Part 3.

1329 Words
Zehra meletakkan pensilnya dan kemudian memutar kursi yang sekarang di dudukinya. Ia memandang Marinka yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya dengan ponsel di tangannya. “Kenapa? Kamu takut karena aku gak punya koneksi trus aku bakal nganggur selulus kuliah, begitu?” tanya Zehra dengan senyum dikulum di wajahnya. Marinka mengerutkan dahi. “Semacam itu.” ucapnya datar. “Tapi bukan seperti itu juga.” Lanjutnya ambigu. “Maksud aku, kamu itu susah bergaul sama orang. Sementara dunia kerja nantinya pastinya mengharuskan kita beraul dengan banyak orang. Trus gimana kamu menghadapi itu semua sementara saat ini pun kamu itu tertutup sama orang baru.” Ucapnya menjabarkan kebiasaan Zehra saat ini. Zehra mengedikkan bahu. Sebenarnya bukan dia tidak bisa bergaul. Dia bisa bergaul, hanya saja dia memilih untuk membatasi diri karena baginya bergaul menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar. Ia tidak peduli jika orang lain menyebutnya kutu buku, kuper dan yang lainnya. Yang jelas, dia harus bekerja serius saat ini demi masa depannya juga. “Banyak pekerjaan yang bisa aku lakukan.” Jawabnya seadanya. “Banyak pekerjaan yang memungkinkan buat orang-orang yang ‘tertutup’, kayak aku.” Lanjutnya lagi. “Setelah lulus kuliah, aku bisa melamar ke kantor pajak, melamar jadi staff administrasi atau menjadi akuntan.” “Tapi bagaimana jika pekerjaan yang kamu dapat justru mengharuskanmu berbicara di depan banyak orang? Misalnya kamu kerja di bank tapi kebagian jadi customer service? Apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya lagi ingin tahu. Zehra kembali tersenyum. “Aku bisa melakukannya. Itulah alasan kenapa di tingkat dua nanti aku berniat melamar jadi asisten lab akuntansi. Karena aku berniat mengenal lebih banyak orang dengan caraku tersendiri.” Jawabnya apa adanya. Marinka memicingkan mata dan kemudian tersenyum mengejek. “Dasar matre.” Kekehnya. “Kalo urusannya sama duit aja langsung mau.” Keluhnya. “Aku Cuma realistis, Rin. Kuliah aku meskipun mengandalkan beasiswa tetep aja ada beberapa hal yang harus aku bayar. Kamu enak, butuh apa-apa tinggal begini aja.” Zehra mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke atas sebagai contoh. Hal itu membuat Marinka tertawa dan menganggukkan kepala. “Ada plus minusnya ya hidup jadi kita.” Ucap gadis itu kemudian. “Kamu kerja keras untuk dapat rupiah tapi sebagai gantinya kamu punya keluarga yang selalu ada di samping kamu setiap kamu butuh. Dan aku gak perlu kerja keras untuk urusan duit tapi keluargaku gak ada waktu aku butuh.” Zehra tersenyum mendengar keluhan sahabatnya itu. ya, satu poin yang membuatnya merasa lebih beruntung daripada Marinka adalah keluarganya. Seperti yang gadis itu sebutkan tadi. “Setidaknya, jangan lupa bersyukur. Di luar sana, banyak orang yang gak ada keluarga dan secara ekonomi mereka kekurangan juga. Terima aja apa yang kamu punya saat ini, syukuri, jangan dikeluhkan. Kalo kamu ngeluh terus, nanti Allah ambil apa yang kamu punya saat ini, emang kamu mau?” tanyanya lagi yang membuat Marinka seketika menggelengkan kepala. Zehra kembali memutar kursinya dan kembali berkutat pada pekerjaannya. Ya, seperti yang Marinka katakan, kalau urusannya dengan rupiah, Zehra selalu giat. Seperti halnya saat ini. Dengan sepengetahuan ibunya, dan sekarang diketahui oleh Marinka juga, Zehra sudah memulai karirnya. Bukan karir sungguhan sebenarnya, hanya bekerja sebagai seorang freelancer di sebuah perusahaan penerbitan. Zehra sangat suka membaca novel, dan kemampuan bahasanya bisa dikatakan sangat bagus mengingat hasil ujian TOEFL nya berada di atas rata-rata. Karena itu, saat ia melihat ada lowongan pekerjaan di sebuah iklan online, ia melamar untuk menjadi penerjemah. Beruntungnya, novel pertama yang berhasil ia terjemahkan disambut baik oleh si editor perusahaan penerbitan dan kemudian pekerjaannya berlanjut pada novel-novel lainnya. Dan Zehra tidak menolaknya, apalagi setelah melihat saldo tabungannya bertambah lumayan setiap kali ia selesai menerjemahkan satu cerita. Ibunya terkadang keberatan karena Zehra bisa mengurung dirinya di kamar selama berjam-jam bahkan sampai lupa untuk makan. Tapi melihat Zehra yang menikmati semua itu, ibunya tidak banyak berkata-kata. Ya, ibunya paham bahwa Zehra bekerja untuk meringankan beban keluarga juga. Karena meskipun dia masuk kuliah dengan jalur beasiswa, tidak semua biaya ditanggung oleh beasiswanya tersebut. Zehra masih harus membeli peralatan kuliahnya sendiri dan juga buku-buku modul serta fotocopy bahan materi sendiri. belum lagi adiknya juga memerlukan biaya sekolah yang tidak sedikit. Karena itulah Zehra semakin fokus pada kuliah dan pekerjaannya. Supaya dia bisa menjadi semakin sukses di masa depannya dan bisa membahagiakan serta mencukupi kebutuhan ibu dan adiknya. Zehra ingin di masa tuanya ibunya itu beristirahat dengan nyaman. Setelah ditinggalkan oleh ayahnya lima tahun lalu, Ibunya bekerja keras supaya bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Meskipun punya saudara yang bisa dikatakan berkecukupan, ibunya tidak ingin bergantung pada mereka. Alasannya, karena balas budi itu adalah hal yang harus dibayar dengan harga yang mahal. Dan ibunya tidak mau berhutang budi pada siapapun. Cukup bergantung pada kerja keras sendiri dan sisanya beliau serahkan kepada Allah. Awalnya Zehra juga merasa putus asa saat melihat kondisi ibunya. Seringkali ia merasa tak tega jika ibunya bekerja sendirian untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ia sempat mengatakan pada ibunya bahwa setelah lulus SMA dia akan mencari pekerjaan. Tapi ibunya menolak dan mengatakan bahwa ia ingin cita-citanya dan juga cita-cita mendiang ayahnya dilaksanakan oleh Zehra dan adiknya. Ya, kedua orangtuanya sangan ingin Zehra masuk perguruan tinggi dan memiliki gelar sarjana. Karena dengan demikian, ayahnya berharap kehidupan Zehra bisa lebih baik daripada kedua orangtuanya. Ayahnya dulu hanyalah lulusan STM yang bekerja serabutan. Sementara ibunya hanyalah lulusan SMP. Dan setelah memiliki Zehra, kedua orangtuanya bermimpi kalau anak mereka bisa hidup lebih sukses dibandingkan keduanya. Dan ya, dengan keyakinan dan dorongan yang diberikan oleh ibunya. Zehra akhirnya menyerah juga. Dia belajar dengan lebih giat supaya bisa mengejar niatannya masuk kuliah. Dia memilih menghabiskan waktunya dengan belajar dan mengerjakan tugas orang lain supaya mendapat upah demi menambah saldo tabungannya. Dan Zehra tidak keberatan akan hal itu. Saat teman-teman seusianya memilih untuk bermain-main, dia lebih memilih untuk duduk di depan tumpukan banyak buku. Saat teman-temannya menegadahkan tangan untuk meminta kepada kedua orangtuanya, Zehra lebih memilih untuk bekerja keras membantu ibunya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang memiliki orangtua lengkap. Ibunya dan mendiang ayahnya dulu selalu mengajarkan Zehra dan adiknya untuk hidup apa adanya. Supaya mereka tidak selalu membandingkan hidup mereka dengan mereka yang berlebihan karena dengan begitu, yang akan mereka rasakan adalah iri dan kemudian jika gelap mata mereka akan berubah menjadi serakah dan ingin mendapatkan segala hal dengan cara mudah. Tapi mendiang ayahnya dan juga ibunya selalu mengajarkan Zehra dan adiknya untuk selalu melihat ke bawah. Membandingkan hidup mereka dengan mereka yang lebih kekurangan. Dengan begitu, ayah Zehra berharap bahwa Zehra dan adiknya akan menjadi pribadi yang penuh syukur. “Bukan berarti kita tidak boleh bermimpi. Kita justru diharuskan bermimpi. Bahkan bermimpilah setinggi-tingginya. Karena mimpi itulah yang membuat kita semangat untuk menjalani hari-hari kita kedepannya. Dengan memiliki mimpi, itu berarti kita memiliki tujuan, kita punya sesuatu yang harus kita capai. Kita punya sesuatu yang harus kita kerjakan supaya bisa sampai pada mimpi itu. Tapi ingat, berpatokanlah pada iman. Jangan hanya karena kita punya mimpi yang orang lain tak akan bisa kita capai, lantas untuk membuktikan bahwa kita bisa menjadikannya nyata pada orang-orang yang meremehkan kita, lantas kita mengambil jalan pintas. Seperti halnya, seseorang bermimpi untuk menjadi kaya, dan dia rela menjadi pencuri, koruptor atau penipu hanya untuk tujuannya tercapai. Itu tidak boleh kita contoh. Tapi kejarlah mimpi kita dengan cara yang benar dan halal. Bekerja keras, mencari peluang dan jangan menolak peluang apapun yang datang pada kita selama itu baik, tidak merugikan diri sendiri dan tidak merugikan orang lain. Zehra paham?” itulah perbincangan panjang yang dilakukan Zehra dan sang ayah yang selalu Zehra ingat diantara perbincangan mereka yang lain. Zehra menganggap bahwa ayahnya sudah menganggap Zehra dewasa karena itulah ayahnya memberikan petuah seperti itu. dan untungnya, ayahnya tidak menunda memberikannya petuah, karena beberapa bulan setelah petuah itu diberikan, Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Zehra memandangi lembaran yang kini ada di hadapannya. Lembaran cerita berbahasa asing yang harus diterjemahkannya. Inilah salah satu jalan yang harus ditempuhnya untuk bisa mencapai kebahagiaannya dan keluarganya di masa depan kelak. Dengan senyum di wajahnya, Zehra memilih mengabaikan Marinka dan melanjutkan tulisannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD