CHAPTER 13

1161 Words
Alfredo POV Nadi berubah. Aku merasa dia menghindar dariku karena merasa rendah diri. Nadi menyimpan sesuatu dalam dirinya, beban yang membuatnya menghindari semua orang. Aku memang memaksa untuk tinggal di rumah Nadi agar bisa memantaunya. Penolakan Nadi padaku, pernyataannya yang meminta putus sungguh menyakitkan. Aliran darahku berhenti sejenak. Oksigen di paru-paru ikut menipis. Nadi menyebut dirinya barang rusak. Setelah itu, tanpa ada yang tahu, aku menghabiskan waktu untuk menggali masa lalu Nadi. Semua yang berhubungan dengannya akan menjadi objek pencarianku. Perasaan ingin tahu ini tidak bisa dibendung. Sudah beberapa hari kami tinggal bersama, masih di flat Nadi. Walaupun sempat mendapat penolakan dari para sahabatnya, akhirnya aku memang tinggal di sana. Bersama gadis yang kucinta. Aku menjalankan peran menjadi seorang kekasih yang baik. Nadi berangkat kerja dan aku menunggunya pulang di rumah. Sebisa mungkin Nadi tidak pernah kutinggalkan sendirian. Tapi akhir pekan itu, aku tidak bisa mengelak. Ada urusan penting yang mengharuskan kehadiranku di kantor. Walau Nadi masih menghindariku, aku tetap pamit padanya. Bahwa aku akan pulang siang, agar dia tidak khawatir. Di kantor, ada beberapa urusan yang harus kutangani. Setelahnya, aku pergi ke asrama dimana Theo tinggal untuk sementara. Ada kenalan yang ahli dalam mencari masa lalu orang lain. Aku membutuhkannya, karena itu aku menemuinya saat itu. "Ini yang kau butuhkan," ucapnya sambil menyerahkan sebuah flashdisk hitam. "Saat ini aku tidak bisa menggunakan e-mail atau apa pun yang berhubungan dengan jenis surat elektronik. Kau tahu kenapa," tambahnya. Alisku terangkat, lalu mengangguk. Keahliannya memang tidak perlu diragukan lagi. "Terimakasih Radio," ucapku. Dia mengangguk. Saat aku hendak berlalu, ada suara langkah kaki mendekat dan tertahan di pintu. Dia menahan bahuku. "Radio itu ada di keranjang. Tidak bisa bebas. Cari tukang untuk memperjelas masalahnya," Aku segera menyelipkan flashdisk tadi ke jam tanganku diam-diam. Orang yang tadi hanya berdiri di pintu akhirnya masuk bersamaan dengan aku yang keluar. "Waktu besuk habis. Silakan keluar Pak Alfredo." Aku mengangguk dan segera pergi. Ketika melewati ruangan itu, masih bisa kudengar suaranya. "Terima kasih untuk makanan yang kau berikan, Al." Makanan itu akan mengganti tenaganya yang telah dikuras. Aku tersenyum, berurusan dengan orang itu cukup menegangkan sekaligus menyenangkan. *** Jam di tangan menunjukkan hampir pukul 11 siang. Pikiranku langsung tertuju pada Nadi. "Apa gadis itu baik-baik saja?" gumamku sembari menyetir. Ah, mengingat gadis itu membuatku merasa bahagia dan sakit di saat bersamaan. Sebagian rasa sakit itu disebabkan khawatir dan gelisah, aku takut dia pergi meninggalkanku. Mengingat lagi bagaimana beberapa hari ini gadis itu membuat seorang Alfredo yang dingin mulai berubah, adalah keajaiban. Nadita, gadis itu masih sama. Ah, tiba-tiba kerinduan menyesakkan dadaku. Aku perlu segera melihatnya. Karena itu, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Mobil terparkir di basement gedung. Belanjaan yang tadi kubeli dari pusat perbelanjaan menggantung di tangan kanan dan kiri. Kantongan itu berisi semua kebutuhan kami. Aku memencet bel di pintu, setelah meletakkan satu kantong belanjaan. Bukannya lupa password flat Nadi, aku hanya ingin Nadi yang membuka pintunya untukku. Aku ingin Nadi berdiri di sana, membuka pintu dan menyambutku. Keputusan itu sesaat kuragukan, sudah tiga kali bel berbunyi. Namun Nadi belum kunjung muncul. Aku masih menahan diri untuk segera membuka pintu. Ceklek Aku lega. Senyum tiba-tiba muncul di wajahku. Sekarang tinggal menunggu wajah Nadi muncul di sana, di depanku. Rasanya... sedikit mendebarkan. Keningku berkerut saat yang kuinginkan tak kunjung terkabul. Pintu malah terbuka pelan-pelan, terlihat ragu-ragu. Akhirnya aku mendorong pintu. Tapi sesaat pintu hendak ditutup lagi. Untung saja kakiku sempat masuk sebelah dan berakhir terhimpit. "Nadi, kenapa pintunya ditutup lagi?" tanyaku. Dorongan di pintu melemah, pintu terbuka, aku masuk ke dalam membawa belanjaan tadi. Nadi terlihat mengikuti ku dari belakang hingga ke dapur. Wajahnya terlihat pucat, apa yang sebenarnya terjadi tadi? "Kenapa kau tidak membuka pintunya saja sendiri tadi?" bentak Nadi tiba-tiba. Aku yang membelakanginya terkejut, mengamati perubahan emosi di wajah itu. Dalam hati, aku menyalahkan perbuatanku. Apa yang sebenarnya telah dialami gadis ini? "Maafkan aku, kau lihat sendiri tanganku penuh dengan kantong belanjaan," ucapku mengalah. Nadi terlihat berpikir cukup keras, hingga akhirnya masuk kembali ke dalam kamarnya. Nafasku terhela, firasatku mengatakan ada hal yang tidak beres. Nadi terlihat menutupi sesuatu dariku. File dalam flashdisk yang menempel di laptop memberikan pencerahan yang cukup. Rupanya Radio menjalankan tugas dengan baik. Ah, maksudku namanya bukanlah Radio, itu hanyalah nama samaran saja. Aku membaca sekilas semua informasi yang ada. Nadi, di sana ada foto gadis itu yang sedang tersenyum. Tanganku terkepal, ketika melihat gambar seorang putra keluarga Cipto ada di sana. Reza, putra gila keluarga itu berada di gambar dengan tanda X besar. Kuku di jariku hampir menembus kulit tanganku yang mengepal. Emosi dan semua sumpah serapah mengumpul di kepalaku ketika membaca sederetan perlakuan lelaki itu pada Nadi. Walau begitu, semua biodata itu tetap k****a sampai habis. Termasuk kondisi terkini dari para tokoh di dalamnya. Aku sudah mendengar bahwa putra k*****t dari keluarga Cipto itu keluar dari penjara. Jika kalian pikir penjara yang kumaksud adalah penjara milik pemerintah, maka kalian salah. Penjara ini adalah milik suatu badan yang bergerak atas nama keadilan. Didirikan oleh sebuah organisasi yang diakui keberadaannya oleh tokoh-tokoh tertentu. Dan k*****t itu rupanya bisa kabur dari penjara yang terlihat kasat mata oleh umum. Jejak terakhir dari k*****t itu adalah flat ini. Aku mulai mengerti awal dari semua keanehan yang terjadi pada Nadi. Jika sampai tebakanku benar, maka k*****t itu resmi mengumumkan perang. *** Pernahkah Nadi berkata bahwa aku adalah pria yang bisa mengontrol diri, termasuk emosi dan perasaan? Kalau belum, maka tadi baru saja kukatakan. Aku menyembunyikan semua hal yang tidak perlu diketahui orang lain, termasuk Nadi. Ada batas-batas tertentu dalam menjalin hubungan denganku. Karena itu, walau aku sudah tahu suatu rahasia, tapi jika Nadi masih belum mau terbuka kepadaku, maka aku akan menghargainya. Aku juga akan bersikap seolah aku tidak tahu. Begitulah hidup dan prinsipku. Saat ini, makanan sudah terhidang di atas meja. Aku yang memasak, benar, aku yang memasak. Mungkin saja kalian berpikir bahwa makanan itu adalah makanan pesanan yang dipanaskan kembali. Yang manapun itu, terserah. Aku mengetuk kamar Nadi. Gadis itu harus makan. Dia tidak boleh menyiksa diri karena kesalahan orang lain, apalagi seorang putra keluarga Cipto. Karena tidak ada sahutan, aku masuk ke dalamnya. Pemandangan di sana sungguh indah, Nadi tidur dengan wajah tenang. Dia seperti kelelahan walaupun sedang tidur. "Nadi, bangun," ucapku menepuk bahunya. Saat dia benar-benar bangun, aku berlalu dan menuju meja makan. Selama makan, wajah Nadi tidak lepas dari pandanganku. Semakin hari dia terlihat semakin cantik saja. "Makanlah yang banyak," ucapku tulus. Dia marah lalu menyinggung tubuhnya yang menurutnya sudah gendut. Aku tersenyum dalam hati, kekasihku ini tidak tahu bahwa dia itu sangat menggemaskan. Kami masih bicara hingga mengarah ke perdebatan. "Apa maksudmu?" tanya Nadi. Walau dia bertanya, di wajah itu ada raut mengharap sekaligus kecewa. Aku terus berpikir keras untuk menjelaskan apa yang kumaksud dan bertanya apa maksud ekspresi wajah nya itu. Hingga sesuatu menohok hatiku. Mungkin jika aku memberi sedikit ruang, dia tidak akan merasa tertekan. "Apa kita putus saja?" Kata-kata itu bagai sebuah mantra. Wajah Nadi terkejut lalu dia terdiam, dan mengangguk setelah berpikir cukup lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD