Bab 217 :"Pertemuan Dua Dunia."

2070 Words
"Ma khazalkia!" seru para Elite sekali lagi. Seseorang diantara mereka mendekati seorang gadis, menyentuh dagunya, dan tersenyum. Mereka mengolok-olok dalam bahasa mereka sambil memperlihtkan gestur yang seperti mengatakan bahwa mereka, dan seluruh gadis di Luciferia lebih baik daripada gadis-gadis di Populo Dei. Sang gadis Populo Dei yang dipegang dagunya itu tertunduk sedih dan merasa malu. Sekali lagi, para Elite tertawa lebih keras. Tak berapa lama, beberapa petinggi kaum Elite, Para Gamalilel, datang. Mereka adalah sekelompok orang bersetelan hitam dan bersepan. Mereka berjalan dengan terhormat melewati jalan sempit diantara para prajurit Old Sammur dan Tabliq Suci. Para The Great Salem melongok melihat keberadaan mereka dan seketika terkejut. Gong dibunyikan bertalu-talu. Para prajurit siap siaga. Teriakan hormat menggaung ke segala penjuru. Seluruh Elite meletakkan telapak tangannya di pelipis mata sementara Tabliq Suci hanya keheranan memperhatikan. Lalu terdengar bunyi keras seperti dorongan benda berat. Izebel menoleh dan melihat, disanalah, di ujung garis batas, tembok filemon berdiri dan secara elektromagnetik bergerak menyusuri ujung batas Populo Dei. Dan waktu berhenti berdetak. *** "Wahai Tabliq Suci! Oh Tabliq Suci!" seseorang berseru, seorang lelaki diantara para Gamaliel. Ia yang berdiri menonjol di hadapan Tabliq Suci. Ia melihat ke sekeliling dan tersenyum cerah. Ia berbisik kepada salah satu prajurit yang berjaga kemudian mereka tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu dengan riang gembira ia menyapa lagi dalam bahasa bersama negara-negara di Tanah Aristarkhus, bahasa Aritarki. "Ali, demikian kalian bisa panggil namaku. Ali Eufrat, tapi eh... baiklah, tidak penting memperkenalkan siapa aku," lelaki itu kikuk sendiri. Permata birunya menyusuri sekeliling dan kerumunan para Tabliq Suci. Ia menarik napas. Hening. Pepohonan hijau bergoyang membawa rindang. Siang itu sejuk oleh angin yang berkesiut sekaligus buram oleh debu-debu yang bertebaran. "Pikirkanlah bahwa hari ini tidak akan pernah muncul kembali!" sahut Ali, setelah beberapa lama. Ia mengantongi tangan kanannya. "Pikirkanlah bahwa apa yang kalian putuskan hari ini akan mengubah hidup kalian selamanya. Yah, terkadang kehidupan seribu tahun tidak ada gunanya lagi ketika satu hari datang dan mengubah keseribu tahun hidupmu." Ali mengeluarkan kembali tangannya. Setelah itu, ia mengayunkan jemari ke udara. Sesaat kemudian muncul layar transparan yang lebar dan besar. "Sesungguhnya kami, kaum Elite, adalah kaum yang paling baik hati di tanah Aristarkhus. Bayangkan saja, kaum manalagi yang pernah terang-terangan merangkul kaum lain dan mengajak untuk bersama-sama membangun peradaban yang sangat tinggi hingga....ya, peradaban tinggi hingga Tuhan sendiri tak mampu mencapainya." Ali Eufrat menyentuh layar transparan yang menggantung di udara. Sesaat kemudian, terlihat dari layar itu, sosok Raja Arphakshad ke-13 tengah duduk dengan latar belakang dari segalanya adalah dinding berwarna silver lengkap dengan segala tombol-tombol otomatis. Semua Tabliq Suci tercengang. Ali membungkuk dan dengan segala hormat, ia mempersilahkan sang raja berbicara. "Hai, sahabatku!" seru Raja Arphakshad ke-13. Ia tersenyum dengan amat-sangat manis. Para gadis terkesiap. Mereka cepat-cepat menundukkan pandangannya serendah mungkin. "Hai, Tabliq Suci!" kata Raja Arphakshad ke-13 lagi. "Hei jangan tertunduk begitu, aku tidak sedang membuat siapapun malu dan aku tidak pernah mencoba untuk melakukannya haha," Ia tertawa renyah. "Senang bertemu dengan kalian. Sungguh, aku sangat senang akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan kalian. Aku..ehm...yah, ini adalah momen luar biasa!" Raja Arphakshad tersenyum lagi, sama sekali dalam wajahnya tidak menyiratkan raut kekuasaan ataupun permusuhan. Ia berbicara tidak seperti antara lawan dengan musuh, atau raja dengan rakyat, tetapi lebih seperti teman dengan teman, dan kerabat dengan keluarga. Ia memperhatikan para Tabliq Suci dan berdecak kagum sendiri dalam bahasa Old Sammur. Ia menyenderkan bahunya ke kursi metalik dan meletakkan telunjuknya di dagu, seolah tampak berpikir keras. Seorang pelayan, di seberang layar sana, menyuguhkan segelas anggur untuk Raja Arphakshad ke-13. Pria itu menerimanya, tapi dengan menjentikkan jari ia memberikan bergelas-gelas anggur kepada seluruh orang yang berkumpul. Gelas-gelas piala keluar dari layar dan melayang sendiri, botol anggur menuang sendiri, dan dengan sendirinya juga menawarkan diri kepada tiap-tiap wanita berkerudung dan para lelaki bertunik. "Demi ribuan tahun berdirinya kerajaan kita, mari kita bersulang!" kata Raja Arphakshad ke-13. "Siapapun yang menerima anggur dari sang musuh, maka ia bukan lagi termasuk golongan orang-orang Tabliq Suci!" potong Yefta, salah satu Salem. Ia menghentak geram dengan tongkatnya dan menebarkan debu-debu. "Janganlah kamu menerima mereka dengan tangan terbuka, betapapun nikmatnya," tandas Salem Eliezer, mengutip dari ayat Habel. Para Tabliq Suci tertunduk enggan menerima kenikmatan anggur tersebut. Maka anggur di gelas-gelas tumpah dan gelas-gelas pecah di tanah. Raja Arphakshad menarik napas. "Propaganda yang apik sekali, tuan-tuan. Apakah Tuhan begitu curiganya hingga tidak memperbolehkan hamba-Nya meminum anggur dari para sahabat yang baik hati ini? Hmm?" Para Elite tersenyum mengejek. Mereka meminum anggur dan bertepuk tangan untuk diri mereka sendiri. ***** "Apakah masalah kalian semua, terutama engkau Arphakshad, hingga membuat semua ini?" Salem Eliezer merentangkan tangannya menunjukkan semua kekacauan. Ia bergerak maju mendekati layar dimana sosok Arphakshad berada. "Sejak beribu-ribu tahun kita hidup bertetangga. Kau dengan kerajaanmu. Kami dengan tanah air kami sendiri. Kau dengan kepercayaanmu. Kami dengan apa yang kami percayai. Sejak beribu-ribu tahun hal ini berlangsung, lalu mengapakah tiba-tiba kami harus mempercayai apa yang kau dan bangsamu percayai? Tabliq Suci tidak pernah sedikit pun mengganggu kehidupan para Elite, bahkan memaksa para Elite untuk masuk ke dalam agama Tabliq Suci. Tapi mengapa sekarang kalian mengancam akan memblokade kami? Hanya karena kami tidak sepaham dengan kalian? Apakah sekarang kalian berusaha untuk menjadi Tuhan baru bagi kami?" Raja Arphakshad tertawa. "Pertanyaan yang bagus, Salem. Bagus sekali. Mengapa kami tiba-tiba mengancam kalian jika kalian tidak mengikuti ajaran dan aturan kami? Hmmm...jawabnya simpel saja; karena kami adalah bangsa paling beradab diantara bangsa yang lain di tanah Aristarkhus ini. Dan sebagai bangsa yang beradab..." "Dari mana kalian bisa menyebut diri kalian bangsa beradab?" serobot Salem Eliezer. "Kalian, para Elite, dan para Gamaliel, dan juga kau, Arphakshad, dengarlah, tidak ada satu pun bangsa di tanah Aristarkhus yang mengiyakan kalian sebagai bangsa superior." "Maaf sekali, Salem. Namun janganlah engkau memotong ucapanku karena hal itu sangat tidak sopan dan bukankah pemotongan ucapan itu sudah menjadi bukti dimana tingkat adab dan budi kalian, Salem yang mulia?" Raja Arphakshad mengulum senyum. "Kami, para Elite, mencoba berbaik hati untuk menolong kalian. Kami, para Elite yang santun, pengasih dan penyayang ini, begitu sedih melihat Tabliq Suci harus hidup diantara hutan-hutan dan kesulitan alam, pun kami tidak tega melihat Tabliq Suci harus berlindung hanya dengan pakaian berbahan karung gandum yang bau dan koyak, dan tidak hanya itu, Salem yang saya hormati, lihatlah kalian, lihat negeri tercinta kalian, apakah yang kalian dapat setelah beribu-ribu tahun menyembah Tuhan? Apakah kemajuan yang kalian dapatkan? Ribuan tahun kalian hidup dibawah nama Tuhan yang setiap hari kalian puja dan puji, tapi yang hanya Dia lakukan hanya membiarkan kalian hidup dalam kebodohan dan kemiskinan tanpa sedikitpun memberikan tanda-tanda kehadiran-Nya, bahkan tidak sedikitpun memberi kalian maruah dan berkah. Dan kalian masih mau menyembah-Nya?" "Wahai Raja Arphakshad," Salem Yosafat berbicara. "Dengan segala hormat, saya harus mengatakan bahwa engkau belum tahu kehidupan kami sebenarnya. Engkau hanya melihat Tabliq Suci dari pakaian dan membandingkannya dengan kecanggihan-kecanggihan teknologimu. Akan tetapi kau tidak memahami makna kehidupan itu sendiri. Apakah engkau mengerti arti hidup bagi Tabliq Suci dan harga dari meyakini suatu agama? Darimana kau dapat mengetahui bahwa Tuhan tidak memberkati kami ketika kau sendiri tidak termasuk di dalam bagiannya? Ya, kami memuja Tuhan dan ada masalah apa kau dengan semua itu? Kami hidup untuk beribadah dan menekan nafsu dunia. Wahai Raja yang mulia, biarlah kami hidup dalam balutan keimanan yang akan membebaskan kami dari sifat-sifat buruk dan keji. Bawalah teknologi-teknologi canggihmu, hantarkan itu semua ke laut, kami tidak membutuhkannya dan kami tidak perlu ditolong!" Dengan bersahaja, Raja Arphakshad menjawab, "Kalian berpikir kami tidak mengetahui harga sebenarnya dari suatu agama hmm? Agama...adalah omong kosong paling gila sepanjang sejarah umat manusia. Pikirkanlah, agama menyakini kalian bahwa ada Tuhan, sesuatu yang tak terlihat...tinggal di atas langit. Si Tuhan ini memiliki kekuatan super untuk mengawasi apapun yang kalian lakukan setiap hari, setiap saat, setiap detik. Dan si Tuhan ini juga punya daftar apa-apa saja yang harus dipatuhi dan apa-apa saja yang harus dijauhi. Dan jika kalian melanggarnya...Dia akan mengirim kalian ke tempat yang sangat-amat spesial, dan Dia akan membuang kalian ke dalam nyala api yang begitu panas, kemudian Dia akan membakar kalian, menyiksa kalian dan membuat kalian menderita dan membuat kalian hangus dan membuat kalian berteriak kesakitan sampai selama-lamanya. Tapi Dia berkata Dia mencintai kalian Oh Dia Maha Pengasih dan sangat menyayangi umat-Nya. Dia mencintai kalian? Ya, Dia mencintai kalian dan Dia butuh uang!" Diam. "Atau katakan begini," Raja Arphakshad melanjutkan. "Si Tuhan ini, Dia punya kuasa untuk menciptakan, menghancurkan, dan mengatur segalanya dari segalanya. Dan jika Tuhan memiliki kuasa untuk apa yang Dia berikan dan apa yang akan terjadi pada akhirnya, mengapa kalian masih berdoa dan mengira doa kalian akan mengubah semua itu?" "Begini, Raja Old Sammur yang luar biasa pintarnya!" celetuk salah seorang Salem. "Dari ungkapan-ungkapan engkau, terlihat bahwa engkau kurang paham dengan konsep Tuhan sendiri. Sudah dikatakan bahwa kami hidup untuk beribadah dan menekan nafsu dunia, wahai Raja yang mulia. Kami tidak ingin seperti kalian, yang hidup gemah ripah namun tersesat oleh sifat-sifat buruk dan keji kalian sendiri. Berdoa adalah cara kami menekan semua itu. Maka Tuhan menurunkan seorang utusan yang akan mengajarkan kepada umat manusia bagaimana dan apa-apa saja supaya selamat dari dunia, ialah Sang Rohib Emirel Shofar. Lewat kitab iman Habel, yang mana merupakan ucapan-ucapan Tuhan, kami memahami bahwa doa adalah wujud pengabdian kami kepada Tuhan dan itu berguna sebagai benteng supaya kami tidak tergelincir ke dalam dosa-dosa yang amat pedih." "Berdoa? Pengabdian? Atas dasar apa manusia harus mengabdi kepada-Nya? Kalian bilang Tuhan yang menciptakan manusia? Baiklah, anggap Tuhan menciptakan manusia. Lantas apa? Tidak ada yang pernah menyuruh-Nya menciptakan manusia tapi sekarang Dia ingin manusia mengabdi kepada-Nya karena Dia merasa telah berjasa menciptakan manusia?" Raja Arphakshad mengerutkan kening. "Dan sekali lagi, kalian harus mempertanyakan logika dari Tuhan yang katanya Maha Tahu dan Maha Kuasa. Jika kami, dan seluruh umat manusia, memiliki sifat-sifat buruk nan keji, maka itu bukanlah kesalahan kami. Tuhan yang menciptakan manusia seperti itu dan bagaimana mungkin Dia menyalahkan manusia untuk kesalahan diri-Nya sendiri? Kepercayaan kalian terhadap Tuhan itu tidak masuk akal!" "Dan Emirel Shofar..." Raja Arphakshad menambahkan. "Ya...kalian pikir dia luar biasa? Sebetulnya dia hanya menulis buku dari imajinasinya dan dengan retorika yang bagus dia katakan...aku baru saja menyalin perkataan Tuhan! Sekarang aku tanya, adakah diantara kalian yang pernah sekali saja mempertanyakan tentang keaslian kitab Habel? Bagaimana kalian yakin kitab itu adalah benar omongan Tuhan? Apakah karena kalimatnya yang bersayap-sayap? Atau karena mitologi-mitologi epik di dalamnya? Atau karena janji-janji dan ancaman-ancaman yang tertulis seperti mengungkapkan ketakutan-ketakutan kalian? Itulah, wahai Tabliq Suci, itulah bisnisnya! Agama menjual ketakutan. Kalian berdoa lebih karena kalian takut sesuatu yang buruk terjadi pada kalian. Doa adalah media pelepas kecemasan manusia. Dan seperti surat, doa pun mempunyai tujuan,.. tujuan itulah yang kalian anggap Tuhan. Tuhan...sebuah tokoh fiktif dalam imajinasi kalian yang kalian gunakan untuk mengurangi kegelisahan-kegelisahan menggebu dalam diri kalian. Sekali lagi, keberadaan Tuhan itu tidak nyata! Itu karangan kalian! Akal dan ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkap ini. Jadi tidak alasan untuk terus percaya kepada dewa imajinasi itu." Terdengar cekikikan tawa dari para Elite. Kemudian tepuk tangan membahana. Para Gamaliel bersorak-sorak memuji Raja Arphakshad. Dari balik layarnya, sekali lagi Raja Arphakshad menyuguhkan segelas anggur kepada semua orang. Untuk sekali lagi, ia berkhotbah, "Ini adalah penawaran terakhir. Apakah kalian ingin bergabung bersama kami dan mengikuti aturan kami? Terdidik secara akal dan tercerahkan secara pikiran? Jika ya, kalian bisa meminum anggur yang melayang di samping kalian itu dan Ali Eufrat, Panglima Besarku, akan menuntun kalian pergi ke kerajaan Old Sammur. Kalian akan menyatu bersama kami dan kalian akan menjadi saudara kami. Oh kami begitu bangganya menerima kalian!" Terdengar bisik-bisik diantara kalangan Tabliq Suci. Izebel menggenggam tangan ibunya erat-erat. Ia memejamkan mata tak sudi melihat segelas anggur merah melayang-layang di sampingnya. Meski harumnya menyeruak menggoda, dan meski nikmatnya tak terbayangkan lagi. Ia berkata terus-terusan kepada ibunya supaya bertahan dan bertahan. Sebab kuasa Tuhan akan datang. Kuatkan iman dan bersabarlah, karena Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Tapi Izebel juga mendengar suara dari kawan-kawannya tempo lalu; Kain, Sollice, Hebron. Oh betapa ini adalah momen terbaik untuk keluar dari kemiskinan Populo Dei, betapa ini adalah saat paling ditunggu karena tak perlu lagi pura-pura, Old Sammur telah menyambut, betapa... betapa... dan betapa... Izebel mendengar nada-nada bahagia dari kawan-kawannya. Ia menguatkan diri. Suara itu semakin keras. Ia semakin menguatkan diri. Suara itu semakin dan semakin keras. Ia terus menguatkan diri dan menguatkan diri hingga ia sadar bahwa seseorang yang tidak pernah ingin berada di dalam komunitas tertentu, meskipun ia telah lahir dan tinggal hampir selamanya di komunitas tersebut, tetap akan memilih pergi jika datang kesempatan yang sebenarnya adalah momen indah bagi dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD