CHAPTER 5

1149 Words
Alfredo POV Apa kalian percaya bahwa cinta tidak hanya mengikat hati tapi juga jiwa dan raga? Aku percaya. Aku mencintai Nadira, mencintai segala kekurangan dan kelebihannya. Selama ini selalu begitu, walaupun dari jauh. Bahkan selama setahun penuh, kalian tidak akan percaya jika waktuku yang berharga ku habiskan dengan mengaguminya. Hingga saat itu tiba dengan memantapkan hati, aku memintanya menjadi pacar di perjumpaan pertama kami. Itu pun dengan bantuan Theo, adiknya yang kebetulan jadi bawahan ku. Aku bukan sosok pria romantis dan aku irit bicara. Dengan sadar, aku tahu hal itu hanya menyakiti orang-orang di sekitarku. Tapi, selama cintaku tulus, aku percaya kekurangan bukan masalah. Karena prinsip hidup dan cintaku akan tetap sama. ‘Berbuat lebih banyak dari bicara’. Malam itu di tenda, aku melihat wajah Nadi seperti tertekan. Aku tidak tahu apa masalahnya. Tapi saat dia bilang dia merindukanku, aku bingung. Bingung harus mengatakan apa lewat video call kami. Akan lebih mudah saat aku bersama dengannya saat itu, aku bisa merengkuhnya langsung untuk menenangkannya. Malam ini, semua pekerjaan dan tugasku sudah selesai. Sengaja dipercepat, karena aku tidak bisa mengontrol diri terlalu lama ketika mengingat Nadi menangis dan memintaku untuk segera pulang. Terlebih saat dia bilang ingin mengakui sesuatu. Aku selalu memikirkannya dan itu membuat atasanku maklum dan memberi kelonggaran. Walau alasan yang ku utarakan adalah masalah keluarga, tapi kuharap Nadi akan menjadi bagian keluarga kecilku nanti. Tiba di bandara dengan penerbangan paling awal, tujuan utamaku saat ini adalah flat Nadi. Ingin melepaskan rindu dengan gadis itu. Aku memarkir mobil dinas tepat di samping mobil Pajero hitam. Mataku seolah ditarik untuk melihat plat mobilnya yang tidak asing. Aku tertegun sesaat, tapi tidak bisa mengingat apapun saat ini. Di pikiranku hanya ada Nadi, Nadi dan Nadi. Entah kenapa pagi ini rasanya, kerinduan ini meluap begitu banyak. Sakin banyaknya, aku sampai-sampai merasakan euforia takut kehilangan. “Nadi? Apa kau di dalam?” Aku memanggil namanya setelah menekan bel flatnya beberapa kali. Tidak ada sahutan. Apa dia sedang keluar? Tapi ini hari minggu dan masih pagi sekali. Aku memutuskan menghubungi Theo. “Nadi bersamamu?” tanyaku kepada Theo melalui telepon. “....” “Pin tempatmu berapa?” “...” segera aku mengakhiri panggilan dengan Theo dan memasukkan pin-nya. “Nadi?” seruku memanggil namanya sambil berjalan ke dapur dan ruang tengah. Dia tidak ada. “Apa dia masih tidur?” pikirku. Dengan segala pikiran buruk, aku membuka pintu kamar Nadi. Nafasku yang tadi tertahan akhirnya bisa sedikit lega. Rupanya dia di dalam sana sedang berbaring tidur dengan lelap. Aku masuk dan duduk di samping tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat bahkan tidak menyadari kehadiranku, apa dia terlalu lelah akhir-akhir ini? Sambil berdiri, aku berjalan menuju pintu dan menanggalkan sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah di samping pintu masuk. Sambil melirik lagi ke dalam kamar Nadi, aku tidak tega membangunkannya. Karena itu, aku berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi seadanya. Kulihat nasi masih ada di dalam rice cooker, maka aku hanya akan memanaskan makanan yang tadi sempat kubawa dari perjalanan. Ketika semua tersaji di meja makan, aku menatap jam. Sekitar tiga puluh menit aku di dapur dan Nadi masih belum keluar kamar. JIka menunggu lebih lama, maka sarapan akan dingin. Akhirnya, aku melangkah menuju kamar untuk membangunkannya. Bagaimana pun, sarapan pagi tidak boleh dilewatkan. Aku mengetuk kamar Nadi, memastikan apakah dia sudah terbangun. Lagi-lagi tidak ada sahutan, pintu kamar yang terbuka langsung menunjukkan Nadi yang masih terlelap di posisi tadi. Dahiku berkerut. Apa dia sakit? “Nadi..” seruku membangunkannya. Tidak ada respon. Aku mendekat dan mengukur suhu tubuhnya dengan meletakkan telapak tangan di dahinya. Tidak ada tanda-tanda sakit, hanya saja tubuhnya sedikit lebih dingin dari suhu normal. Aku melihat AC yang menyala dengan suhu rendah dan segera mematikannya. “Nadi? Bangun, jangan lewatkan sarapan.” Aku sedikit mengguncang bahu Nadi. Nadi mulai menggeliat, merasakan kehadiranku. “Hhh..” Nadi membuka matanya yang tampak berat. Aku yakin tidak salah lihat pada bulu mata dan bibirnya yang bergetar halus. Nadi membentuk senyum tipis di bibirnya yang terkesan susah payah dan terpaksa. Aku tersenyum lega melihatnya sudah bangun. “Kau sakit. Kenapa tidak bilang?” tanyaku. Nadi sedikit tertegun dengan pertanyaan ku. Dia merentangkan kedua tangan minta dibantu duduk. Aku semakin heran, apa yang terjadi sebenarnya kepada Nadi? Apa ini berkaitan dengan hal yang ingin diucapkannya malam itu? Aku jadi menduga-duga apakah Nadi menderita suatu penyakit mematikan seperti kanker atau tumor. Setelah Nadi berhasil duduk, aku mengambil makanan yang tadi tersedia di atas meja makan. Sepertinya lebih baik jika dia makan di tempat tidur saja. Aku menyuapi Nadi dan sedikit bingung dengan caranya menelan nasi, dia kesusahan. Aku meletakkan sendok. “Sebenarnya apa yang terjadi?” Aku tidak sadar suaraku menjadi datar dan dingin, hingga suasana di antara kami tidak nyaman. Nadi jelas menyembunyikan sesuatu dariku. Nadi menggeser kedua kakinya untuk menapak di lantai sementara aku segera memindahkan sarapan yang belum habis itu ke atas meja. Nadi terlihat mengambil sesuatu dari laci dan kembali duduk. Nadi menggenggam kedua tanganku dan membawanya untuk menutupi pipinya yang berbentuk tirus. Tak sepatah pun kata keluar dari mulut ketika Nadi menangis tersedu. Bahunya naik turun akibat isakan tangis yang berusaha ditahannya. “Hei, don’t cry,” ucapku. Perasaan marah yang tadi sempat timbul menguap begitu saja saat aku merengkuh Nadi. Sampai dia tenang, akhirnya kertas yang tadi diambilnya dari laci diserahkan padaku. Jujur saja perasaanku saat ini adalah kelabu, dan warna kelabu itu didominasi rasa ingin tau yang besar dan sakit dari jantungku yang berdebar berlebihan. Segera kubuka amplop yang ternyata berasal dari Cipto Medical Center. Rahangku mengatup dan gigiku bergemeletuk mengingat nama rumah sakit terkenal itu. Kertas yang ada di dalamnya benar-benar di luar dugaan. Ada foto hitam putih, dengan tulisan medis di sampingnya. Sejauh mengamati gambar itu, mataku hanya tertuju pada satu titik hitam yang lumayan besar. Aku melihat Nadi memastikan dugaan, tidak mungkin kehamilan, karena yang kutau, kami melakukan gaya pacaran yang sopan dan wajar. Tanganku segera menunjuk keterangan di kertas yang lainnya dan terpukul dengan kenyataan yang ada. Aku yang masih memegang kedua kertas tadi langsung memeluk Nadi yang kembali menangis. Ini berat untuk kami berdua, bahkan untukku. Cobaan berat ini sungguh tidak terpukul oleh setiap perempuan dengan dirinya sendiri. Pantas saja Nadi terlihat begitu frustasi dan sekarang aku mengerti kenapa bibirnya pucat dan matanya bengkak. “Al, aku..a..ku akan baik-baik saja jika kau pergi meninggalkanku. Biarkan aku sendiri karena aku tidak berguna.” Kalimat itu meluncur dari bibirnya begitu saja tanpa keraguan. Emosiku yang terkubur jauh di laut saat menghadapi Nadi terpancing keluar. Dia menganggap remeh perasaanku padanya. Tanganku mencengkram kedua lengannya kuat. “Perkataanmu tidak masuk akal,” ucapku geram. “Kau kekasihku. Masalahmu berarti milikmu dan milikku. Kita bisa menghadapinya bersama. Jangan pernah bicara seperti itu lagi, kau mengerti?” Nadi tidak menjawab ku atau sekedar mengangguk atau menggeleng. Hanya saja tangisnya semakin pecah. Cengkraman di lengannya kulepaskan dan kupeluk lagi tubuhnya. Dia sedang terguncang, tidak seharusnya dia dihadapi dengan emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD