bc

10 Years Apart

book_age16+
258
FOLLOW
1.8K
READ
love-triangle
second chance
friends to lovers
drama
sweet
office/work place
first love
friendship
secrets
slice of life
like
intro-logo
Blurb

10 Years Apart

Kehidupan tenang Flora terguncang saat terjadi pergantian pimpinan di perusahaan tempat dia bekerja. Dia tidak menyangka, orang yang akan menjadi atasannya ternyata Jovan, cowok yang pernah bersamanya saat SMA. Sayangnya saat itu mereka harus berpisah karena Jovan pindah ke Hawaii.

Pernikahan ibu Jovan dengan atlet selancar mengharuskannya ikut pindah ke Negeri Paman Sam tersebut sepuluh tahun silam. Cowok berdarah Jawa-Rusia itu meninggalkan Jakarta dan tidak pernah kembali.

Setelah Flora memiliki pasangan, Jovan kembali dengan cinta yang sama. Akankah Flora mampu menahan diri dari pesona Jovan yang telah dia cintai sejak kecil?

Sekuel dari Play With Me

credit cover : original PicArt

gambar : pixabay

font : phonto

chap-preview
Free preview
Hari Pertama
Genangan air, macet, barisan motor yang berebut minta jalan, pun wajah-wajah lelah dari dalam mobil, menyambut Senin pagi di musim penghujan seperti sekarang menjadi pemandangan lumrah yang harus aku telan sampai beberapa bulan ke depan. Untung saja tidak banjir. Menjelang akhir tahun seperti sekarang, banjir dan Jakarta adalah karib yang tidak terpisahkan. Entah mana yang pantas disebut seru. Air yang tidak berhenti turun dari langit gelap, atau orang-orang yang bergegas mencari uang begitu mata terbuka. Bergelung di bawah selimut nyatanya tak membuat perut kenyang. Apalagi tidak tersisa tenaga setelah semalaman bergulat atas nama cinta. Lucu memang. Kebutuhan perut dan bawah perut seringnya tidak selaras. “Pulang saja, ya?” Kepalaku yang sejak tadi bersandar pada kaca jendela mobil dan menatap orang-orang yang tampak kesal, menoleh pada seseorang yang sedang duduk di belakang kemudi. Tangan kirinya mengusap perutku perlahan. Dia tersenyum. Aku menggeleng. Untuk putar balik rasanya tidak mungkin. Kecuali atap mobil ini memiliki baling-baling sehingga kami bisa naik dan berbalik arah. Pasti akan menyenangkan. Kemacetan ini hanya bisa kami jalani dengan pasrah. Pada saat turun hujan, memang akan semakin parah. “Kamu pucat sekali.” Kini jemarinya menyapu pipiku. Rasanya cukup hangat dan menyenangkan. Begini saja aku sudah merasa lebih baik sekarang. “Setelah rapat, aku akan izin pulang.” Aku berkata pelan. Keram perut dan pinggang panas memang bukan kombinasi yang pas untuk membuka mulut. Rasanya aku ingin menyelinap di bawah selimut dan memejamkan mata. Sayangnya itu tidak mungkin. Hari ini pengganti Pak Chris sebagai pimpinan perusahaan telah tiba. Dia datang langsung dari kantor pusat kami di Kanada. Tidak mungkin aku tidak hadir untuk turut menyambut kehadirannya. Departemen kami akan sering dia datangi bila berurusan dengan klien. Lagipula minggu depan aku akan cuti. Aku tidak mau membuat Mbak Siska marah dengan kealpaanku kali ini. Dia akan mengizinkanku pulang nanti setelah rapat. Dia paham betul akan kondisiku di hari pertama datang bulan. Sialnya, kenapa kali ini datang lebih awal, seharusnya masih tiga atau empat hari lagi berdasarkan siklus yang biasanya. “Kamu terlalu stress. Begitu dapat izin nanti, langsung hubungi aku. Oke?” Aku mengembuskan napas dan mengangguk. Mataku kembali pada jalanan basah dan lembap. Cipatran air dari roda kendaraan yang baru lewat, membuat permukaan mobil seperti dipulas menyerupai polkadot. Terutama mobil dengan warna putih tepat di sebelah kami. Pergerakan lambat sama sekali tidak membawa perubahan berarti. Rasanya sejak tadi kami berhenti di situ saja. Itu kenapa, terlambat datang pada saat hujan selalu mendapatkan pemakluman. “Mami semalam menelpon.” Aku tahu. Hanya saja aku enggan membuka mata. Aku enggan menyapa juga. Mungkin karena sedang PMS. Itu cukup bisa dijadikan kambing hitam. “Penerbangan kita tidak bisa dimajukan memangnya?” Aku tahu dia sedang tertawa tanpa suara. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu itu. Bisa-bisa aku akan menyerah dan mengatakan iya. Pekerjaanku belum selesai. Aku tidak suka meninggalkan sesuatu saat pergi. “Tidak bisa.” Suaraku masih sama, tanpa tenaga. Benar, sepertinya aku stress. Rasanya aku tidak ingin melakukan ini. “Baiklah. Akan aku katakan pada Mami.” Aku mengangguk lagi. Aku benar-benar ingin mengubur diri di kasur sekarang. Bisakah tidak mengajakku diskusi saat begini? Tetesan hujan sudah berubah menjadi rintik. Hanya perasaanku saja atau memang demikian, langit agak terang, tidak terlalu kelabu seperti tadi. Mobil juga mulai berjalan sedikit lancar. Tidak ada lagi kendaraan roda dua yang berebut untuk sampai tujuan. Perlahan jalanan mulai kondusif. Sebenarnya apa hubungan hujan dan macet? Kenapa mereka suka bermesraan? “Segera telpon setelah rapat.” Dia sengaja turun dari mobil dan membukakan pintu untukku. Berlebihan memang. Kalau tidak ingat ini lokasi perkantoran, aku rasa dia takkan keberatan untuk membopongku untuk sampai ke department creative. Memastikan aku sampai dengan selamat, duduk dengan nyaman, dan semua baik-baik saja sebelum dia berangkat ke kantornya sendiri. “Iya. Aku baik-baik saja.” Dia tersenyum dan menarikku dalam pelukan. Kecupan ringan aku dapatkan pada puncak kepala sebelum pintu mobil terdengar menutup. Dia terus berdiri di samping mobilnya sampai aku benar-benar menghilang dari pandangan. “Lo bikin gue ngiri.” Manda mendekatiku setelah mengambil surat-surat dari lobi. Dia tersenyum, lalu mendengkus. “Sudah tanggalnya, ya?” Satu department kami memang paham betul akan masalah bulananku. Aku hanya bisa tersenyum kecut. “Ambil hikmahnya saja. Setidaknya dia datang sebelum kalian terbang.” Manda menarik lenganku saat kami sampai di depan pintu lift yang tak lama kemudian terbuka. “Mbak Siska bakalan marah nggak, sih, kalau gue nggak hadir?” Aku memandang pantulan diri di cermin. Entah apa alasannya pintu lift ini dilapisi cermin. Apa mungkin untuk bisa mengawasi orang-orang yang berdiri di belakang? Wajahku benar-benar pucat. Lipstik warna nude justru memperparah penampilan. Kami memang tidak dituntut tampil memukau, sih. Berbeda dengan client service department. Kami lebih banyak bekerja di belakang layar. Penampilan bukan hal yang harus diperhatikan benar. Otak kami lebih dibutuhkan dalam hal ini. Hanya saja, hari ini kami akan menyambut pimpinan perusahaan. “Kayaknya enggak. Yang penting nongol saja dulu.” Manda menarik lenganku lagi begitu sampai di lantai tujuh belas. Semua orang terlihat sibuk. Berbagai aroma semerbak memenuhi ruangan. Anak AE memang harus cakep, wajar jika dandan adalah kebutuhan, hanya saja, apa ini tidak terlalu berlebihan? “Gue mencium bakalan dipimpin oleh bule yang masih lajang.” Aku mendengkus dan dihadiahi tawa Manda. Kami berjalan lurus ke department kami yang berada di belakang. “Bule dan lajang memang kombinasi paling diminati belakangan ini. Terutama pimpinan perusahaan. Walau hanya sebatas direktur pelaksana, itu tetap menggoda iman.” Manda terkekeh. Aku tahu benar dia sedang menyindirku. “Kami sudah saling kenal sejak SMA, Manda. Jauh sebelum dia menjadi pimpinan perusahaan.” Rasanya capek sekali harus menjelaskan ini. Sudah berkali-kali, dan mereka suka sekali meledekku. Apalagi menjelang hari pertunangan begini. “Lo beruntung.” Manda nyengir. Kami memang seumuran, dan bernasib sama, belum menikah. Itu kenapa kami berdua lebih akrab daripada teman satu divisi lain, yang rata-rata sudah berkeluarga. Bedanya, Manda akan selalu dikejar mengenai pernikahan oleh keluarganya, sedangkan aku dibebaskan. Papa bahkan kaget saat aku bilang akan bertunangan. Aku tidak melihat dia bahagia mendengar kabar itu. Dia benar-benar kaget. Berbeda dengan Mami yang langsung menjerit. Mami sangat antusias. Dia bahkan bersedia repot terbang ke Yunani untuk membahas masalah ini. Berlebihan. “Hari pertama?” Mbak Siska bersedekap di depan pintu kantornya. Dia memandangku sambil geleng-geleng. “Duduk saja, nggak usah ikut.” Aku tersenyum dan segera menuju mejaku. Manda turut tersenyum dan menyerahkan surat-surat untuk department kami kepada Mbak Siska. Creative director kami itu terlihat menawan pagi ini. Bukan berarti dia jelek. Dalam momen-momen tertentu saja Mbak Siska dandan. Dia akan makeover habis-habisan jika bertemu dengan klien penting. Apa mungkin kami dapat klien kelas kakap lagi? “Flora cuti, bau-baunya bakal ada kerjaan bagus, nih.” Manda menyimpan tasnya ke meja. Dia juga akan ikut pertemuan. Ruang meeting berada di lantai kami. Klien akan berkunjung ke lantai ini jika sedang melakukan peninjauan sebelum terjadi kesepakatan. Mereka akan bertemu dengan account executive untuk menyampaikan kemauan mereka. Kebetulan lantai kami terbagi menjadi dua department. Bagian depan dipenuhi anak AE yang good looking. Memang itu tugas mereka sebagai garda terdepan perusahaan. Sedangkan bagian creative yang tidak terlihat memang cocok berkantor di belakang. “Berkah pernikahan.” Aku terkikik melihat muka sewot Mbak Siska. Dia agak sensitif jika membahas soal tersebut. Sama seperti aku dan Manda, dia juga belum menikah. Mereka bergegas meninggalkanku. Manda nyengir saat melewati mejaku. Suasana mendadak hening. Deru mesin AC menjadi teman yang tidak menyenangkan pagi ini. Udaranya menjadi terlalu dingin saat tidak ada orang seperti ini. Aku menggunakan kedua lengan sebagai tumpuan kepalaku di atas meja. Tidak lama lagi Mbak Siska akan kembali dan aku akan izin pulang. Tidak lama. Aku berkata pada diri sendiri. Aku butuh istirahat. Kombinasi stress dan banyak kerjaan memang tidak bagus untuk menyambut hari bahagia. Mereka menyebut itu hari bahagia. Menemukan pasangan hidup yang kalau bisa untuk selamanya. Semua orang menganggapku beruntung. Aku ingin percaya itu. Aku memang beruntung. Memangnya apa yang salah? Aku memiliki seorang kekasih yang begitu baik dan perhatian. Dari segi tampang, dia cukup tampan. Ras kaukasian memang tidak mengecewakan. Belum lagi darah Yunani yang mengalir ke tubuhnya. Pahatan wajah para dewa dari mitologi Yunani memang sangat menawan. Setidaknya itu yang aku baca dari buku. Aku belum pernah datang ke negara itu, minggu depan akan menjadi yang pertama. Kaya? Jelas. Dia sudah cukup kaya tanpa melakukan apa-apa. Sebagai anak tunggal dari seorang CEO, dia sekarang menjabat sebagai pimpinan perusahaan, walau seperti yang dibilang Manda, hanya direktur pelaksana, itu juga lebih dari cukup buatku. Namun, kenapa aku merasa tidak bahagia. Lebih tepatnya, kenapa aku sama sekali tidak antusias menyambut ini? Aku justru merasa lelah. Apa ini salah? Tidak ada yang salah. Aku hanya terlalu lelah. Ya, aku lelah. “Dia sakit.” Aku mendengar suara Mbak Siska. Kenapa aku tidak mendengar derap kaki? Namun, udara menjadi tidak terlalu dingin sekarang. “Dia sakit dan bekerja?” Apa aku sedang bermimpi? Aku tidak tidur. Mataku terbuka di antara lengan. Aku benar-benar mendengar suara itu. Aku mengenal suara itu. “Dia akan pulang sebentar lagi.” “Seharusnya dia tidak usah datang kalau sakit.” Aku mengenal suara ini. Perlahan aku menarik napas. Dadaku menghentak. Aku lupa kalau perutku sakit serta pinggangku panas. Aku lebih mengkhawatirkan apa yang akan aku lihat saat mendongak. Tapi, aku memang ingin memastikan bahwa ini suaranya. Aku tidak sedang bermimpi. Perlahan aku mengangkat kepala. Dia berdiri di depanku. Hanya terpisah tiga langkah dari meja. Mata kami bertemu. Tenyata anak-anak dari department kami lengkap berada di belakangnya. Mbak Siska berdiri paling dekat dengannya. “Dia akan selalu seperti jika ....” Mbak Siska terlihat bingung. Sepertinya dia akan mencari padanan kata yang tepat. “Datang bulan.” Dia berkata pelan. Entah kenapa aku melihat kesedihan dari sepasang matanya yang terus menatapku. Dia benaran di sini. Begitu nyata di depanku. Ponselku menjerit dan aku segera mengangkatnya. Tidak peduli jika dia adalah direktur kami sekarang. Aku butuh pengalihan. “Sudah izin?” Suara di seberang terdengar panik. “Mbak, saya boleh izin pulang?” Aku masih menempelkan ponsel ke telinga. Mataku menatap Mbak Siska. “Tunangan kamu?” Mbak Siska memandang ponselku. Entah kenapa aku berat sekali hendak mengangguk. Aku tidak berani menoleh pada seseorang yang aku rasa terus mengulitiku dengan matanya. “Dia di bawah?” Mbak Siska bertanya lagi. Aku tidak tahu. “Mar, kamu di bawah?” “Ya.” “Oke, aku turun.” Aku segera menyimpan ponselku ke dalam tas. “Dia di bawah, Mbak.” “Bisa turun sendiri?” Mbak Siska terlihat khawatir. “Biar saya antar Flora, Mbak.” Manda langsung mendekat padaku. “Pak Jovan, mari kita lanjutkan.” Mbak Siska langsung tersenyum manis pada Jovan. “Mario?” Aku bisa mendengar dia bergumam. Pelan. Tapi, aku benar-benar melihat gerakan bibirnya. Lalu, dia berbalik mengikuti langkah kaki Mbak Siska, diikuti staf lain. ***  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook