CHAPTER 8

1142 Words
Nadi POV Berdebat dengan pikiran adalah hal yang ku hindari. Rizky memang membuka mataku, tapi juga membuat semuanya jadi lebih sulit. Saat ini, aku jadi ragu pada tekat yang tadi sudah bulat. Perut yang keroncongan membuat kepala semakin pusing, aku tidak mungkin mengurung diri seharian sampai malam tanpa mengisi perut. Bisa-bisa aku pingsan dan tak punya tenaga. Dengan ragu-ragu aku membuka pintu dan ruang tamu yang sepi langsung terlihat. Aku mendesah lega saat tas yang berisi barang-barang Al sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum melangkah ke dapur, aku memasang telinga untuk mendengar baik-baik. Sepertinya Rizky juga sudah pulang karena tidak ada suara sama sekali dari arah dapur. Aku pun melangkah ke sana. Aku melihat meja makan yang masih terisi makanan penuh. Langkahku terhenti ketika melihat berpasang-pasang mata yang menatapku ada di sana. Tidak hanya Rizky, tapi Theo dan juga Lya ada di sana. “Apa?” kataku refleks ketika mereka semua melihatku. Karena mereka tidak ada yang mau menjawab ku, akhirnya aku duduk di kursi dekat dengan Lya. Aku membiarkan Theo menyendok makanan ke piringku karena nasi dan lauk-pauk lebih dekat ke padanya. Sedangkan Rizky memilih duduk dan menghadap ke arah jendela kaca. Kulihat dari samping, wajahnya terlihat tegang. Aneh, “apa dia masih marah tentang yang tadi?” pikirku. Saat aku makan, dahiku berkerut saat melihat mereka yang tidak menyentuh makanan mereka sama sekali. “Kenapa hanya aku yang makan?” tanyaku pada Lya. Lya menepuk bahuku sambil tersenyum. “Makanlah, agar kau tidak sakit!” Aku menyerngit bingung menghentikan kegiatan makan sejenak. “Lalu untuk apa kalian di sini menungguku?” “Kami berdua sedang mencegah terjadinya perang dunia ketiga di tempat ini,” bisik Lya dekat ke telingaku. Aku melihat ke arah matanya yang melirik pada Rizky dan pintu kamar tamu. Aku baru sadar pintu kamar tamu terbuka, dan terlihat Al yang terlihat hilir mudik di sana sedang membereskan pakaian ke dalam lemari. Aku terkejut, meminum air dalam gelas dan bangkit berdiri, tapi Lya menarik tanganku menyuruhku duduk kembali. “Kau ke sana sama saja dengan menyia-nyiakan usaha kami menjaga perdamaian, Nad,” desis Lya. “Apa maksud kalian sebenarnya?” tanyaku balik meminta penjelasan pada Rizky, kini memberikan perhatian pada kami. “Al ingin tinggal di sini bersamamu. Dia sendiri yang akan mengantarmu berobat ke dokter kenalannya,” jelas Rizky penuh emosi. Keningku berkerut, aku menghempaskan tangan Lya. Hal ini tidak boleh dibiarkan. Al tidak boleh tinggal di sini. “Apa maksudmu tinggal di sini? Apa kau tidak dengar tadi bahwa aku memutuskanmu?” bentakku sambil menghempaskan pintu. Mendengar suaraku menggelegar, Al meletakkan kembali buku di tangannya ke atas tempat tidur. Dia berjalan mendekat ke arahku dan tersenyum lebar. “Aku sudah meminta Theo agar tinggal di apartemenku, tapi dia lebih memilih tinggal di asrama kantor. Mulai saat ini, aku akan tinggal di sini untuk menjagamu,” jelasnya. Al sama sekali tidak menanggapi pertanyaanku. Aku memasang tampang datar. Sepertinya Al menganggap remeh perkataanku. “Belum jelaskah hal itu bagimu, Al? Aku tidak menginginkanmu di sini atau dimana pun. Kita tidak seharusnya bertemu lagi.” Tapi Al mendekat dengan senyumnya yang semakin lebar, tidak pernah kulihat dia sesabar dan seperti ini. Selama ini Al hanya sering menunjukkan senyum tipisnya. Walaupun dia tersenyum lebar, itu pun bisa dihitung jari. “Kau tidak perlu mencemaskan ku Nad, aku tetap mencintaimu walaupun kau tidak percaya diri saat ini. Aku akan terus di sini walaupun kau mengusirku sekali pun.” Emosiku membumbung tinggi, sebagian besar karena kesal dengan tingkah Al. “Kau bilang kau mencintaiku, tapi kenapa baru saat ini kau bertingkah manis Al? Dari kemarin yang kuingat, kau terus bertingkah dingin padaku. Aku tidak perlu mendapat kasihan darimu!” tekanku berapi-api. Rasanya bahkan ingin menangis karna emosi yang menyesak di dadaku. Tapi Al bukannya marah dan membentakku. Dia menghela nafas, merangkul bahuku ke dadanya yang bidang. Aku bisa merasakan tentramnya detak jantungnya dan hangat tubuhnya. Sebelum amarahku habis tidak bersisa, aku mendorong d**a Al dan menatapnya marah. “Jangan kau sentuh aku lagi!” bentakku. Al mengangkat kedua tangannya ke udara pertanda dia menyerah atas tingkahku. Ku pikir Al akan pergi tapi dia malah melanjutkan merapikan buku-bukunya ke dalam lemari. Aku yang ditinggal tiba-tiba merasa kosong. “Kau bisa mendinginkan pikiran dulu. Kalau sudah tenang, kita akan bicarakan hal ini berdua,” ucap Al. Berdiri di sini dan diabaikan bukanlah pilihan yang baik. Al juga tidak akan berhenti bicara seolah dia tau aku akan mendengarkan perkataannya. Walau kenyataannya memang begitu, bahkan semua perkataan Al selalu kurenungkan dalam kepala baik-baik. “Satu lagi, Nad. Jangan pernah berniat kabur atau pergi dari rumah ini jika kau tidak ingin terjadi hal yang tidak baik,” titah Al masih dapat kudengar saat langkahku masih belum jauh dari pintu. Aku menutup pintu kamar Al dengan keras untuk melampiaskan kekesalanku. “Kenapa kalian berdiri di sana?” tanyaku pada Lya dan Theo yang berdiri di dekat pintu keluar. “Nad, kau tau kan Al meminta Theo untuk pindah dari sore tadi?” tanya Lya. Theo yang berdiri di samping Lya menatapku serba salah. “Ya, aku tau. Kupikir kalian akan ikut menentang keputusan Al mengingat apa kata orang jika kami tinggal hanya berdua di rumah ini...” “Tentu awalnya aku tidak setuju, Kak. Tapi Kak Al juga tidak akan bertindak sejauh ini jika dia tidak memikirkan dampak dari perbuatannya,” terang adikku Theo. “Nad, please.. Jangan terlalu keras kepala. Kau tau bahwa hatimu sebenarnya tidak bisa menolak Al. Jangan menyia-nyiakannya Nad.” Lya juga ikut-ikutan membela Al. Sebenarnya mereka ini berada di pihak siapa sih? “Sudah lah, Kak. Jangan sedih begitu. Kami juga bukan pergi untuk selamanya. Kami akan seiring mengunjungimu kemari.” Melihat mereka berdua yang sependapat, aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Akhirnya aku hanya bisa mengangguk dan merelakan mereka untuk pergi. “Riz,” ucapku menyadarkan Rizky yang masih terlarut dalam pikirannya. Saat ini di dalam rumah tinggal Rizky yang belum pulang. “Hmm?” “Apa kau marah padaku?” tanyaku memastikan hal apa yang membuat Rizky kesal. “Ah, tidak. Aku hanya kesal pada sifat pacarmu itu. Dia terlalu posesif dan semaunya sendiri. Awalnya aku memang mendukung kalian bersama, tapi melihat dia yang seenaknya mengubah keputusan, aku jadi kesal padanya. Dia bahkan menghina rumah sakit dan kemampuan ibuku untuk mengobatimu,” jelas Rizky kesal. Aku mengangguk, memang begitu lah sifat alamiah dari Al. Sifat-sifat yang berhubungan dengan datar, dingin, irit bicara, irit senyum, dan pantang menyerah melekat semua padanya. Namun, ada kalanya dia akan berubah sesuai kondisi dan keadaan. “Percuma saja aku mengeluh padamu!” kesal Rizky. Dahiku berkerut bingung mendengarnya. “Pipimu dan matamu sudah menjelaskan semuanya, Nad. Diam-diam kau memang menyukai kepribadian Al yang begitu. Dasar! Kalian sama saja. Aku pulang saja kalau begitu,” keluh Al dan berlalu pergi. Aku yang berdiri masih memegang dahiku yang tadi disentil oleh Rizky. Apa maksud dari kata-katanya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD