga, Sha. Lo se-panik itu sama ulat?" tanya Rina.
"I-itu menjijikkan, Rina! Bulunya gatal!" Asha masih mengatur napas, wajahnya masih memerah lucu.
Iyan mendekati Asha, yang masih terlihat syok. Ekspresi lucu dan ceroboh Asha barusan benar-benar membuatnya gemas setengah mati.
"Sini, sini," kata Iyan, suaranya kembali lembut.
Iyan mengulurkan tangan, dan tanpa ragu, ia menyentuh puncak kepala Asha, lalu mengusapnya pelan, seperti mengusap anak kucing yang ketakutan.
"Tenang. Udah aman. Hero Teknik lo udah beraksi," bisik Iyan.
Asha yang tadinya masih tegang, langsung diam di tempat. Sentuhan Iyan di kepalanya terasa hangat dan menenangkan. Gengsinya runtuh tak bersisa. Ia bahkan lupa kalau ada Rina di sana.
"Yan, lo tuh... nyebelin," kata Asha pelan, ia menatap Iyan.
"Gue nyebelin? Atau gue cuma bikin lo kangen, Sha?" goda Iyan, ia menarik tangannya.
"Nggak usah geer. Sana, balikin gulungan gambar gue! Udah lo pake buat nyentil ulat!" Asha kembali ke mode galaknya, tapi kali ini, Iyan tahu itu hanya permukaan saja.
"Oke, oke. Nih," Iyan mengembalikan gulungan itu. "Tapi gue cuma mau bilang, Sha. Lo kalau lagi panik, lucu banget. Pengen gue bungkus bawa pulang."
Asha membuang napas kesal. Ia meraih gulungan itu dan memukulkannya pelan ke lengan Iyan.
"Iyan! Stop!"
"Cinta itu kadang datang tiba-tiba, Sha. Kayak ulat tadi. Nggak diundang, tapi bikin kaget dan gemas," Iyan kembali tertawa receh.
Rina yang sudah menaruh maketnya, menggeleng-gelengkan kepala.
"Aduh, gue nggak kuat. Kalian berdua ini kayak Tom and Jerry versi putus-nyambung. Sha, udah. Terima aja kalau Iyan itu bodyguard lo," kata Rina. "Yan, lo jangan ganggu dia terus. Bantuin dia revisi biar besok kita lulus!"
"Oke!" Iyan memberi hormat lagi. "Gue cabut dulu, guys. Tapi nanti malam, kalau lo butuh teman begadang buat revisi, ketuk aja Kamar 3. Gue selalu siaga 24 jam buat lo, Sha."
Iyan melambai, dan berjalan pergi, meninggalkan Asha yang kini memegang kepalanya sendiri, antara malu, kesal, dan sedikit bahagia.
"Dia bener-bener... nggak tahu malu," keluh Asha pada Rina.
Rina tersenyum misterius. "Dia nggak tahu malu, atau dia nggak bisa move on, Sha? Apalagi cuma Iyan yang tahu kondisi lo, kan?"
Asha terdiam, menatap punggung Iyan yang menghilang di balik gedung. Ia tahu Rina benar. Dan itu yang membuat segala sesuatunya terasa rumit dan... manis.
.
.
"Gara-gara lo lama, gue jadi dimakan hidup-hidup sama si Iyan, Rin, tanggung jawab lo,gue bete." rutuk Asha
Bruk!
Asha duduk kembali di bangku panjang, sementara Rina mengeluarkan isi tasnya yang berantakan—lembaran kertas kalkir, penggaris T, cutter, dan tentu saja, maket rumah yang kini perlu diperbaiki.
"Makan hidup-hidup apaan, Sha? Dia cuma ngusir ulat, terus ngusap kepala lo. Lo tahu nggak, ekspresi lo pas teriak tadi itu definisi kegemasan buat Iyan," balas Rina, sibuk mencari lem super.
"Justru itu! Gara-gara lo lama, gue jadi kelihatan bodoh di depan dia! Gue kan udah susah payah jaga jarak, biar dia nggak geer lagi, Rin!" rutuk Asha, suaranya pelan tapi penuh kekesalan. "Dia malah pakai gombalan receh kayak 'lisensi seumur hidup' atau apalah itu. Ew!"
Rina tertawa kecil. "Lo tuh ya, gengsi lo setinggi gedung pencakar langit yang lo desain. Lo nggak sadar? Kalian berdua itu kayak magnet. Didekatin Bima, Iyan langsung panik. Lo diganggu ulat, Iyan langsung jadi hero.
Asha mendengus, mengambil salah satu pena dari tasnya. "Gue bete sama dia! Dia pikir gampang apa, Yan, kita putus tanpa sebab. Terus sekarang dia sok-sok baik. Gue nggak mau lagi deket dia, Rin. Nanti penyakit gue kumat lagi, dia lagi yang repot."
Rina menghentikan aktivitasnya, menatap Asha dengan serius.
"Sha, lo mutusin Iyan setahun lalu karena lo nggak mau dia repot ngurusin lo kalau kista lo kumat, kan? Lo pikir dia bego? Iyan itu engineer. Dia ngitung risiko, Sha. Dia udah tahu risikonya, tapi dia tetap ada di sana, di kamar 3, di seberang lo. Itu bukan kebetulan, itu namanya kesetiaan," ujar Rina.
Asha terdiam. Matanya menatap daun-daun yang berguguran. Rina benar. Alasan ia memutuskan Iyan, satu-satunya orang yang tahu tentang penyakitnya, adalah karena ia tidak ingin Iyan terbebani.
"Tapi... gue nggak mau jadi beban, Rin," bisik Asha.
"Hidup itu nggak ada yang nggak jadi beban, Sha. Lo juga beban buat gue kalau maket lo nggak kelar besok," Rina mencoba mencairkan suasana. "Udah, daripada lo galau mikirin mantan-yang-nggak-bisa-move-on itu, mending lo bantu gue benerin atap ini. Kayaknya ini butuh rumus arsitek yang rumit."
Asha akhirnya mengalihkan perhatiannya. Ia mengambil penggaris dan mulai menganalisis maket Rina.
"Lo harus pakai perhitungan F {x} dan F {y} biar strukturnya kuat, Rin. Jangan asal lem doang," kata Asha, kembali ke mode serius.
Mereka pun tenggelam dalam kesibukan memperbaiki maket Rina selama hampir satu jam. Setelah maket Rina terlihat kokoh kembali, hari mulai gelap, dan perut mereka berdua mulai berdemo.
"Yan emang nyebelin. Gombalannya basi," ujar Asha tiba-tiba, setelah sekian lama hening.
"Tapi lo senyum tadi pas dia ngusap kepala lo," sahut Rina santai.
"Nggak!"
"Iya, Sha. Gue lihat. Udah deh, jujur aja. Lo rindu kan digangguin dia?"
Asha mendesah keras. "Gue nggak rindu. Gue cuma... terbiasa. Dulu kan dia yang selalu standby kalau gue panik soal deadline."
Rina mengangguk maklum. "Nah, itu dia. Lo butuh backup Teknik lo. Mending lo WA dia aja, minta tolong revisi bentar. Mumpung dia udah nawarin."
"Nggak mau! Gengsi!"
"Gengsi itu nggak ngisi perut, Sha. Mending lo WA duluan, mumpung dia lagi happy gara-gara ketemu ulat," ejek Rina.
Asha cemberut. Ia meraih ponselnya. Ia membuka kolom chat dengan Iyan. Masih tertera: "Natasha Viona (Blokir kontak ini?)"
Nggak. Jangan. Gue nggak mau ngemis.
Iyan bilang: "Kalau lo butuh teman begadang buat revisi, ketuk aja Kamar 3."
Asha menyeringai. Ia tahu, ia punya ide yang lebih baik daripada mengirim pesan. Ide yang menggabungkan kebutuhan revisi dengan menjaga gengsi.
"Rin, anterin gue balik kosan sekarang," kata Asha tegas. "Gue nggak mau revisi di sini. Gue mau revisi di kamar gue."
Rina mengangkat alis. "Kenapa buru-buru?"
"Gue mau buktiin ke Iyan, kalau gue nggak butuh dia. Tapi... kalau dia maksa nolongin, itu lain cerita," jawab Asha licik.
Malam harinya, sekitar pukul 21.00 WIB.
Asha sudah tiba di kosan. Setelah mandi dan memakai piyama, ia duduk di meja belajar dengan gulungan kertas kalkir dan laptopnya. Ia mencoba berkonsentrasi, tapi otaknya terasa buntu. Struktur yang ia gambar terasa salah total.
"Sial! Kenapa gue nggak bisa mikir jernih?!" rutuk Asha.
Ia melirik ke pintu. Pintu Kamar 3 milik Iyan, tepat di seberangnya, terlihat tertutup rapat.
Asha menghela napas. Ia butuh bantuan Iyan. Bukan karena ia rindu, tapi karena persoalan slope saluran air yang Iyan sebutkan tadi benar-benar mengganggunya.
Gengsi, Sha, Gengsi!
Asha bangkit. Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya.
Kalau gue WA, dia geer. Kalau gue telepon, dia pasti godain gue.
Ia ingat kata-kata Iyan: "...ketuk aja Kamar 3."
Asha mengangguk-angguk. Tidak ada yang bilang dia harus mengetuk Kamar 3.
Asha membuka pintunya sedikit, lalu berjalan keluar. Di lorong yang temaram, ia langsung berhadapan dengan pintu Kamar 3 yang hanya berjarak lima belas meter.
Asha berdiri di depan kamarnya. Ia pura-pura sangat sibuk merapikan gulungan kertas kalkir. Kakinya mulai bergerak. Ia berjalan ke tengah lorong.
Iyan, yang berada di Kamar 3, pasti sedang begadang bermain game atau menonton film. Kebiasaannya adalah membuka pintu kamarnya sedikit, membiarkan AC kamar menyegarkan udara di lorong.
Asha berhenti tepat di depan motor Iyan yang terparkir. Ia membalikkan badan, memunggungi pintu Kamar 3.
Ia mulai bicara keras-keras, seolah-olah ia sedang teleponan dengan Rina.
"Halo, Rina? Lo udah tidur? Gue lagi revisi nih. Duh, sumpah, otak gue buntu! Gue nggak ngerti perhitungan gaya geser statis buat fasad ini! Gue butuh anak Teknik yang ngerti F x dan F y buat bantuin gue sekarang juga! Tapi nggak ada! Semua anak Teknik pasti udah tidur! Hiks, gue sendirian..."
Asha berbicara dengan nada lebay yang disengaja. Inti dari monolognya adalah: Iyan! Gue butuh lo! Sekarang! Tapi gue nggak mau ngomong langsung!
Cklek!
Pintu Kamar 3 terbuka lebar. Iyan muncul di ambang pintu, hanya mengenakan kaus oblong hitam dan celana training. Matanya mengantuk, tapi senyumnya langsung mengembang.
"Siapa bilang semua anak Teknik udah tidur? Lo tuh ya, udah putus setahun masih aja suka banget ngode dari jauh," kata Iyan santai.
Asha pura-pura terkejut, ia menurunkan ponselnya.
"Eh, Iyan? Lo belum tidur? Aduh, gue ganggu ya? Maaf, gue kira... gue kira gue sendirian di lorong," ujar Asha, memasang wajah polos ceroboh andalannya.
Iyan berjalan mendekat, menyender di motornya. "Nggak ganggu kok. Gue nggak bisa tidur, soalnya gue ngerasa ada frekuensi kepanikan arsitek yang memancar kencang dari Kamar 8."
Iyan menatap tumpukan kertas Asha, lalu tersenyum manis.
"Gimana, Sha? Mau gue bantuin revisi? Atau lo mau tetap ngode sampai subuh?" goda Iyan.
Asha langsung cemberut. Gagal total. Iyan selalu selangkah lebih maju dalam permainan gengsi ini.
"Dasar lo! Nyebelin!" rutuk Asha.
"Bukan nyebelin, Sha. Tapi sat set sat set," Iyan menggeser motornya, membuka jalan. "Udah, sana lo masuk kamar. Ambil laptop sama kertas-kertas lo. Gue tunggu di depan pintu kamar lo. Jangan sampai ulat malam ganggu lo lagi."
Asha hanya bisa pasrah. Kekesalannya hilang, digantikan rasa lega.
"Oke. Tapi! Lo nggak boleh godain gue, nggak boleh pakai gombalan, dan nggak boleh nanya kenapa kita putus!" ancam Asha, menunjuk Iyan dengan jari telunjuknya.
"Siap, Bos Arsitekku," Iyan memberi hormat, senyumnya menyebar. "Semua demi F x dan F y yang seimbang."
Asha buru-buru masuk ke kamar, wajahnya memerah. Ia tahu, meskipun ia menjaga gengsi, di lubuk hati terdalam, ia sangat merindukan momen di mana Iyan menjadi Technical Support pribadinya.
Iyan tersenyum. Ia tahu, Asha tidak akan pernah bisa sendiri. Dan selama ia di Kamar 3, Iyan akan selalu ada untuk WANITAKU ASHA.
.
.
Asha sudah menyiapkan segala amunisi revisi di meja belajarnya. Laptop, ruler panjang, kertas kalkir yang terbentang luas, dan dua gelas kopi instan yang baru ia buat.
Iyan duduk di kursi belajar Asha, sedangkan Asha duduk di tepi ranjangnya, menghadap Iyan. Ia sengaja membuat jarak, demi menjaga ‘integritas mantan’.
"Oke, stop gombal, stop receh, fokus. Ini demi kelulusan gue," titah Asha, nadanya serius.
"Siap, komandan. Laksanakan!" Iyan membalik kertas kalkir Asha, langsung berhadapan dengan gambar fasad yang rumit.
Mereka mulai bekerja. Iyan dengan cepat menganalisis struktur.
"Nah, ini dia masalahnya, Sha," Iyan menunjuk detail struktur atap. "Lo terlalu takut pakai balok baja IWF. Padahal buat bentangan selebar ini, lo nggak bisa cuma ngandelin kayu. Ini kayak... kita yang berusaha move on, tapi ternyata fondasinya masih cinta. Gampang ambruk."
Asha cemberut. "Lo! Nggak boleh pakai metafora cinta!"
"Itu metafora teknik, Sha. Gue kan anak Teknik. Balok itu B, cinta itu C. Sama aja," Iyan membela diri, wajahnya polos.
Asha menghela napas. Tapi ia harus mengakui, penjelasan Iyan memang masuk akal. Iyan mengeluarkan pensilnya dan mulai membuat sketsa perhitungan di kertas kosong.
"Oke, kalau lo ganti ini pakai H-Beam 250 times 125, beban Sigma F y lo akan seimbang, dan gaya lentur M nggak akan melebihi batas elastisitas," Iyan menjelaskan dengan lancar, menuliskan beberapa notasi teknis.
"Nah, ini baru namanya bantuan. Bukan gombal," puji Asha. Ia mendekat, kepalanya sedikit miring, mencoba memahami rumus Iyan.
Posisi mereka kini lebih dekat. Iyan yang sedang membungkuk, dan Asha yang mencondongkan tubuh dari ranjang. Aroma shampoo mawar Asha kembali tercium, membuat Iyan sedikit kehilangan fokus pada rumus M ijin.
"Jadi, harusnya slope 0.5 circ itu dimulai dari mana?" tanya Asha, mendekatkan wajahnya ke arah Iyan untuk melihat lebih jelas.
Iyan merasakan napas hangat Asha di telinganya. Jantungnya langsung berdetak lebih cepat.
"Slope 0.5 circ... dari... dari sini," Iyan menunjuk, tapi ia sengaja memelankan gerakannya. "Sebentar, Sha. Kok gue jadi nggak bisa fokus ya?"
"Kenapa? Rumusnya susah?"
"Nggak, rumusnya gampang. Tapi... sinar bulan yang mantul di mata lo itu bikin glare. Gue nggak bisa lihat jelas garisnya," Iyan menatap Asha dengan tatapan cheesy andalannya.
PLAK!
Asha memukul lengan Iyan pelan dengan gulungan kertas. "Iyan! Janji nggak gombal!"
"Aduh, sakit, Sha!" Iyan mengaduh, tapi ia tertawa kecil.
Tiba-tiba...
KLIK!
Seluruh lampu di kamar mati total. AC mati. Hanya sisa cahaya samar dari layar laptop Iyan yang sebentar lagi baterainya habis.
"Yah! Mati lampu," keluh Iyan.
Asha langsung tegang. Kamarnya menjadi gelap gulita, hanya ada sedikit cahaya dari jendela.
"Iyan! Gelap!" Asha langsung melompat dari ranjang, reflek menjauhi kegelapan.
"Ya ampun, Sha. Kan cuma mati lampu. Di kosan kita kan sering," Iyan mencoba menenangkan.
"Nggak! Gue nggak suka gelap! Dingin, Yan!" Asha tanpa sadar berjalan mundur, dan kakinya menyentuh kaki Iyan yang sedang duduk.
Asha menjerit tertahan, suara kecil yang menggemaskan. "Aduh! Ada apa di belakang gue?!"
Iyan tertawa. "Itu kaki gue, Sha. Santai. Gue cari senter dulu."
Iyan meraba-raba meja. Tiba-tiba, Asha yang panik karena kegelapan dan dingin, bergerak maju terlalu cepat.
BRAK!
Asha menabrak Iyan yang sedang membungkuk mencari senter. Kedua tubuh mereka bertabrakan, dan Iyan yang tidak siap, oleng.
DUBRAK!
Mereka berdua terjatuh ke lantai. Asha jatuh menimpa tubuh Iyan, persis di atas d**a Iyan.
Jarak mereka kini nol. Wajah Asha tepat di bawah dagu Iyan. Mereka bisa merasakan napas satu sama lain. Aroma kopi, parfum Iyan, dan mawar dari Asha bercampur jadi satu.
Jantung Iyan berdebar sangat kencang. Ia yakin Asha bisa mendengarnya.
Asha membeku total. Di kegelapan, rasa paniknya hilang, digantikan rasa malu yang luar biasa dan debaran jantung yang tak terkontrol.
"I-Iyan..." bisik Asha, suaranya sangat kecil. Ia berusaha bangkit, tapi tangannya malah menumpu kuat di d**a Iyan.
"Santai, Sha. Gue... gue nggak apa-apa," jawab Iyan, suaranya serak. Ia menahan napas, tidak ingin merusak momen intim yang receh ini.
Iyan tahu ini kesempatan. Ia bisa saja menggodanya, tapi kali ini ia memilih bersikap manis.
"Lo berat, Sha. Tapi... gue suka," bisik Iyan.
"Iyan! Lepasin!" Asha berusaha merangkak bangun, namun ia kesulitan karena kegelapan.
Iyan meraih pinggang Asha dengan satu tangan, menahannya tetap di posisi itu sebentar, tidak membiarkannya pergi.
"Tunggu, Sha. Biarin gini dulu sebentar," Iyan berkata, nadanya sangat serius, tanpa ada nada gombal. "Gue cuma mau mastiin lo nggak panik. Gue di sini. Lo nggak sendirian."
Asha terdiam. Kata-kata itu, di tengah kegelapan dan kehangatan tubuh Iyan, langsung menenangkan seluruh sistem sarafnya. Ia ingat, ini alasan kenapa ia sangat mencintai Iyan. Iyan selalu tahu cara menenangkannya tanpa harus bertanya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, Iyan melepaskan pelukannya.
"Udah, partner. Sekarang kita cari senter," Iyan mendorong Asha perlahan.
Asha segera merangkak menjauh. Wajahnya terasa panas sekali, meskipun kamar itu dingin. Ia akhirnya berhasil menemukan senter kecil di laci meja belajar.
Klik!
Cahaya kecil menerangi kamar. Mereka berdua terpisah sekitar satu meter. Mereka saling pandang. Wajah Iyan terlihat menahan tawa, sementara wajah Asha masih merah padam.
"Ya ampun, Sha. Lo kalau panik, lucu banget," Iyan kembali ke mode receh, tak bisa menahan diri. "Gue jadi pengen beli action figure lo yang lagi ketakutan tadi."
"DIAM! Lo juga nyebelin! Kenapa lo malah diem aja pas gue nabrak lo?!" bentak Asha.
"Gue? Gue mau bilang, tapi lo keburu nabrak gue. Gue kan nggak bisa nolak takdir, Sha," Iyan mengedipkan mata. "Lagipula, itu kan bagian dari Eksperimen Gaya Geser Statis yang tadi kita bahas. Dan ternyata, Gaya Tarik kita lebih besar daripada Gaya Tolak."
Asha melempar bantal ke arah Iyan. "Keluar lo dari kamar gue! Udah! Gue nggak mau revisi lagi!"
Iyan menangkap bantal itu, tertawa. "Iya, iya. Sorry. Kita lanjut besok pagi di kampus, ya? Jangan lupa minum vitamin C, partner."
Iyan berdiri, merapikan kausnya, lalu berjalan ke pintu. Ia menoleh ke Asha yang masih cemberut sambil memeluk senter.
"Gue cabut. Good night, Asha. Tidur yang nyenyak," kata Iyan lembut.
Saat Iyan baru saja membuka pintu, Asha berkata pelan, hampir tidak terdengar.
"Yan..."
Iyan berhenti, menoleh ke belakang. "Ya?"
Asha menunduk, memainkan ujung piyamanya. "Makasih. Buat... revisinya."
Iyan tersenyum tulus. "Sama-sama. Kapan pun lo butuh, Kamar 3 selalu siap. Nggak usah pura-pura telepon Rina lagi."
Iyan menutup pintu Kamar 3, lalu berjalan ke kamarnya. Di lorong yang gelap, Iyan menyentuh dadanya. Jantungnya masih berdebar.
Sementara itu, di Kamar 8, Asha bersandar di pintu, memeluk bantal yang dilempar Iyan tadi. Ia bisa merasakan sisa kehangatan Iyan di bantal itu.
"Sial. Kenapa gue jadi nggak bisa marah sama dia?" bisik Asha.