CHAPTER 12 - LAMARAN

1446 Words
Nadi POV Hatiku terpana. Malam ini aku merasa terpana pada pemandangan di depanku. Pada kematangan dan pesona Al. Binar dari matanya yang menawan, aku merasa seperti terhipnotis lagi. Walau sudah berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya, beberapa kali tingkahku itu tertangkap tatapnya. Rasanya tidak ada cukupnya menatap pria yang sedang tersenyum itu. Bagaimana rasanya menjadi pengunjung yang disuguhkan pemandangan seperti kami? Maksudku di restoran ini, aku dan Al duduk berhadapan. Tangannya mengelus rambutku sayang di tambah senyum menggodanya. Tidak pernah seumur hidup aku merasakan yang seperti ini. Menjadi objek yang menerima sinar teduh dari mata seorang pria. Aku merasa hangat, di dalam hatinya ada namaku. Gara-gara masa lalu yang kelam, aku hampir menyia-nyiakan cinta dan menyakiti perasaan orang-orang yang menyayangiku dengan cara yang euh, sama sekali tidak keren. Kalau dipikir-pikir lagi, sifatku yang menghindari dan marah pada Al sangat kekanak-kanakan. “Kau suka makanannya?” tanya Al. “Hmm ... Yaa, aku suka,” jawabku tersenyum. Mungkin tertular dari wajahnya yang senyum. “Bagus!” serunya. “Makan yang banyak.” Aku mengangguk. Tadi sehabis pulang kerja, Al sudah rapi menggunakan setelan khusus. Saat aku bertanya dia akan kemana, rupanya dia berencana mengajakku dinner ke sebuah restoran. Al memberiku waktu untuk bersiap-siap dan berakhir memakai gaun warna biru gelap agar serasi dengan warna kemeja pria itu. Tindakan Al yang mengecup keningku ketika baru saja keluar kamar, membuat hatiku berdebar. Kekuatan cinta di antara kami mulai terasa. Memang betul kata pepatah, jika pasangan saling mencintai dan saling mengucapkannya pada satu sama lain, maka rasanya akan lebih indah. Al menyisihkan daging yang sudah dipotongnya ke tepi piring. Aku terdiam memperhatikan Al yang mengangkat garpunya. Daging itu terangkat menuju depan mulutku. Al menatap mataku dan mengangguk. “Makanlah,” katanya. Suapan itu terasa manis, bukan hanya dagingnya, tapi cara Al memperlakukan diriku. “Al,” ucapku setelah hidangan di depan kami dirapikan oleh pelayan. Kini hidangan yang ada di depan kami tinggal makanan penutup. Sebelum malam ini usai, sepertinya Al ingin mengatakan sesuatu padaku. Bukan, bukan terlihat dari mimik atau tindakannya. Hanya mengandalkan perasaanku saja. “Apa ada yang ingin kau katakan padaku?” Meletakkan gelas di meja, Al mengangguk. “Kenapa kau tahu?” Dia bertanya sambil tertawa lepas. Pertanyaanku seperti sesuatu yang lucu bagi Al. Aku mengangkat kedua alis, ikut tersenyum. Aneh, malam ini aku mudah sekali terbawa suasana. Mungkin karena aku belum terbiasa dengan sisi Al yang ini. Yang romantis, ramah, suka tersenyum dan ... entahlah menggetarkan hati. “Aku ingin melihatmu selalu tersenyum, Nadi.” “Oh,, Eh?” Aku bingung setelah menyadari perkataan Al. Al mengambil tisu dari kemejanya dan membersihkan ujung bibirku. This is too much. Perutku bergetar menerima semua keromantisan ini. Sejujurnya aku tidak terbiasa. Aku menunggu dengan gelisah, sementara Al masih di sana menunjukkan ketenangan nya yang hampir membuat jantungku meledak. Terlalu lama di dekatnya tidak akan baik untuk kesehatan jantungku. Al berdiri lalu bergeser tepat ke sampingku. “Apa yang akan kau lakukan, Al?” tanyaku pelan. Kenapa Al sampai harus berdiri di sampingku? Kepalaku saja sudah terlalu tegang karena harus mendongak untuk melihatnya. Al berjongkok. Dia merogoh sesuatu dari dalam kantongnya. Di sana, di atas meja yang saat ini sudah bersih, Al meletakkan sebuah kotak yang terbuka. Sementara jemari Al memegang sebuah cincin. “Nadi, kau pernah bilang bahwa aku akan menyerah dengan kondisimu. Tapi aku bisa menjanjikan satu hal padamu, kesetiaan. Tetaplah di sampingku untuk membuktikan bahwa meninggalkanmu tidak akan pernah terjadi. Mau kah kau menjadi pendamping hidupku? Maukah kau menjadikanku sebagai orang yang layak untuk berbagi kasih, cinta, beban dan sedih yang kau rasakan?” tanya Al. Suara lelaki itu bagaikan suara dari surga. Aku tidak merasakan grafitasi bumi menarikku. Yang kurasa hanya perasaan melayang. Sulit bagiku untuk menyadari bahwa Al sedang melamarku kini, di tempat ini, di suasana romantis ini. “Al,,” Suaraku tertahan. Masih mencari kebohongan di mata pria itu. Jujur saja saat ini semua kekuranganku dan ancaman Reza membanjiri kepalaku. Aku terlalu takut untuk melangkah maju bersama Al. Aku benar-benar takut akan membuatnya kecewa. Dan yang lebih menakutkan dari itu adalah memikirkan bagaimana nantinya aku akan meneruskan hidup jika Al meninggalkanku. Genggaman Al di tanganku membuyarkan semua lamunanku. Ibu jarinya terus mengelus tanganku memberi ketenangan. “Al, Aku.. tidak layak menerima cincinmu,” cicitku. “Shut...” bisik Al, “Aku tidak mau mendengar itu lagi keluar dari mulutmu, Nad. Aku hanya ingin mendengar kata iya saat ini,” pinta Al. Punggung tanganku ditariknya dan diciumnya dengan lembut, berlama-lama. Walau hatiku berdebar, aku tidak menyangka Al akan melakukan semua itu. Pengunjung lain memang tidak peduli pada kami, tapi beberapa kali aku menangkap mereka sedang melihat kami. Aku malu. “Iya, Al,” ucapku mengangguk. Alis Al terangkat, “Iya? Artinya kau mau menikah denganku?” tanyanya dengan raut sangat bahagia. Sudah seperti dapat undian mobil termahal di bumi. Aku mengangguk tersenyum, “Iya Al.” Al lantas berdiri untuk memelukku. Di sana, tepat di bahunya, air mataku menetes. Tanpa sadar, pria ini memang sudah menjadi tumpuan hidupku. Tanpa sadar, aku sudah menggantungkan banyak harapan padanya. Dan aku tidak pernah tau, saat harapan itu tercapai rasanya akan seperti ini. Seperti meledak, lega, senang luar biasa. Al terus menggenggam tanganku saat kami berada di mobil. Dia semakin terlihat luar biasa dari samping. “Kenapa melihatku terus, hm?” godanya. Tanganku terangkat lagi untuk diciumnya. Pipiku merona malu. “Nadi, paman menitipkan Alie pada kita malam ini. Apa kau tidak keberatan?” tanya Al setelah menerima telfon dari pamannya. Aku mengangguk senang, pintu kami akan selalu terbuka untuk Alie. “Paman dan bibi akan kemana?” tanyaku. “Mereka jamuan makan malam kantor,” jawab Al. Saat kami sampai di halaman rumah, Alie langsung keluar dari mobil dan berlari untuk memelukku. “Aunty!!” ucapnya. Aku tersenyum, mengangkat Alie dan menggendong anak kecil itu. Paman dan bibi Al juga keluar dari mobil untuk berpamitan. “Kami titip Alie pada kalian dulu tidak apa-apa kan,” pinta bibi Al tidak enak hati. Aku tersenyum hangat. “Tentu tidak, Bibi. Kami malah senang jika Alie sering dititip di sini,” jawabku. Alie di gendonganku tidak berhenti memandangi wajahku. “Aunty cantik. Alie mau jadi kayak Aunty.” Alie yang menggemaskan membuat tertawa semua orang. Al ikut mencubit pipi chubby Alie membuat anak itu menarik pipinya ke dalam dan terlihat makin menggemaskan. “Tentu saja calon istriku cantik, Lie,” balas Al yang langsung membuat senyumku hilang. Aku tegang menanti reaksi dari paman dan bibi Al. “Wah, wah apa ini? Kau sudah melamar Nadi?” tanya paman Al pada kekasihku itu. “Iya, Paman,” jawab Al bangga. Pipiku memanas ketika bibi Al memelukku dan paman ikut menyalamiku. Paman Al menepuk bahu Al. “Ku tahu Al, kita akan bicarakan ini besok. Termasuk pajak menikah yang harus kuterima,” canda paman Al membuat kami tertawa. Setelah itu mobil mereka melesat pergi karena mereka hampir terlambat ke acara makan malam mereka. “Biar aku saja yang menggendong Alie,” ujar Al merentangkan kedua tangannya pada kami. Alie kecil mengangguk dan berpindah ke gendongan Al, pamannya. Sesampai di rumah, aku menemani Alie kecil duduk di sofa dan menonton televisi. Al sendiri masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. Setelah pria itu selesai, Al juga menyuruhku untuk berganti baju dan mencuci wajah. Alie yang anteng tidak membuat kami kesusahan. Usai aku keluar dari kamar, di sana mereka berdua sedang tidur di sofa. Jam memang masih menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi gadis kecil itu terlihat lelah. Pemandangan itu membuat hatiku menghangat. Mereka berdua di sana terlihat bagai harapan kehidupan masa depanku. Setelah membangunkan Al, pria itu menggendong Alie ke kamarku dan meminta kami untuk segera tidur karena sudah mulai dingin sebab hujan di luar sepertinya deras. Aku masuk ke dalam kamar, memeluk Alie dan mulai tidur. Saat petir menggelegar, Alie tersentak kaget dari tidurnya. Dia menangis dan mulai mencari-cari Al. Gadis kecil itu menjerit karena takut petir. Aku berusaha menenangkan Alie dengan memeluknya. Tapi tangisannya tidak kunjung berhenti. Akhirnya aku menggendong Alie hendak membawanya menuju kamar Al, rupanya lelaki itu pun hendak memeriksa keadaan Alie sehingga kami bertemu di ruang tengah. Alie yang masih menangis berpindah ke pelukan Al. Perlahan saat tangis gadis kecil itu mereda, aku merasa lega. “Sebaiknya Alie tidur di sampingmu, Al,” saranku. Alie memang sangat dekat dengan ayahnya. Sehingga jika dia ketakutan, maka yang dibutuhkannya adalah sosok seorang Ayah. Alie yang mendengar suaraku menggeleng, “Mau onty juga,” rengeknya. Aku menatap Al sesaat. Pria itu mengangguk. Dan malam itu kami bertiga tidur di kamar Al. Alie berada di tengah dan mendekat kepadaku minta dipeluk. Sementara satu tangannya meminta Al mengelusi kepalanya. Jadilah Alie seperti putri kami berdua. Biarlah, asal Alie senang. Lagi pula kami menyayanginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD