2. Pertikaian Rasa√

1720 Words
Jeza menghela napas berkali-kali. Dia sudah terlalu pusing dengan apa yang akan terjadi ke depannya. Bertanggung jawab lalu menikahi orang yang sama sekali tidak ia kenal. Bahkan ia juga tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara dirinya dan perempuan bernama Seira itu. Yang ia ingat hanya kesedihan mendalam karena kekasihnya melepasnya tanpa penjelasan yang pasti apa salahnya. Fase kebosanan? Jeza ingin tertawa mengingat itu. Tawa yang sangat menyedihkan! Entah dasar apa Tuhan mempermainkan hatinya sebegitu kejamnya. Jeza mencintai Kayla dan itu sangat tulus lalu kenapa ia mendapatkan balasan mengerikan seperti ini? Bisakah seseorang mengatakan kepadanya kenapa? Jika memang ia tidak pantas mendapatkan perempuan itu, kenapa ia harus dipertemukan? Jeza ingin meneriaki dunia yang terus saja menjebaknya terlalu dalam. Siapa pun, tolong dirinya saat ini! Ia mencintai Kayla! Ia tidak ingin menikahi Seira! Namun, dunia berkata lain. Tanggung jawab harus ia penuhi bukan? Atau ... ia akan kehilangan segalanya. “Ah, sial!” menjambak rambutnya sendiri! “Kenapa harus menyakitkan ini akhirnya?” Terus bermonolog. Berharap Tuhan mendengar rasa sesaknya lalu jalan keluar ada di depan mata. Bagaimana ia hidup dengan orang lain yang tidak ia cintai? Namun, apa lagi yang ia harapkan dari seorang Kayla? Tolong katakan padanya! “Kayla! Aku menginginkanmu!” Air matanya jatuh. Bagaimana bisa ia menangis? Bukankah seorang lelaki harus kuat? Tidak! Ia lemah lantaran cintanya pergi mengkhianatinya. Sakit! Teriris bagai sembilu! Mungkin lama kelamaan akan membusuk! Apa Tuhan adil saat ini padanya? “Jeza! Kamu tidak akan mengubah keputusanmu, kan?” Fara duduk di samping Jeza yang sedang gundah gulana dengan perasaannya sendiri. Jeza menengadah. “Ma, aku–“ “Tidak boleh melepas tanggung jawab, Jeza,” potong Fara. Jeza menghela napas. “Ma, bisakah kita berhenti membahas ini dulu?” Jeza memohon. Otaknya terlalu kacau untuk membahas hal yang seberat ini. “Mama hanya tidak ingin kamu terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, Jez.” Fara memperingati anaknya itu lagi. Jeza kembali menghela napas. “Ma, tolong!” Fara mengangguk. “Baiklah. Mama akan diam!” Menghela napas. “Kita tunggu gadis itu bangun dan semua akan jelas pada akhirnya.” Fara meninggalkan Jeza sendiri! Jeza menatap punggung sang mama lalu mengacak rambutnya kuat. Kemudian menjambak hingga rasanya akan mau rontok. “Aaaa!” Ia berteriak tanpa peduli pada apa pun. Tuhan sudah menetapkan takdir yang kejam padanya. Astaga! Haruskah ia lari dari tanggung jawab itu? Apa ia bisa? Entahlah! Dunia terlalu mengikat kakinya saat ini! Kejam dan kejam! **** Mata indah milik Seira mengerjap berkali-kali lantaran bias cahaya dari lampu menerpa tepat di matanya. Hal yang pertama ia rasakan adalah Asing. Namun detik berikutnya, ia menangis dalam diam. Kejadian yang menimpanya tadi malam melayang-layang di pikirannya, menusuk tajam di ulu hati. Penyesalan telah menggerogoti dirinya. Bagaimana bisa niat baiknya berakhir menjadi malapetaka? Seandainya ia tahu jika menolong lelaki mabuk itu akan mendatangkan bahaya untuk dirinya, sudah pasti ia akan membiarkan tergelatak begitu saja. Apa karena ia terlalu baik? Namun, semua harus Seira telan bulat meskipun pahit. Kesuciannya telah direnggut paksa oleh lelaki asing yang tanpa iba. Bahkan tidak peduli dengan jeritannya yang memohon untuk dilepas! Lelaki itu seperti menutup telinganya rapat-rapat. Dunianya hancur dalam satu petikan jari! “Hei.” Sapaan yang terdengar. Seira menoleh pada perempuan cantik yang berdiri di dekat jendela. Seira diam. Tidak ada niat menyahut sama sekali. Sebaliknya, keningnya mengernyit karena terlalu bingung pada situasi. Siapa perempuan itu? Pertanyaan itu melayang di pikiran Seira. “Selamat sore.” Kinan mendekat. Senyumnya mengembang menandakan bahwa ia merupakan seseorang yang ramah dan bersahaja. Dan Seira masih belum mengeluarkan satu kata pun. Hanya deru napas yang tak beraturan bersamaan isak tangis yang tertahan. “Bagaimana keadaan lo?” Suara Kinan benar-benar merdu. Seira menghapus air matanya kasar. Pertanyaan itu seperti kalimat yang mengejek buat Siera. Ia mengepalkan jari-jarinya, mengeraskan rahang, mencoba menahan amarah yang ingin meledak. Jawaban apa yang dibutuhkan oleh perempuan asing di depannya itu? Siera menyibak selimut menampakkan kemeja putih kebesaran yang ia yakini perempuan itu yang memakaikannya. Lalu melirik ke pergelangan tangan yang sudah terbalut perban. “Tidak apa-apa, hanya luka ringan. Dokter Alea sudah mengobati dengan sempurna.” Seira belum mau mengeluarkan suaranya. Ia hanya mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. “Ada apa?” “Pakaianku?” tanya Seira pelan. Ia bingung karena tak menemukan pakaiannya sama sekali di kamar itu. Kinan tersenyum. “Nama gue Kinan.” Memperkenalkan diri. “Dan ... soal pakaian lo, em ... sudah tak layak pakai. Si berengs3k itu mengoyaknya tanpa perasaan. Tapi tenang saja, tante Fara sudah memesan pakaian buat lo dan dijamin bakalan lo suka,” jelas Kinan panjang lebar. Seira hendak membuka mulutnya, tapi terjeda lantaran suara pintu kamar terbuka terdengar di rungu. Dua orang berbeda jenis kelΔmin masuk ke dalam. Manik mata Seira menajam saat menyadari satu dari dua orang itu adalah lelaki yang ia tolong tadi malam dan merenggut kesuciannya. “Aku mau pulang.” Siera menyibak selimut, hendak turun dari ranjang. “Kita bicara dulu sebelum kamu pulang.” Fara menahan tangan Seira. Mengelus pipi sembab itu penuh sayang. Lalu meletakkan paper bag ke pangkuan Seira. “Soal apa?” tanya Seira pelan. Ia mencoba untuk tidak menangis lagi meskipun dadanya terasa sakit. Fara menatap Jeza yang berdiri di dekat lemari. Dengan menggunakan isyarat menyuruh Jeza mendekat. Jeza mendekat meskipun dengan pangkah sangat berat. “Soal apa yang dilakukan anak bod0h ini.” Fara menjewer telinga Jeza, membuat lelaki itu mengaduh sakit. Seira tidak bergeming. Sejurus air mata yang ia tahan sejak tadi, kembali merembes keluar. “Tante sudah memikirkan semuanya. Kalian harus menikah.” Seira menatap Fara lalu mengalihkan pandangannya ke Jeza yang tengah mengembuskan napas kasar. Seira tahu, lelaki itu sangat berat untuk menanggung ulahnya sendiri. “Sebaiknya kalian bicara dulu. Tante dan Kinan akan menunggu di luar.” Fara mengelus rambut Seira. Lalu mengkode Kinan untuk mengikutinya keluar dari kamar. Kesunyian tercipta setelah Fara dan Kinan keluar. Jeza terlalu enggan untuk memulai bicara. Keduanya masih terdiam dan cukup lama. Hingga pada akhirnya bunyi ponsel Jeza mencairkan suasana. Jeza merogoh saku celana dan memeriksa pesan yang masuk. Wajahnya kesal lantaran pesan itu dari operator untuk segera mengisi pulsa. Orang kaya emang aneh terkadang. Jeza memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Berdehem sesaat sebelum memfokuskan pandangannya pada Seira yang masih berada di atas ranjang. “Maaf, aku ... maksudnya, kita harus menyelesaikan masalah ini. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan ke kamu. Meskipun hati ini terlalu berat untuk menjalaninya.” Seira yang awalnya menunduk kini mengalihkan netranya pada Jeza. Ada guratan kesedihan mendalam yang ditampakkan oleh wajah cantik itu. “Demi Tuhan, aku tidak tahu kamu itu siapa? Kenapa kita bisa berakhir tidur seranjang? Aku juga tidak tahu permainan apa yang sedang kamu mainkan?” Seira menggigit bibirnya. Kalimat Jeza seolah menuduhnya memiliki motif terselubung. Orang kaya yang menyebalkan! “Maksud kamu?” Seira mengharapkan jawaban yang jelas. “Bisa saja kamu itu pelΔcur yang sedang mencari mangsa.” Seira menyibak selimut. Mendekat pada Jeza lalu melayangkan sebuah tamparan ke wajah tampan itu. Jeza melotot tajam. “Apa yang kamu lakukan?” “Jaga mulutmu. Demi Tuhan, aku menyesal menolongmu tadi malam. Seandainya aku tahu akan berakhir seperti ini, aku lebih baik memilih meninggalkanmu, membiarkanmu mati!” Seira menunjuk wajah Jeza. Amarahnya tertahan! “Apa orang kaya selalu sama? Memiliki mulut kotor tanpa berpikir!” “Yak! Kamu bicara apa?” “Tenang saja, aku tidak akan menuntut apa pun dari kamu dan keluargamu. Semisalnya aku hamil pun, aku akan menggugurkannya. Jadi, kamu tidak perlu menikahi pelΔcur sepertiku.” Seira keluar dari kamar, meninggalkan Jeza begitu saja. Ia tidak akan menikah dengan lelaki sombong dan berengs3k seperti Jeza. Tidak akan ia biarkan dirinya terperangkap dalam lingkaran hitam yang mungkin akan membunuhnya suatu saat nanti. Memutuskan pergi adalah hal terbaik. “Sial! Bukan ini yang aku mau.” Mengejar Seira sebelum sang mama mengambil alih. “Jeza, ada apa?” Fara yang baru datang dari dapur menghentikan langkah Jeza yang terburu-buru. Jeza melirik Fara sesaat. “Dia pergi.” “Siapa?” tanya Fara lagi. “PelΔcur itu!” Jeza berlari keluar, tanpa peduli dengan mimik sang mama yang berubah. **** Jeza menghela napas, sudah terlalu lelah mencari Siera tapi tak ia temukan jejak sama sekali. Apa perempuan itu memiliki ilmu menghilang hingga begitu cepat tak terlihat. “Sial! Apa yang harus aku lakukan jika begini?” Frustrasi menghiasi wajah Jeza. Ia menarik rambutnya kuat kemudian berteriak keras. “Aaaa!!” Tidak ada pilihan lain selain kembali ke rumahnya. Menyiapkan mental dan telinga, karena ia yakin, setelah kakinya mendarat di pintu, omelan akan mondar-mandir keluar masuk ke telinganya. Dan benar saja, saat tiba di rumah, Fara serta Kinan sudah menunggu. Bersedekap dengan mimik datar. “Di mana Seira?” Fara menghalangi jalan Jeza yang hendak masuk ke dalam rumah. Jeza tidak menyahut. Ia mendorong pelan tubuh sang mama agar ia bisa lewat. “Jeza!” hardik Fara. “Dasar berengs3k!” Kinan menambahkan. “Bisa diam?” Jeza menatap Kinan geram. Otaknya sedang kacau dan sepertinya sepupunya itu sengaja memanaskan suasana. Kinan menaikkan sudut bibirnya. “Kenapa lo marah? Seharusnya lo sedih, karena setelah ini lo bakalan dalam masalah besar.” “Gue tahu.” Jeza menghela napas. Menoleh pada sang Mama yang hanya diam. Namun, Jeza tahu, sorot mata itu menunjukkan kekecewaan mendalam padanya. **** Seira memasuk ke dalam flat, menuju kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Air mata lagi-lagi bermain di sana, menciptakan sejuta kenangan perih yang mendalam. Entah kenapa Tuhan sangat senang menakdirkan kepedihan di hidupnya? Sering kali Seira mengutuk takdir yang memenjarakannya pada kenangan buruk. Bahkan terkadang menyalahkan nasib yang selalu berakhir mengenaskan. Namun, sepertinya tak ada jalan lain selain menelusuri, membiarkan aliran itu mengalir sampai ke ulu hati. “Sial!” Seira membanting gayung ke lantai. Sejurus ia merosot dan duduk di lantai dingin. Memeluk lututnya dan menangis dalam diam. Pikirannya kini bercabang, saat bayangan lelaki tampan nan rupawan terlintas di netranya. “Brian,” cicitnya di sela tangis. Ada banyak hal yang disembunyikan dalam hati oleh Seira, termasuk rahasia terdalam yang tidak layak untuk ia ceritakan terlalu cepat pada orang lain. Yang jelas, hatinya terluka pada banyak hal, termasuk saat dirinya berada di kamar lelaki yang asing dalam keadaan telanjang. **** “Jika air mata adalah wadah untuk menampung rindu dan bahagia, maka aku akan ikhlas menangis tiap waktu.” - Seira Cantika  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD