Kami Sudah Tahu

1494 Words
Hari masih kelabu. Belum bisa dibilang terang walau gerimis tak lagi menyambut kami. Perjalanan dari kantor ke apartemen tempat kami tinggal tidak membutuhkan waktu lama. Apalagi pada jam-jam seperti ini jalanan cukup lengang. Mario menuntunku hingga sampai lantai teratas. Kami memang salah satu penghuni griya tawang pada apartemen ini. “Benaran nggak mau ditemani?” Mario mengecup dahiku setelah memasang selimut. Mbak Tia ikutan panik dan gedebag-gedebug berusaha membantu. Percuma juga aku bilang tidak apa-apa jika Mario akan membuat asisten rumah tangganya memantauku setiap menit. Wanita paruh baya itu merupakan ART dari rumah lamanya. Karena rumah tersebut dijual begitu daddy-nya pindah ke Inggris, Mbak Tia turut ke rumah ini sekarang. Mario tidak mau menempati rumah itu sendirian. Walau kenyataannya sejak sekolah dulu dia lebih sering sendiri. Menurutnya, rumah itu terlalu besar untuk ditinggali seorang diri. “Kamu memangnya nggak ada kerjaan? Aku hanya butuh tidur. Nanti sepulang kamu kerja, pasti sudah baik-baik saja. Dan jangan telpon Mami. Mami pasti ikutan panik. Padahal ini terjadi setiap bulan.” Mario tersenyum. Dia merapikan rambutku yang meriap hingga wajah. Dia mencium bibirku sekilas. “Kalau ada apa-apa kabari.” Aku mengangguk pelan. Mario keluar dari kamar dan memakai jasnya kembali. Aku tahu dia berat meninggalkanku di rumah sendirian. Biasanya dia akan turut libur di hari pertama aku datang bulan. Dia bisa datang ke kantor saat seseorang menghubunginya. Tapi, aku butuh sendiri sekarang. Sejak tadi aku bertanya-tanya, apa Mario tahu kepulangan Jovan? Selama ini kami tidak pernah membahas cowok itu. Sejak pertemuan kami empat tahun lalu, secara tidak sengaja di area pemakaman, saat aku pulang dari makam Mama, seolah membicarakan Jovan adalah sesuatu yang tabu. Entah siapa yang membuat peraturan, yang jelas kami sepakat untuk tidak menyinggung soal Jovan. Kira-kira apa yang akan dia lakukan? Pertama, apa yang akan dia pikirkan mengenai ini? Apa aku harus memberitahunya? Lalu, apa yang akan terjadi kemudian? Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Jika aku bilang tidak terpengaruh, itu bohong. Sampai detik ini dadaku masih berdebar-debar. Aku benci kenyataan ini. Mata Jovan masih sebiru dulu. Biru terang yang indah. Kontur wajahnya tidak banyak berubah, kecuali dia tampak lebih matang. Postur tubuhnya tidak sekurus dulu. Apa dia sudah benar-benar sembuh? Satu kata untuk cowok itu, dia masih memukau. Sama seperti saat dia memainkan gitar dan bernyanyi balonku ada lima dengan suara fals-nya. Bagiku itu memesona. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku segera meraih ponsel. Aku harus meminta pendapat Kala dan Galang. Ya, mereka yang paling tahu. “Non mau makan? Bapak bilang harus memastikan Non Flora makan.” Mbak Tia memegang daun pintu dan membukanya agak lebar. Dia memandangku lekat. Jarak pintu dengan dipanku tidak terlalu jauh. “Belum.” Aku tersenyum. “Saya mau tidur dulu. Barusan minum obat.” Aku menoleh pada nakas. Obat pereda nyeri sama sekali tidak menimbulkan kantuk, tapi aku butuh privasi untuk menghubungi teman-temanku sekarang. Mbak Tia mengangguk dan menutup pintu kembali. Orang pertama yang aku hubungi adalah Kala. Namun, sampai panggilan berakhir, dia tidak menganggkat ponselnya. Pasti Senin yang sibuk di rumah sakit. Sebenarnya Senin selalu sibuk untuk semua orang. Pemilihan waktu datang bulanku memang random sekali. Apa aku harus menghubungi Galang? Bagaimana kalau dia juga sibuk? Seharusnya dia memang sibuk. Tapi, apa salahnya dicoba. Nama Galang muncul di layar ponsel setelah aku memilih dari daftar kontak. Aku menekan tombol panggilan sambil menahan napas. Entah kenapa aku berharap dia tidak mengangkatnya. Sayangnya, langsung terdengar sapaan halo darinya di nada dering ketiga. “Sibuk, nggak?” Aku memandang jam dinding di atas meja kerja Mario. Belum waktunya makan siang. “Nggak. Kenapa? Tumben. Ini hari Senin lho. Busy day. Something happen?” Suara Galang terdengar khawatir. “Gue ....” “Kalian berantem?” Aku mendengkus. Sejak kapan ada ceritanya aku berantem dengan Mario? Bagaimana bisa berantem kalau semua keputusanku selalu disetujui olehnya. Tawa renyah Galang terdengar. “Kenapa? Pertanyaan gue wajar. Menjelang pernikahan itu biasanya diwarnai cekcok.” “Ya, ya, lo lebih berpengalaman dalam hal ini.” Sekali lagi Galang tertawa. “Biasanya lo ngubungin gue kalau ada hal genting. Sudah terpaksa sekali. Kala nggak bisa dihubungi pasti.” “Seperti yang lo bilang. Busy day. Lo hafal bener ya kelakuan gue. Pantas saja bini lo selalu pasang muka garang seperti hendak nelan orang hidup-hidup kalau lihat gue.” Galang tertawa lepas. “Lo masih nggak bisa akur sama Leoni.” Dia terkekeh. “Dia nyerang gue terus. Heran. Apa dia nggak ngerti yang namanya masa lalu? Terus saja dibahas. Kenapa gue, sih? Lo nggak punya mantan lain apa?” Tingkah Leoni memang keterlaluan kalau kami sedang berkumpul. Apa mungkin karena pengaruh dia sedang hamil, ya? Tapi, mantan pacar Galang, kan, bukan cuma aku? “Nggak usah bahas bini gue. Lo kenapa? Kalau bisa marah-marah begini, terus Mario nggak bikin masalah, pasti lagi PMS. Hari pertama, ya? Lo di rumah pasti. Senin pagi bisa-bisanya nelponin gue.” “Gue bisa jatuh cinta sama lo kalau kelakuan lo kayak gini.” Tawa Galang menyembur lagi. “Gue, sih, nggak takut kalau sampai Mario denger kalimat lo barusan. Palingan kita berantem bentar. Masalahnya kalau sampai Oni dengar, wah, bisa dapat punggung sebulan gue.” “Gue mau nanya sesuatu, tapi jangan sampai Mario tahu, ya.” Aku memelankan suara. Padahal aku yakin Mbak Tia tidak sedang mencuri dengar dari balik pintu. “Wah, seru nih kayaknya.” Bilang, nggak, ya? Atau nggak usah? Tapi besok aku akan bertemu Jovan di kantor. Apa aku pura-pura tidak mengenalnya saja? Aku harus menghindari bertemu dengannya secara langsung. Lagipula kami tidak satu lantai. Kantor direktur berada di lantai delapan belas. Aku pun tidak akan melaporkan pekerjaanku kepadanya secara langsung. Ada Mbak Siska yang akan melakukan itu. Aman. Lagipula tidak lama lagi aku akan keluar dari perusahaan. Ya, ini masih bisa dirahasiakan. Aku tidak harus meminta penjelasan dari Jovan, kan? Tidak ada yang tersisa di antara kami berdua, selain kekagetan karena tidak menyangka akan bertemu kembali. Ya, semua sudah berakhir. Kenapa aku merasa sedih? Benarkah aku tidak berhak bertanya kenapa? Kenapa dia kembali? Atau kenapa dia tidak pernah memberiku kabar? Mana yang lebih dulu? Lalu, untuk apa? Sebentar lagi aku akan menikah dengan orang lain. “Flo, lo ketiduran apa gimana, sih?” “Hah?” “Lo tidur?” Aku menarik napas dalam. “Gal, lo pernah berhubungan dengan Jovan?” Hening. Aku bisa mendengar deru napas berat Galang dari seberang. Sepertinya Galang tahu sesuatu. “Lo yakin dengan keputusan lo untuk bersama Mario?” Hah? Tentu saja yakin. Apa yang Galang pikirkan? Memangnya apa yang sudah kami jalani empat tahun ini hanya main-main? “Jawab dulu pertanyaan gue.” “Lo masih berharap pada Jovan, kan?” Suara Galang melemah. Tidak. Bukan itu. Tidak ada yang tersisa antara aku dan Jovan. Itu hanya masa lalu. Sekelumit kisah masa SMA. “Lo ingat sama Jovan menjelang hari pertunangan lo beberapa hari lagi. Wajar, sih. Kadang ada saja yang membuat kita ragu. Lo masih cinta sama Jovan, atau lo hanya merasa berhak mendapatkan penjelasan kenapa dia tidak pernah kembali?” Dia kembali, Gal. Dia ada di sini sekarang. Embusan napas berat Galang membuatku yakin, dia belum tahu soal kepulangan Jovan kali ini. “Gal. Menurut lo, jika dia tiba-tiba dia kembali, apa yang harus gue lakuin?” “Lo mau ninggalin Mario?” “Bukan itu. Gue hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana.” Galang menarik napas lagi. Deru napasnya terdengar sampai di sini. “Nggak usah bikin pengandaian yang membuat lo pusing, deh. Lo kalau lagi mens suka aneh mikirnya. Lagian, dia sudah sukses di sana. Nggak bakalan kembali.” Galang terkekeh. “Lo tahu darimana kalau dia sukses di sana?” “Gue sering ketemu Michelle, Flo. Lo nggak lupa, kan, kalau gue sama Mich punya usaha yang sama. Kami sering bertemu. Memangnya kami mau bahas apa kalau bertemu? Kopi? Bosan.” Kekehan Galang cukup menjelaskan, dia belum tahu kalau Jov telah kembali. “Dia kembali, Gal. Gue bertemu dengannya.” Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat terdengar bunyi gedebuk yang cukup kuat. Apa Galang jatuh? Kalau gelas atau sesuatu di kafenya yang jatuh, pasti suaranya takkan seperti ini. “Sorry, sorry. Gue kaget.” “Lo jatuh?” Kini aku yang tertawa. Ternyata efek kejutnya luar biasa. “Gue kira masih bulan depan. Ternyata lebih cepat.” “Lo tahu kalau dia akan kemari?” “Ya. Michelle, kan, akan melahirkan. Lo tahu, kan, kalau Mich hamil?” Ya, aku tahu. Beberapa kali aku mengunjungi kafe milik kakak Jovan tersebut. Hanya saja kehadiranku selalu ditemani Mario. Kami tidak pernah membahas Jovan sama sekali. “Michelle yang bilang sama lo kalau Jovan akan kemari?” “Bukan. Ehm. Gue boleh bilang ini nggak, sih?” Suara Galang terdengar bingung. “Jadi gini. Selama ini kami masih sering berhubungan dengan Jovan. Kami tahu apa yang dia kerjakan di sana. Jov bilang akan mengunjungi Michelle. Maminya juga akan kemari. Jadi ....” “Kami?” Aku memotong perkataan Galang. “Ya, gue dan Mario.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD