SATU

1063 Words
Delapan hari setelah kematian Milli. SMA Nusantara, Jakarta. Hari telah berganti, meski rasa ingin tahu di dalam diri Cassandra terus menghantui. Cewek dengan rambut hitam panjangnya itu mulai penasaran dengan alasan di balik kematian sahabatnya, Milli Wijaya karena kata-kata Kevin kemarin terus mengusiknya. Mungkin Kevin benar, Milli sudah mencoba menyampaikan sesuatu pada mereka, tapi tidak ada satupun yang menyadarinya karena Milli memang tidak pernah mengatakannya terang-terangan. Namun, adakah sesuatu yang benar-benar dilewatkan oleh Cassandra hingga ia harus merasa bersalah sekarang? Cassandra menghentikan langkahnya ketika Clara muncul di hadapannya. Sayang, cewek berambut pendek itu sedang tidak sendirian. Ada Ganisa, Helena dan Sera--senior yang diduga melakukan perundungan terhadap Milli--di sekelilingnya. Mereka menatap Cassandra remeh dengan seringaian puas di bibir mereka. "Hai, Cass. Long time no see," sapa Ganisa sarkastik. Ia berdiri di sebelah Clara dan merangkulnya akrab. Kemudian melihat Clara yang terpaku di tempatnya. "Lo nggak mau sapa teman lama lo juga, La?" Cassandra hanya diam, menatap lurus ke arah Clara yang juga menutup rapat mulutnya. Jika Milli masih hidup, cewek itu sudah pasti membelanya dan memarahi Clara karena berteman dengan musuh bebuyutan mereka di sekolah. Cewek bertubuh tinggi dengan rambut ombrenya yang khas itu lantas menurunkan tangannya dari bahu Clara dan mengedikkan kedua bahunya. "Well, kalau kalian nggak ada yang mau diomongin lagi, kita cabut aja, yuk?"  Ganisa berjalan di depan dengan Helena dan Sera yang mengekor seperti dayang-dayang di belakangnya. Sedangkan Clara berdiam di tempatnya untuk beberapa waktu sebelum akhirnya turut melangkah pergi dari tempat itu, melewati tubuh Cassandra yang masih menatapnya dengan penuh harap dan rasa penasaran. Cassandra menghela napas panjang setelah Clara benar-benar pergi. Matanya memerah, ada sensasi panas di pelupuk matanya yang sendu ketika Clara memperlakukannya seperti orang asing. Dan ia pasti sudah menangis sekarang jika tangan seseorang tidak tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang dan membuyarkan lamunannya. "Arga?" Arga Aditya atau dikenal sebagai bad boy nya SMA Nusantara, muncul di hadapan Cass setelah beberapa hari menjalani hukuman skorsing akibat melakukan kekerasan di sekolah. Arga dan Bani--seniornya--bertengkar hebat karena suatu hal dan berakhir dengan satu pukulan telak yang menyebabkan Bani masuk rumah sakit.  "Lo masuk hari ini?" tanya Cassandra. "Memangnya hukumannya udah selesai?" Bukannya menjawab, Arga justru melemparkan buku catatannya pada Cassandra hingga cewek itu terperanjat dan hampir limbung karena berusaha menangkap benda tipis itu.  "Apaan, nih?" Cassandra mengangkat buku milik Arga ke udara dan menatap cowok itu bingung. "Lo nggak bermaksud nyuruh gue nyalin semua catatan selama lo absen, 'kan?" Arga mengangkat bahunya dan hanya menampilkan raut datar di wajahnya yang rupawan.  "Seriously, Ga?" Cassandra mendesah kasar. "Omong-omong, lo udah makan? Mau ke kantin bareng?" Arga mengangguk mengiyakan dan berjalan bersama Cassandra menuju ke kantin sekolah. Letak kantin sekolah sendiri berada di sudut lorong di antara kelas sebelas dan dua belas. Mereka sering menyebut kantin sebagai perbatasan antara para senior dan junior karena tempat yang dipenuhi aneka menu masakan ini sering dijadikan ajang duel oleh cowok-cowok SMA Nusantara. Mereka yang berani pada senior dan ingin membuktikan ketangguhan diri, biasanya melakukan duel di depan kantin untuk kemudian ditonton oleh dua kubu tersebut. Arga salah satunya. Cowok berperawakan tinggi dengan otot-otot kecil di lengannya itu berhasil memberikan tinju yang tidak dapat ditangkis oleh Bani--senior sekolah sekaligus pacar Ganisa--hingga cowok yang dikenal sebagai 'tukang palak' sekolah itu masuk ke rumah sakit dan berakhir dengan Arga menerima hukuman skorsing selama tiga hari. Arga sebenarnya bukan anak nakal, tapi latar belakangnya sebagai 'broken home' karena kedua orang tuanya bercerai, membuat Arga berubah menjadi orang yang berbeda. Ia tidak lagi bersimpati pada orang lain dan memilih menjalani hidup yang keras bersama anak-anak nakal lainnya demi mencapai tujuan yang disebut 'kebebasan'. Cassandra duduk berhadapan dengan Arga di salah satu sudut meja di kantin. Cassandra memesan nasi goreng, sementara Arga dengan bakso kesukaannya. "Kenapa suka banget makan bakso cuma pakai toge sedikit kaya gitu?" tanya Cassandra ingin tahu. "Pantas aja badan lo kaya mayat hidup, kurus kering kerontang nggak keurus." Arga terkekeh geli, "Sejak kapan lo peduli sama makanan gue?" dan menyiuk sendok berisi potongan bakso untuk kemudian mengunyahnya. "Badan gue walaupun kurus, tapi tetap bertenaga. Lo bisa liat otot-otot di lengan gue, 'kan?" Cassandra meringis jijik dan menggeleng tak habis pikir. Arga dan Cassandra tak banyak bicara selama menyantap makanan kesukaan mereka masing-masing. Cassandra dengan nasi gorengnya dan Arga dengan seporsi bakso yang dipenuhi sambal. Lalu kemunculan Kevin pun menarik perhatian Cassandra maupun Arga dari makan siang mereka. Kevin melihat Cassandra lalu ke Arga bergantian dan tersenyum ramah. "Gue cariin kalian daritadi, ternyata kalian makan siang bareng di sini," kata Arga. "Boleh gabung?" Cassandra mengangguk. "Boleh." Namun Arga justru buru-buru menghabiskan es teh pesanannya dan bangkit dari kursi. "Eh, mau kemana?" Cassandra melihat sisa bakso dalam mangkuk Arga yang tinggal setengah dan melihat sang pemilik heran. "Ini baksonya belum habis." Arga melihat Cass dan melirik Kevin sinis sebelum akhirnya berkata, "Udah kenyang." sembari melenggang pergi meninggalkan Cassandra dan Kevin dalam suasana yang canggung di sana. Kevin menempati kursi yang sebelumnya diduduki oleh Arga dan melihat makanan di hadapannya dengan bingung. "Arga kenapa? Kaya nggak senang gitu kalau gue gabung." Dan Cassandra pun mengangkat bahunya acuh dan meneguk es jeruk miliknya. "By the way, tadi kemana?" Cewek itu mendorong gelas dan piring miliknya yang sudah kosong menjauh. "Katanya lo dipanggil sama guru konseling. Ada masalah?" Kevin menggeleng cepat. "Guru konseling cuma nanya soal kematian Milli," tukasnya. "Terus, lo jawab apa?" Cowok berusia 17 tahun itu lalu menopang dagu dengan tangan kanannya dan menatap Cassandra sendu. "Gue cuma bisa jawab apa adanya. Kami nemuin jasad Milli di dekat sungai harapan malam itu dalam keadaan meninggal." Cass mengangguk prihatin. Butuh beberapa detik keheningan berlalu sampai akhirnya cewek itu menyadari sesuatu dan berdeham pelan. "Kev, ada sesuatu yang mau gue tanyain sama lo, deh," katanya berhati-hati. "Ya, silakan. Mau tanya apa memang?" Cass mencondongkan wajahnya pada cowok di hadapannya itu dan memandangnya penuh selidik. "Malam dimana lo nemuin jasadnya Milli, apa Om Antoni ada di sana?" "Enggak." Kevin mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Gue nemuin jasad Milli sendirian karena Om Antoni pergi ke arah berlawanan." "Jadi, lo satu-satunya orang yang lihat mayat Milli malam itu?" Kevin menggumam pendek dan mengangguk mengiyakan. "Technically yes. Setelah gue pastikan kalau jasad itu memang Milli, gue langsung manggil om Antoni dan polisi lainnya." Cassandra menggigit bibir bawahnya gugup, tangannya tiba-tiba gemetar. Pikiran mengerikan mulai melintas di kepalanya. Ia menarik napas panjang dan membatin, "Bagaimana jika sebenarnya Kevin juga terlibat?" []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD