Bab 218 : "Salem."

1201 Words
"Izebel," bisik Lidia. Perempuan itu kemudian menggiring anaknya kepada Salem Eliezer. Sang Salem keheranan dan dengan ayat-ayat Habel terus menguatkan ibu dan anak itu. "Aku punya ide yang bagus, Salem," seru Lidia, serius. Ia berbisik kepada Salem Eliezer. Kemudian, Izebel menjadi begitu ketakutan terhadap datangnya ide baru tersebut. "Kau gila, Lidia! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu!" sahut Salem Eliezer. "Katakan padaku kau tidak akan meninggalkan negeri ini dan..." "Ya, Salem. Aku harus meninggalkan negeri ini." Lidia berbungkuk menatap anaknya. "Izebel, sayang, dengar..." Bibir Lidia terasa kelu seketika. "Katakan padaku kau tidak akan meninggalkan negeri ini," Salem Eliezer membujuk. "Pikirkan anakmu, pikirkan keluargamu disini, tolong jangan lakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan suamimu." "Tapi aku tidak bisa terus tinggal disini. Aku harus menemukan kehidupan yang lebih baik untuk Izebel..." Ia mengatakan ini sambil memejamkan. Air mata merembes dari balik matanya. "Lidia, mohon dengarkan aku, kau memiliki semua yang kau miliki, kau bahkan menghapal semua ayat suci Habel dan itu akan menjadikanmu jalan yang mudah, Lidia. Kau adalah seorang suci sementara mereka tidak percaya adanya Tuhan..." "Aku bisa terus beriman dimanapun, Salem. Tuhan akan selalu ada di hatiku dan aku tidak akan mengkhianati-Nya. Aku menyayangi Tuhan, menyayangi anakku, tapi..." "Tidak..." potong Izebel, serak. "Tolong jangan pergi, mama..." Dan air mata itu jatuh berderai-derai. Lidia memeluk Izebel. Gelas berisi anggur masih melayang-layang di udara, beberapa orang akhirnya tergoda untuk minum. Kepanikan terjadi. Salem Eliezer berteriak-teriak kepada mereka semua untuk selalu ingat dengan Tuhan! INGATLAH ALLAH! Ia bergerak kesana kemari, sebagaimana para Salem yang lain, dan mencegah orang-orang meminum anggur. Anggur beracun! Teriak para Salem. Kau tidak akan menikmati manisnya anggur itu karena semua hanyalah ilusi! "Salem, kau tidak akan mengerti rasanya hidup dibawah garis kemiskinan dan berharap semua akan berubah disini..." kata salah satu Tabliq Suci. Ia terisak. "Aku sudah mempertanyakan ini jauh-jauh hari. Ada Tuhan untukmu, tapi apakah ada Tuhan untukku?" "Satu-satunya yang harus kau lakukan adalah meneguhkan hati kalian... apa kalian berani menggadaikan semuanya demi anggur-anggur itu? Sedangkal itukah iman kalian? Setelah semua yang kalian pelajari dan kami ajari hanya segitukah kecintaan kalian kepada Tuhan?!" Raja Arphakshad tertawa. Para Elite tertawa. Mereka melihat semua pertunjukan ini dengan senang hati. "Aku terjebak disini, Salem, dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bisa membunuh diriku...maafkan mama, Izebel... maafkan mama..." Semua menangis. Satu orang terpisah dengan orang lainnya, dan kejadiannya begitu cepat seperti angin yang berembus dalam sekerling mata. Tidak ada kata perpisahaan yang sempat terucap. Tidak ada kecupan yang sempat dilayangkan. Tidak ada peluk yang sempat dirangkul. Sebagian gelas-gelas itu telah kosong. Dengan hati terluka, mereka semua, mereka yang telah meneguk manisnya anggur, berjalan dipimpin oleh para Elite. Genggaman tangan dilepas. Erangan dan decak tangis membumbung. Tapi mereka semua pergi, dan mereka menghilang dibatas horizon. Izebel melihat ibunya dengan perih. Hari paling buruk dalam hidupnya telah tertulis dikeningnya. Ia mengepalkan tangannya: marah, sedih, benci, dan begitu rapuh. Ia menghapus tangisnya berkali-kali, namun air mata yang keluar begitu hebat hingga ia sendiri tidak menyangka kesedihannya mengalami kedalaman sedemikian rupa. ***** "Pada akhirnya, kehidupan akan memilih siapa penopang sesungguhnya," kata Raja Arphakshad. "Aku turut berduka pada kalian semua. Kalian yang telah begitu mencintai Tuhan dan kini harus menanggung penderitaan dari cinta itu sendiri." Ia menggelengkan kepala. "Tapi tenanglah, karena kalian tidak pernah sendirian, karena..." "Tuhan bersama kami," tiba-tiba Izebel memotong. Ia mengelap air matanya dan berjalan mendekati layar Raja Arphakshad ke-13. Sang Raja tersentak. "Oh siapa yang mengizinkanmu bicara, gadis kecil?" Ia menunjuk Izebel. "Sudah aku katakan janganlah sekali-kali memotong ucapanku karena aku tidak suka seseorang mengambil kesimpulan sebelum aku menyelesaikan perkataanku." Izebel sesenggukan. Dadanya naik turun. Salem Eliezer segera menggamit jemari anak itu tetapi Izebel mengelak, "Tolong jangan ambil mamaku, Raja," Izebel terisak. Sang Raja Arphakshad yang terbiasa bersikap ramah nan riang dibalik segala kejahatan dan superioritasnya itu tiba-tiba bungkam. Ia menoleh kepada horizon, tempat Tabliq Suci pergi membelot. Ia berpikir sebentar sebelum perlahan mengalihkan pandang kepada gadis kecil mungil itu: Oh mata hazelnya yang basah, tatapannya yang penuh duka cita. Sesuatu yang aneh berdesir di dalam hatinya. Sesuatu yang bergerak menuju sanubari terdalam. Izebel terus terisak. Raja Arphakshad ke-13 menatapnya simpati. Raut wajahnya menandakan kebingungan bagaimana harus bereaksi, antara sedih, simpati, dan perasaan bersalah. Bibirnya terkatup. Para Elite, prajurit, dan Gamaliel juga tak mengeluarkan suara. Suasana berubah kelabu. Seketika, rasanya seluruh dunia ikut menangis. ***** "Baiklah, sudah aku katakan bahwa kalian tidak sendirian," ujar Raja Arphakshad memecah ketenangan. "Lihatlah..." ia menunjuk ke arah horizon. Semua bangsa Elite mengangguk pada instruksi, maka Ali Eufrat meniup pluit keras. Maka, jauh dari kejauhan di horizon tempat semua orang tadi menghilang, munculah sekumpulan orang dengan berbagai keadaan. Semua Tabliq Suci tercengang. Mereka melihat kesana, kearah sekumpulan orang yang semakin mendekat. Diantara mereka ada yang mengenakan jubah berkerudung, mengenakan kerudung dan tunik, mengenakan setelan jas rapi, dan mengenakan gaun besar serta topi berpinggir lebar. Tabliq Suci merapatkan diri mereka satu sama lain dan berpikir apa yang menjadikan orang-orang itu kemari. Mereka terlihat datang dari tiga kerajaan lain namun kondisi mereka begitu mengenaskan. Diantara mereka ada yang harus memakai kursi roda, ada yang berwajah buruk, ada yang berwajah hancur, ada yang hangus terbakar, dan ada pula yang terlihat seperti anak i***t. Salem Eliezer berjalan menghadap Ali Eufrat, mempertanyakan semua orang-orang yang datang. Ali Eufrat hanya tertawa. Ia meniup pluit. Keras dan mendecit sekali. Lalu terdengar suara gong ditabuh, genderang dipukul, dan gesekan benda besar mendesis seperti lintah. Gumamam mengudara. Para prajurit Old Sammur, para Eliet, para Gamaliel, juga Ali Eufrat sendiri menaruh tangannya menyilang di d**a. Dengan penuh kekhidmatan, mereka mulai menyanyikan lagu kebangsaan bangsa mereka. Jauh ribuan tahun di timur tanah Aristarkhus, adalah kami, bangsa yang tak pernah tertidur. Membangun mimpi lembar demi lembar. Menciptakan peradaban dari masa ke masa. Oh tanah airku, Old Sammur. Mengapung dalam cahaya. Terlukis dalam gembira. Terbasuh dalam ilmu pengetahuan. Oh bangsaku, Old Sammur. Kami adalah anggur yang melenakkan. Kami adalah gedung yang Maha Besar. Kami adalah Tuhan Baru bagi pikiran kami. Sementara lagu dikumandangkan, tembok filemon bergeser secara elektromagnetik menutupi seluruh wilayah Populo Dei. Raja Arphakshad telah menutup dirinya dan seketika layar transparan itu lenyap. Seakan disana tidak ada apa-apa dan tidak pernah terjadi perbincangan apa-apa. Semua Tabliq Suci bingung dan ketakutan. Mereka menangis. Beberapa yang mencoba melawan berlari menuju tembok dan tersengat listrik hingga tewas. Sementara para Elite tetap mengumandangkan Oh Old Sammur dengan khusyuk seakan tangisan dan teriakan Tabliq Suci hanyalah instrumen lain dari hiasan lagu. Tak ada satu pun Tabliq Suci yang sanggup menyentuh mereka sebab pakaian mereka sengaja dialiri listrik yang memungkinkan siapapun, kecuali dari kaum Elite sendiri, yang berani menyentuh mereka akan mati tersetrum. Demikianlah mereka bertempur tanpa kekuatan yang seimbang. Orang-orang yang tadi datang dari antah berantah dan masuk dengan begitu saja ke kerajaan Populo Dei, kini berkerumun mendekati Tabliq Suci. Mereka berdiri berdampingan, sebuah tindakan yang membuat Tabliq Suci semakin mengigil ketakutan. Izebel berlindung dibalik pelukan Salem Eliezer dan tersedu-sedan di dalamnya. Seorang lelaki berkursi roda yang datang bersama rombongan tadi, dengan terbata-bata mendekat dan berdiam disamping Izebel. "Jangan sedih, gadis manis," katanya, dengan aksen Old Sammur yang amat kental. "Tidak akan pernah ada penderitaan yang abadi." Izebel melihatnya sejenak dalam tatapan waspada. "Siapa kau?" tanyanya. "Gideon. Hezron Gideon," kata lelaki itu. Izebel terdiam. Lagu kebangsaan Kerajaan Old Sammur, "Oh Old Sammur"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD