3. Teman Sekelas

814 Words
"Lepas Vernand! Lo bau." Reflek yang disebut Vernand itu melepaskan pelukannya dan mulai menciumi ketiaknya sendiri, "baru dari mana? Wangi gini kok! Nih cium nih." Bianca menjauh dengan kecepatan kilat dan menutup hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Sejujurnya ia tak nyaman dengan pandangan orang-orang, mereka menatapnya seperti orang kelaparan, mata melotot dan mulut ternganga. "Ck, Lo merusak pagi gua tau ga? Pergi!" Sarkas Bianca. Dia semakin emosi saat bisikan tak enak mulai terdengar. Oke, cowok itu menyerah ketika melihat tatapan Bianca yang menanam. Sembari mencibir, Vernand pergi dengan angkuhnya. Masih terdengar jelas u*****n-u*****n yang ia lontarkan, suaranya sengaja diperbesar supaya gadis itu bisa dengar. "Dasar cewek galak. Dipeluk cogan bukannya seneng justru marah-marah." Julid. Bianca geleng-geleng kepala saat tau kemana arah Vernand berjalan, berbelok ke bagian selatan. Kantin tentu saja. Tidak peduli, ia lanjut menuju kelasnya, menaiki banyak tangga untuk sampai di lantai dua, kelas 11 IPA 1, tempat para manusia jenius berkumpul. Benar saja, baru juga selangkah memasuki kelas yang tadi disebutnya sebagai neraka, satu manusia aneh langsung datang menerjang begitu saja. Untung Bianca memiliki keseimbangan yang luar biasa, kalau tidak bisa dijamin mereka akan menggelinding keluar kelas. "ECAAA! Ya ampun, Eca! Kangen banget gua sama loo!" Pekik gadis bersurai cokelat sama dengannya, hanya saja gadis ini lebih pekat dan tua. "Berat, Vanesh! Beraat." setengah mati Bianca berusaha melepas pelukan dadakan itu, tapi semakin dilawan justru semakin erat. "Diem! Gua tuh kangen sama lo, babi!" Bianca melotot dan langsung mendorong Vanesha kasar, matanya melotot horor sambil menunjuk-nunjuk wajah sok polos sahabatnya. "Bilang apa lo? Babi? Ulang coba?!" Tapi yang namanya Vanesha bukannya takut justru semakin gencar menjaili sahabatnya ini. Ia tersenyum kecil sebelum menatap lawan lawan bicaranya dari atas sampai bawah, "kenapa? Lo makin gendut, tau? Liat itu pipi, udah kaya babi beranak." "Si anying, sialan lo! Yang ada lo makin jamet! Liat seragam lo sekarang? Jijik benget, iwh." Vanesha melotot marah saat melihat Bianca dengan santai menilai penampilannya dan memberikan tatapan jijik. "Wah kurang ajar! Gua udah nahan kangen sama lo dari minggu lalu, eh malah dikatain begini. Emang dasar babi!" Sarkas Vanesha. Bianca tidak peduli dan kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat duduk dimana ia akan belajar nanti. Tepat di samping jendela yang besarnya tidak main-main. Vanesha menghentak-hentakan kakinya kesal sebelum mengikuti Bianca dan duduk di sebelah gadis itu. "Ngapain lo disini? Pergi, teman sebangku gua bukan lo!" Kesal Bianca. Kembali ia mengingat bagaimana sahabat sehidup sematinya ini dengan tega pindah tempat duduk agar bisa sebangku dengan sang pacar. Apa masih layak disebut sahabat? "Ya elah, Ca. Masih dendam aja lo, udah lama banget itu, lupain. Ga baik loh dendam begitu, dosa." Vanesha menatap Bianca malas sambil mengeluarkan ceramah tak berfaedahnya. Bianca memang biasa dipanggil Anca atau Eca, karena lebih mudah dan terkesan lebih akrab. "Ah, pergi lo! Adik sama kakak sama aja, sama-sama bikin gua naik darah!" Tak mau ambil pusing, Bianca menidurkan kepalanya di atas meja dan menatap keluar jendela, membiarkan angin sejuk menerpa wajah cantiknya. Vanesha menatap Bianca bingung, gadis disebelahnya ini terlihat tidak senang masuk sekolah setelah sekian lama, "kenapa lo? Sensi bener pagi-pagi. Ada masalah ya di rumah?" Bianca menggeleng pelan, kembali menatap keluar. Karena merasa geram dengan jawaban tidak memuaskan itu, Vanesha lebih memilih pergi dari pada emosi berhadapan dengan gadis labil ini. "Kantin, males gua liat lo begini" Bianca diam. Menikmati pemandangan yang tak pernah berubah selama hampir dua tahun ia bersekolah disini. Tapi kenyamanannya kembali terusik mendengar seruan suara berat yang sangat ia hapal siapa pelakunya. "ECA SAYANGKUUU!" Menghela napas pelan, gadis itu menoleh ke samping, melihat satu lagi orang yang mengganggunya sedang berlari kegirangan. Dua orang menyusul dibelakangnya. "Ya ampun, Eca! Lo makin tembem aja buset. Makan mulu ya pas libur?" Nathaniel Edgar Anderson, pria jangkung berkulit tan itu kini duduk di sebelahnya, tempat dimana Vanesha duduk tadi. "Biasalah, namanya juga babi, ya kerjaannya cuma makan." Ledekan dibelakang membuat tiga laki-laki itu terkikik geli. Ardolph Leon memang paling bisa membuat orang tertawa dan emosi disaat bersamaan. Bianca menatap malas kemudian menghela napas kasar, "masih pagi Lo pada udah ganggu aja." "Ya elah, Ca. Lo tuh kenapa pagi-pagi udah ga semangat gini?" Seru yang satu lagi, Frangky Williams. Pria berkebangsaan Inggris itu memiliki kulit putih pucat namun sangat kontras dengan matanya dan rambutnya yang gelap. "Gapapa, malas aja gua balik lagi ke kelas ini. Liat muka kalian aja sudah emosi gua." Ketiga pria itu kembali tertawa. Bagi mereka Bianca Garcia memang sebuah hiburan tersendiri. "Lo tuh harusnya senang, bersyukur karena sekelas sama kumpulan cogan pintar kaya kita. Yakin gua banyak yang iri sama lo dan cewek-cewek di kelas ini." Jawab Franky. Semua cowok di kelas Bianca memang memiliki tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Saking tingginya, lihat. Cowok mana yang dengan bangga memamerkan dirinya pintar padahal selalu dapat peringkat terakhir di kelas? Ya hanya cowok di kelas 11 IPA 1.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD