Bab 3

2697 Words
Pukul 01.30 WIB. Setelah insiden jatuh di kegelapan kamar tadi, Asha merasa malu setengah mati. Ia mengusir Iyan dengan alasan harus tidur. Namun, setelah berbaring 30 menit, otaknya malah merangkai ulang setiap detik saat mereka jatuh bersama. Alhasil, kantuk hilang total, digantikan rasa lapar yang mendesak. Asha memutuskan untuk membuat mi instan di dapur umum. Malam-malam begini, dapur adalah tempat teraman dari godaan Iyan. Iyan pasti sudah kembali ke Kamar 3. Asha berjalan mengendap-endap ke dapur. Ia menyalakan kompor induksi. Sambil menunggu air mendidih, ia melihat ke papan pengumuman. Masih ada aturan Comic Sans yang terpampang. > ATURAN SUCI KOSAN! > * JANGAN AMBIL BARANG ORANG LAIN! (Peringatan: Malaikat pencatat dosa ada di sini). > "Iyan memang malaikat pencatat dosa," gumam Asha pelan. Tiba-tiba, suara derap kaki yang ceria mendekat. "Wih! Nggak salah gue! Bau-bau mie rebus!" Bima muncul di ambang pintu dapur, matanya langsung berbinar melihat panci di atas kompor. Ia memakai kaus bola yang berbeda—kali ini jersey Barcelona. "Bima? Lo ngapain di sini?" tanya Asha, kaget. "Gue? Nggak ngapa-ngapain. Cuma mau lihat kulkas. Siapa tahu isinya tiba-tiba berubah jadi emas batangan," jawab Bima receh. "Lo ngapain, Sha? Revisi kan udah dibantuin Iyan. Sekarang lo bikin mie? Itu kode, ya? Lo mau bikin mie buat dia?" "Nggak! Gue buat gue sendiri! Sana lo, jangan ganggu!" balas Asha ketus, sambil mengaduk bumbu di mangkoknya. Bima menyender di counter. "Lo tuh lucu ya, Sha. Udah putus, tapi urusan perut aja masih Iyan yang handle. Kenapa nggak order mie-nya aja lewat Kamar 3? Lebih romantis." "Bima, sekali lagi lo sebut nama Iyan, mie ini gue lempar ke muka lo!" ancam Asha, wajahnya sudah masam. "Yaelah, galak amat. Bete karena semalem jatuh sama Iyan, ya? Jangan-jangan udah sweet dream lo?" goda Bima, mendekat ke panci. "Mie lo udah matang nih, Sha." Asha buru-buru mengangkat pancinya. Ia berjalan cepat, menghindari Bima, berniat menuangkan mie ke mangkok. Saat ia berjalan melewati counter yang gelap, tiba-tiba, sesuatu bergerak cepat di atas meja. Hitam, berkilat, dan bersayap. Asha membeku. Matanya membulat sempurna, lebih lebar daripada saat ia melihat ulat. "AA... AAAA...!!!" Asha hanya bisa mengeluarkan suara desahan tertahan, tubuhnya kaku, panci mie panas di tangannya bergetar. Bima yang melihatnya, langsung panik. "Kenapa, Sha?! Ada apa?!" "I-I-ITUUU!!!" Asha tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya menunjuk objek hitam itu. Bima melihat ke arah yang ditunjuk Asha. "Oh, cuma kecoak terbang doang, Sha. Kecil kok!" "TERBANG?!" Kata 'terbang' itu adalah pelatuk. Asha yang sudah kehabisan kesabaran dan stok gengsi, langsung menjerit nyaring, jeritan yang benar-benar memecahkan keheningan malam. "AAAAAAKHHH!!! JIJIKK! TERBANG! PERGI LO! PERGI SANA!!!" Bahkan, panci berisi mie rebus itu terlepas dari tangannya. PRANGG!!! Mie rebus panas tumpah ruah di lantai dapur, mengenai kaki Bima sedikit. Kecoa itu terbang entah ke mana, tapi teriakan Asha sudah terlanjur bergaung di seluruh area kosan. Bima melompat ke belakang. "Woy! Panas! Gila, Sha! Teriakan lo itu sound effect film horor!" Tapi Asha sudah tidak peduli. Ia berdiri di atas kursi, memeluk lututnya, wajahnya pucat pasi, masih megap-megap karena jeritan tadi. Teriakan Asha yang sekuat sirene kapal pesiar, langsung memicu kegemparan. Dalam hitungan detik, lampu-lampu di kamar kos mulai menyala satu per satu. Dari Kamar 10 (paling ujung), terdengar teriakan kaget seorang cewek. "Woy! Ada apaan?! Kebakaran?!" Dari Kamar 5, pintu terbuka dan muncul cowok dengan masker tidur di dahi, menggerutu. "Siapa sih teriak tengah malam?! Tugas arsiteknya nggak kelar, ya?!" Dari Kamar 1, pintu Bima terbuka, dan muncul Anggi (Mama Kos) dengan piyama Doraemon, wajahnya galak. "Bima! Lo yang bikin ulah lagi ya?!" Tapi, yang paling cepat adalah... Brak! Pintu Kamar 3 terbuka dengan dorongan kuat. Iyan muncul, masih dengan kaus oblong hitamnya, rambutnya sedikit acak-acakan, menunjukkan ia baru saja terbangun. Wajah Iyan tegang, khawatir terjadi sesuatu yang serius. Iyan berlari ke dapur. Ia melihat pemandangan di depannya: * Bima berdiri dengan kaki terangkat, menghindari genangan mie rebus di lantai. * Asha berdiri di atas kursi, memeluk lututnya, wajahnya kusut ketakutan. * Asap tipis mengepul dari mie yang tumpah. Kekhawatiran Iyan langsung berubah menjadi rasa gemas dan geli. "Asha! Lo kenapa, Sha?! Ada alien nyerang?" tanya Iyan, suaranya lega tapi terdengar seperti menahan tawa. Asha mendongak, matanya bertemu dengan Iyan. Ia langsung merasa sangat malu. "Iyan! Itu... i-itu..." Asha menunjuk lantai, lalu kembali ke mode cemberut. "Itu... mie tumpah, Sha," Iyan menghela napas. "Terus? Lo teriak se-kenceng itu karena mie tumpah?" "BUKAN MIE! Ada... ada dia!" Asha menunjuk counter tempat kecoa itu tadi. Iyan menatap Bima. "Bim, lo lihat?" Bima hanya bisa meringis sambil menunjuk sepatu Iyan. "Kecoa terbang, Yan. Asha panik. Terus teriaknya... epic banget. Kayaknya semua penghuni kos lagi dengerin jantungnya sendiri berdegup kencang nih." Iyan menggeleng-gelengkan kepala. Ia berjalan ke arah Asha. "Astaga, Sha," Iyan berdiri di depan kursi yang dinaiki Asha. "Lo dari ulat naik ke kecoa. Nanti apa lagi? Cicak?" "Jangan ngomongin itu!" Asha bergidik. Iyan menatap Asha. Ekspresi Asha yang ketakutan, bibirnya yang cemberut, dan posisi kakinya yang gemetar di atas kursi—semuanya terasa sangat lucu dan menggemaskan. "Yaudah, sini," Iyan mengulurkan tangannya. "Turun. Kecoa nya udah pindah kosan. Nggak mau dia berurusan sama 'Ratu Teriakan' kayak lo." Asha ragu-ragu. Ia menatap Iyan, lalu menghela napas pasrah. Ia memegang tangan Iyan. Begitu kakinya menyentuh lantai, Asha langsung memeluk Iyan erat-erat, menyembunyikan wajahnya di d**a Iyan. "Yan! Gue malu! Teriakan gue pasti kedengeran sampe ke kampus!" bisik Asha, suaranya tertahan. Iyan membalas pelukan Asha dengan hangat, menepuk-nepuk punggungnya pelan. Ia tersenyum kemenangan. "Nggak apa-apa, Sha. Tenang. Itu cuma alarm buat gue. Lo itu kayak sinyal bahaya, dan gue adalah pemadam kebakaran lo," Iyan berbisik balik. "Lagipula, sekarang semua orang tahu, kalau mau bangunin Iyan tengah malam, cukup ganggu Asha pakai kecoa." Di ambang pintu dapur, semua penghuni kosan (dengan berbagai jenis piyama dan bantal) berkumpul, melihat adegan itu. Anggi (Kamar 1) tersenyum-senyum melihat Iyan dan Asha. "Mama Kos, gue nggak salah kan? Mereka berdua itu relationship goals yang tertunda," bisik Bima pada Anggi. Iyan melepaskan pelukan Asha perlahan. Asha yang baru sadar banyak penonton, langsung melebarkan matanya. "Gue... gue nggak kenapa-kenapa! Bima yang mulai duluan! Dia godain gue! Terus mienya tumpah!" Asha menuding Bima, mencoba mengalihkan perhatian. "Woy! Jangan ngeles!" Bima membela diri. Iyan memegang bahu Asha. "Udah, udah. Lo masuk kamar aja, Sha. Nggak usah malu. Biar gue sama Bima yang beresin TKP tumpahan mie ini." Asha mengangguk cepat. Ia berlari cepat meninggalkan dapur, bersembunyi di kamar. Iyan menatap ke kerumunan penghuni kosan, lalu tersenyum receh. "Maaf, guys. Free concert tengah malamnya sudah selesai. Silakan kembali tidur. Mie ini akan kami pertanggungjawabkan besok pagi. Dan tenang, kecoa itu sudah gue daftarin jadi penghuni Kamar 9," ujar Iyan, lalu ia dan Bima mulai membersihkan tumpahan mie. Bima menyenggol Iyan. "Lo epic, Yan. Fast response lo itu standar anak Teknik yang bucin." Iyan hanya tersenyum sambil mengepel lantai. Di balik kekesalan Asha dan kekacauan ini, Iyan tahu satu hal: Asha tetap mencintainya. Dan ia akan terus menjaga Asha, bahkan dari seekor kecoa. . . Pagi itu di kampus, matahari bersinar cerah, tapi suasana hati Natasha Viona (Asha) sekelam kopi tanpa gula. Ia berjalan menuju gedung Arsitektur, mengenakan sunglasses besar—bukan untuk gaya, tapi untuk menyembunyikan mata lelahnya setelah begadang dan menghindari tatapan julid dari teman-teman kosan di kampus. Asha sudah memutuskan: Hari ini, ia akan menghindari Iyan dan Bima sejauh mungkin. Ia tidak mau ada yang membahas insiden kecoa dan pelukan memalukan di depan umum. Namun, takdir berkata lain. Ia harus mengambil gulungan kertas revisi semalam yang tertinggal di kamar Iyan (setelah Iyan mengembalikannya ke sana saat membersihkan dapur). Asha mengirim pesan singkat ke Iyan: > Asha: Yan, kertas kalkir gue yang semalem ada di lo kan? Taruh aja di depan kamar 8. Gue ambil nanti. > Tak lama, balasan datang: > Iyan: Nggak bisa, Sha. Ini kertas sakral hasil kerja keras tim engineer dan arsitek. Harus diserahkan langsung. Gue di kantin Teknik. *Buruan. Ada kecoa terbang. > Asha mendengus keras. Ia tahu, Iyan sengaja menggodanya. Dengan langkah terpaksa, Asha berjalan menuju kantin Fakultas Teknik—area yang paling ia hindari karena penuh dengan cowok-cowok receh dan berminyak (termasuk mantan kekasihnya). Ketika Asha tiba di kantin yang ramai, ia melihat targetnya. Iyan dan Bima sudah duduk di meja paling strategis. Iyan sedang asyik meminum es teh manis, sementara Bima sibuk mengunyah gorengan. Asha berjalan mendekat, memasang wajah sedatar mungkin. "Sini kertasnya, Yan. Gue buru-buru," kata Asha, mengulurkan tangan tanpa basa-basi. Bima langsung menyeringai lebar. "Wih, partner in crime mie instan! Pagi, Sha!" "Pagi, Bima. Gue cuma mau ambil kertas," jawab Asha, matanya tertuju ke Iyan. Iyan mengambil gulungan kertas itu dan malah memeluknya. "Nggak bisa, Sha. Gue mau ngasih briefing dulu." "Buruan, Yan!" Bima tiba-tiba berdiri, lalu menempelkan kedua telapak tangannya di telinga, dan berteriak dengan suara yang dibuat-buat melengking: "AAAAAARRRGHHH!!! JIJIKK! TERBANG! PERGI LO! PERGI SANA!!!" Bima menirukan persis teriakan Asha semalam. Seluruh mata di kantin Teknik langsung tertuju ke meja mereka. Wajah Asha langsung memerah sempurna, menahan malu yang memuncak. Ia tahu, sekarang semua orang di fakultas mereka akan tahu tentang insiden kecoa itu. "BIMA! DIAM LO!" Asha menggebrak meja, tapi suaranya lebih terdengar seperti bisikan marah. "Ups! Sorry! Refleks! Soalnya semalem gue nggak bisa tidur, Yan. Kebayang-bayang suara sound effect horor itu," Bima berbisik ke Iyan, tapi sengaja dibuat kencang. "Gue sampai bikin ringtone baru, Bro!" Iyan hanya tertawa kecil, ia menyikut Bima. "Udah, Bim. Kasian Asha. Nanti dia teriak lagi, kantin kita rubuh." Iyan akhirnya meletakkan gulungan kertas itu di meja. Asha buru-buru meraihnya, bersiap melarikan diri. "Tunggu, Sha," Iyan menahan ujung kertas itu. "Apa lagi, Yan?" tanya Asha frustrasi. Iyan menatap Asha, kali ini tatapannya berubah dari jahil menjadi manis. "Gue cuma mau bilang, nggak usah malu soal semalem," kata Iyan pelan. "Justru itu yang gue kangenin dari lo. Lo itu kelihatannya tough kayak beton struktur, tapi ternyata rapuh banget sama hal-hal kecil." "Terus, pelukan lo itu... pelukan terhangat yang gue dapet setelah setahun. Kayak reward dari alam semesta," Iyan tersenyum tulus. Asha tidak bisa berkata-kata. Mendengar kalimat tulus itu setelah semua godaan receh Bima, membuat hatinya luluh. Ia merasakan gejolak aneh di perutnya—perpaduan antara malu, rindu, dan gemas pada Iyan. "Lo... lo ngomong apa sih," Asha bergumam, ia memalingkan wajahnya. "Sini kertasnya!" Iyan melepaskan kertas itu. "Cek deh. Ada note dari gue di bagian belakang." Asha terpaksa membuka gulungan itu. Di bagian kosong kertas kalkir, Iyan menulis dengan spidol merah: > To: WANITAKU ASHA (Si Boss Kecoa) > * Revisi Slope sudah aman. > * Jangan lupa sarapan. > * Kalo ada yang godain lo soal semalem, bilang aja: 'Gue peluk Iyan karena dia minta, bukan karena gue takut.' > * P.S: Love your scream. It's cute. > Asha membaca note itu. Wajahnya yang tadi cemberut, kini sedikit lemah. Ia menoleh ke Iyan. "Lo tuh ya... kenapa sih nggak bisa sehari aja nggak usil!" gerutu Asha, namun nadanya sudah tidak sekeras tadi. Iyan berdiri, tangannya mengambil infused water yang ia siapkan untuk Asha. "Ini buat lo. Biar galak lo berkurang. Jangan lupa diminum. Udah, sana lo ke studio. Deadline sebentar lagi," kata Iyan. Asha menerima botol itu. Ia menatap Iyan, matanya tampak berterima kasih, meskipun ia berusaha menutupinya. "Makasih. Dan... lain kali, kalau lo mau gue peluk, minta baik-baik. Jangan pakai kecoa," kata Asha, lalu ia berbalik cepat dan berjalan pergi, meninggalkan Iyan dan Bima yang terbahak-bahak di kantin. Bima langsung menyikut Iyan. "Wih! Dia barusan ngode keras, Bro! Dia mau lo peluk lagi!" Iyan tersenyum bangga, menatap punggung Asha. "Gue tahu, Bim. Dia cuma pura-pura gengsi. Mission accomplished." . . Asha tiba di Studio Desain, tempatnya menghabiskan waktu setara 25 jam sehari. Ia memilih sudut paling pojok, membentangkan kertas kalkirnya, dan pura-pura berkonsentrasi penuh pada revisi fasad. Di sebelahnya, Rina yang sudah menunggu, melirik botol infused water di tangan Asha. "Wih, dapet bekal sehat. Delivery dari Kamar 3 lagi?" goda Rina. "Apaan sih lo, Rin! Ini gue take away dari kantin. Berisik lo!" bantah Asha cepat, meletakkan botol itu keras-keras. Asha mengeluarkan roller pen dan mulai menggambar ulang detail saluran air yang lupa ia beri kemiringan 0.5 circ. Otaknya bekerja, tapi hatinya jauh lebih berisik. Gara-gara lo, Yan, tugas gue jadi bener. Tapi gara-gara lo juga, reputasi gue ancur. Asha menekan pena-nya terlalu keras di atas kertas kalkir. "Dasar cowok aneh!" rutuk Asha pelan, nyaris tak terdengar. "Siapa yang aneh?" tanya Rina, sambil menggunting busa maket. "Ini! Detail slope ini yang aneh! Masalah 0.5 circ doang, ribetnya kayak ngurusin mantan yang nggak mau move on!" Asha sengaja menggunakan metafora itu, sambil menatap kertasnya. Rina langsung tersenyum geli. "Oh, jadi lo lagi ngerutukin Iyan, toh? Bukan slope-nya?" "Diem lo, Rin! Gue bete!" Asha membuang napas kesal. "Dia itu kenapa sih nggak bisa sehari aja nggak godain gue! Udah tahu gue alergi kecoa, malah ditanya lagi, 'Nanti apa lagi? Cicak?' Emang dia pikir gue badut?" Rina menghentikan guntingannya. "Ya, lo emang lucu banget, Sha. Teriakan lo kemaren itu udah kayak teriakan soprano yang butuh tuning ulang." "Lo juga sama aja kayak Bima! Nggak usah bahas teriakan! Ini gara-gara lo kemaren yang lama dateng, gue jadi dimakan idup-idup sama Iyan!" Asha menuding Rina dengan pensil. "Tanggung jawab lo, gue bete!" "Lho, kok gue?" "Ya iyalah! Coba lo dateng cepet, gue nggak akan ngode dari kejauhan. Gue nggak akan jatuh di kamar. Gue nggak akan pelukan sama dia!" Asha berbisik kencang, takut teman-teman studio yang lain mendengar. "Oh, jadi intinya lo nyalahin gue karena lo pelukan sama Iyan?" Rina mengangkat alisnya, mencoba menahan tawa. Asha langsung memerah lagi. "Bukan pelukan! Itu... itu cuma refleks biar nggak jatuh! Dia aja yang sengaja nahan gue biar geer!" Asha meraih note yang Iyan tulis di balik kertas kalkir, membacanya lagi: "P.S: Love your scream. It's cute." "Cih! Sok manis! Cuma dia yang bilang teriakan gue cute. Padahal teriakan gue itu teriakan penderitaan!" Asha menggerutu, lalu ia melipat kertas note itu kecil-kecil, berniat membuangnya. Rina menatap tingkah Asha yang bimbang. "Kenapa nggak lo buang aja, Sha, kalau emang bikin bete?" Asha terdiam, tangannya yang memegang lipatan kertas itu berhenti. "Nggak! Nggak bisa," kata Asha pelan. "Ini... ini kan kertas revisi penting. Gue harus simpen detailnya." Rina hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Alasan, Sha. Lo tuh gengsi banget cuma buat ngakuin kalau lo kangen sama perhatian receh dia," ujar Rina tanpa tedeng aling-aling. "Lo putusin dia karena cyst lo. Bukan karena nggak cinta. Dan sekarang, dia membuktikan kalau masalah cyst lo itu nggak seberat masalah dia kehilangan lo." Asha mendesah lagi, kali ini lebih berat. Ia tahu betul Rina benar. Iyan... gue cuma nggak mau lo repot. "Gue nggak butuh support system dari dia, Rin. Gue anak arsitek, gue kuat. Gue bisa solo career," kata Asha, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tiba-tiba, ponsel Asha berdering. Notifikasi dari grup kosan. > Bima (Kamar 1): ANNOUNCEMENT! Buat semua penghuni kosan, terutama Kamar 8. Siap-siap dengerin alarm baru gue. Cek link Yutub di atas! Iyan, lo harus dengerin juga, ini karya seni! > Asha membuka link itu. Itu adalah video dengan judul: "SOUND EFFECT KECOA TERBANG (SPESIAL DARI AS) - RINGTONE BARU!" Rina yang mengintip, langsung tertawa terbahak-bahak. "Bima gila! Dia bikin ringtone dari teriakan lo semalem, Sha!" Rina tertawa sampai air mata keluar. Asha langsung menutup ponselnya, wajahnya kembali merah padam. Teriakan soprano penderitaannya kini menjadi bahan tertawaan se-kosan, bahkan mungkin se-kampus. "IYAN! BIMA! LO BERDUA TUNGGU AJA DI NERAKA!" Asha berteriak kecil, frustrasi. Meskipun kesal, Asha tak bisa memungkiri, di balik semua keisengan itu, ia merasa diperhatikan. Iyan tidak pernah membiarkannya sendiri, bahkan saat ia berusaha keras menjauh. Ia tahu, Iyan pasti akan melindunginya dari ejekan Bima (meski Bima temannya sendiri). Ting! Ponsel Asha bergetar lagi. Pesan pribadi dari Iyan: > Iyan: Sha, Bima emang nggak punya akhlak. Maaf, gue udah tegur dia. Jangan bete. Jangan lupa revisi fasadnya, 5 menit lagi deadline. Semangat! Kalo masih bete, nanti malem gue transfer mie instan 3 bungkus. 😉 > Asha membaca pesan itu, dan senyum kecil akhirnya muncul di wajahnya. Ia segera menghapus senyum itu, takut Rina melihat. "Dasar cowok Teknik!" Asha merutuk, tapi tangannya kini membalas pesan Iyan. > Asha: Nggak usah 3 bungkus. Cukup satu bungkus aja. Dan jangan ada Bima. > Iyan membalas dalam hitungan detik: > Iyan: Siap laksanakan, Komandan. > Asha kini kembali fokus pada gambarnya. Ia tahu, ia mungkin tidak bisa move on. Dan ia tahu, Iyan juga tidak akan membiarkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD