Pesona Ketua OSIS

1652 Words
Dean langsung mencari kelasnya yaitu, kelas X-B. Sebenarnya dia ingin ke kantin dulu, tapi setelah memeriksa tasnya dia lupa bawa dompet dan hanya ada bekal di tasnya. Dia mengacak rambutnya lagi dan tiba-tiba ada sebuah tangan yang menawarkan air mineral padanya. “Buat kamu! Makasih, setidaknya walaupun nyaris mati karena jantungan tapi saya gak terlambat.” Ujar Becca menawarkan air mineral yang tidak seberapa buat Dean. “Makasih banget, Rebecca!” Dean berterima kasih lalu menerima minuman dari Becca. Gadis itu tersenyum sambil berjalan beriringan dengan Dean. “Kamu sekelas denganku.” Kata Becca membuat Dean membelalakkan matanya. “Seriusan? Bagus lah kalau begitu, aku langsung punya teman. Senang berkenalan denganmu ya, Rebecca. Oh iya, nama lengkap Lo siapa?” Dean menanyakan nama lengkap Becca. “Rebecca Karen, panggil saja Becca. Kalau kamu?” Jawab Becca sambil bertanya balik pada Dean. “Oh iya, nama gue Dean Alvaro Wijaya. Panggil aja Dean! Oh iya, darimana kamu tahu kita sekelas?” Dean meperkenalkan diri tapi bertanya soal bagaimana Becca tahu kalau mereka sekelas. “Iya, soalnya saat absen cuma yang namanya Dean gak ada di kelas. Guru juga bilang kalau kemungkinan siwa yang dihukum itu adalah salah satu murid di kelas X-B.” jelas Becca diangguki oleh Dean. Tak terasa, mereka masuk ke kelas dan kini Dean bisa menyantap bekalnya di lengkapi dengan minuman yang diberikan oleh Becca. Di kantin Irene dan Marsha baru saja selesai makan siang di kantin. Mereka masih duduk bersama menunggu bel masuk untuk pelajaran berikutnya. Mereka sambil meminum minuman mereka dan mengobrol. Bisa dibilang, fasilitas kantin di SMA Nusa Bangsa ini menyamai café. Karena Sekolah ini berbasis Internasional dan juga sangat terkenal di negeri ini. Tak lama, seseorang masuk ke kantin membuat heboh para sisiwi satu kantin. “Itu kak Kevin!” teriak mereka sambil mengerubungi Kevin. Padahal dia hanya ingin membeli minuman tapi malah begini. “Pesona ketua OSIS luar biasa, ya.” Marsha berpendapat tapi Irene malah mencengkram pipetnya dengan kesal. “Aku pengen gabung OSIS, sih. Kamu gimana, Rene?” tanya Marsha pada Irene. “Gak minat tuh! Anak OSIS itu kan kerjaannya caper.” Jawab Irene nge-judge. “Ih! Gak begitu juga! Bergabung ke organisasi OSIS itu sama saja kita berlatih bermusyawarah dan belajar untuk melakukan tanggung jawab.” Marsha sedikit tak terima dengan penilaian Irene soal anak OSIS. “Terserah lah! Tapi dari dulu gue gak pernah berminat gabung OSIS. Gue lebih suka mengukir prestasi dengan mengikuti berbagai olimpiade dan mengharumkan nama sekolah. Banyakkan dari siswi disini pasti bergabung ke OSIS karena caper sama kak Kevin. Bikin kesal aja!” balas Irene dengan nada kesal melihat kepopuleran dari cowok yang dia suka dari kecil. “Kamu kenal sama ketua OSIS?” tanya Marsha gak percaya. “Kenal lah! Kami berteman sejak kecil. Sangat dekat bahkan!” Irene berujar bangga karena kedekatannya dengan Kevin. Tak lama, Kevin menghampirinya dan menyapanya,” Hai Rene, gimana hari pertama kamu? Sepertinya langsung ada teman, nih!” Melihat Kevin yang menyapa Irene di kantin membuat gadis itu tersenyum sombong kearah siswi-siswi yang dari tadi mengerubungi Kevin. ‘Tau kan dimana posisi kalian sekarang?’ bangga Irene dalam hatinya. “Hari pertama aku baik kok, Kak. Makasih loh sudah perhatiin.” Jawab Irene tersenyum. “Baguslah, tapi sepertinya kakak gak bisa antar kamu pulang karena ada banyak tugas OSIS yang mesti kakak kerjakan. Kamu dijemput aja atau naik taksi, ya.” Kevin memberi tahu membuat Irene langsung kecewa. Tapi akhirnya dia mengangguk lalu menjawab,” Gak apa, kak! Semangat ya!”. Kevin mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban kepada Irene. Sedangkan Irene sebenarnya sangat kecewa tapi dia tak bisa berbuat ataupun berkata apa-apa. Dia bukan siapa-siapanya Kevin yang bisa mengatur pria itu. Dia hanya teman masa kecil dan tidak lebih. “Rene? Melamun aja? Itu bel masuk udah bunyi.” Marsha menyadarkan Irene yang terdiam setelah kepergian Kevin. Mereka langsung beranjak dari duduk mereka dan masuk ke kelas. Ya, tanpa terasa bel pulang pun sudah berbunyi. Hari pertama sekolah di jenjang SMA untuk hari ini sudah usai. Sekeluarnya dari kelas, Irene langsung menelpon papanya untuk menjemputnya. Dia menunggu jemputannya di parkiran sambil duduk di bangku yang ada disitu. “Eh, kamu?” tanya Dean yang melihat Irene duduk di dekat parkiran. Dia tadinya mau mengambil motornya. “Oh, hai! Lo siswa yang di hukum tadi ya?” Irene menyahut membuat Dean terkikik samba duduk disebelah Irene. “Gue langsung famous ya, karena menghormat bendera sepanjang hari tanpa peduli panasnya terik matahari.” Dean malah berujar bangga membuat Irene tertawa kecil. “Lo PD amat ya, meski dihukum sama guru.” Balas Irene. “PD ajalah! Siapa tahu ini adalah awal dimana para guru gak bakal pernah melupakan gue. Oh iya, nama gue Dean Alvaro Wijaya. Boleh gue tau nama lo?” Dean memperkenalkan diri sambil menanyakan nama Irene. “Gue Irene Alicia Hanendra.” Irene memperkenalkan dirinya pula. “Oh… Hanendra ya.” Dean langsung mengenali nama Keluarganya Irene. “Iya, kenapa?” Irene bertanya mendengar tanggapan Dean soal nama keluarganya. “Kalo gak salah ya, keluarga Lo punya Perusahaan Penerbitan buku terbesar di kota ini, ya?” Dean menjelaskan dengan hati-hati. “Iya! Kok kamu tahu? Rajin baca buku dan lihat siapa penerbitnya, ya?” tanya Irene karena Dean tahu soal keluarganya. “Gue gak rajin baca buku, kok. Hanya saja, Perusahaan Hanendra adalah rekan kerja papa gue. Papa kita temenan, gitu lah singkatnya.” Jawab Dean dibalas anggukan oleh Irene. “Jadi… boleh ga, gue jadi teman lo?” tawar Dean pada Irene membuat gadis itu mengernyit. ‘TIN! TIN!’ suara klakson mobil mengalihkan perhatian keduanya. Irene tahu kalau itu adalah mobil papanya dan langsung beranjak. “Jadi… karena bokap kita temenan, kita mesti temenan juga gitu?” tanya Irene sambil tersenyum miring membuat Dean terdiam. Melihat ekspresi Dean, Irene langsung tertawa dan berujar,”Ahahaha! Okay! Gue mau jadi temen lo, Dean! Sampai besok ya!”. Mendengar itu, Dean tersenyum bahagia karena langkah pertamanya menuju pendekatan sudah dimulai. “Yoshh! Step one, done!” gumamnya senang lalu beranjak mengambil motornya. Sementara itu di mobil, Irene sedang memeriksa HP-nya karena wali kelasnya baru saja menggabungkannya ke grup kelas. Biasalah, awalnya langsung ribut. Lama-lama bakalan sepi kayak kuburan. Yakin deh! “Gimana hari pertama kamu?” tanya sang ayah soal hari pertama sekolah putrinya. “Baik Pa! Temen SMP aku si Dana ternyata sekelas denganku. Ada juga teman cewek namanya Marsha Adelin Purnama. Tadi barusan aku juga kenal sama yang namanya Dean Alvaro Wijaya. Papa kenal orang tuanya, gak? Katanya tadi papanya berteman sama papa.” Jawab Irene pada papanya. “Oh, Wijaya ya! Nama papanya itu Eddy Leonard Wijaya. Dia adalah teman seangkatan papa, sebenarnya lebih tua setahun sih. Dia adalah investor terbesar di Perusahaan kita. Kami memang sudah berteman sebelum berbisnis. Jadi, yang bicara sama kamu itu tadi anaknya ya? Dia cuma punya seorang anak laki-laki. Ganteng gak?” jelas Othman soal keluarga Wijaya pada putrinya. “Ohh… gitu ya, Pa! Ganteng sih, lumayan. Dia langsung populer gitu lho. Soalnya langsung dihukum di hari pertama.” Jawab Irene dan dibalas tawa oleh papanya. “HAHAHAHA! Masa?” tawanya. “Iya, aku juga terkejut ada siswa yang berulah di hari pertama.” Ujar Irene. “Gitu ya? Kevin gimana? Dia terlalu sibuk dengan urusan OSIS sampai gak sempat anterin kamu? Kasihan~” ejek Othman membuat putri sulungya menggembungkan pipinya kesal. “Marah ya? Kamu masih muda Rene, kamu jangan mengunci perasaanmu pada satu orang saja. Jalanmu masih panjang, nak! Berfokuslah pada pendidikanmu dulu. Kevin melakukan hal yang sama kan? Kamu jangan buat perasaanmu memengaruhi prestasimu.” Othman mengarahkan putrinya supaya tidak berfokus soal urusan asmara. “Tapi kalau pacaran untuk menyemangati aku belajar kan gak salah, pa?” Irene masih belum mau kalah. “Benar, tapi apa pacaran akan selalu mulus? Pasti ada fase berantem dan gimanalah. Mau gak mau itu bakalan memperngaruhi kenerja kamu dalam belajar. Kamu juga bisa stress, nak. Papa selama ini dukung kamu berteman dengan Kevin, tapi kalau pacaran lihat nanti dulu.” Jelas sang papa membuat Irene terpaksa mengangguk. Irene mengerti kalau maksud papanya memang baik, tapi hatinya masih ingin memiliki Kevin untuk dirinya sendiri. Memang, hati anak muda selalu diselimuti oleh kebodohan. Hari ini pun berlalu begitu saja dan hari esok datang dengan begitu cepat. Seperti biasa, Irene masih di jemput oleh Kevin ke sekolah. Dia sangat senang Kevin memperlakukannya dengan istimewa. Di sepanjang perjalanan, Kevin membuka pembicaraan dengan Irene. “Rene, kamu berminat gabung ke OSIS?”. “OSIS? Gimana ya kak, dari dulu aku sih gak berminat sama sekali.” Jawab Irene seadanya. Meski dia sangat menyukai Kevin, tapi dia tidak mau gabung OSIS supaya bisa dekat dengan Kevin. Dia bukannya terlalu jual mahal juga, tapi dia gak mau memaksakan sesuatu yang tidak dia minati dan berusaha menjadi orang lain demi cinta. Itu terlalu klise menurutnya. “Hmm, begitu ya.” Kevin hanya mengangguk. Tak terasa, sampailah mereka di sekolah. Sebelum masuk, Kevin memberhentikan mobilnya lalu melihat kearah Irene, “ Kamu turun disini saja. Semalam kamu sampai himpit-himpitan sama siswi lain. Gak masalah, kan?”. Irene agak terkejut tapi dia akhirnya mengangguk dan merasa saran Kevin memang ada benarnya juga. Dia turun dan berjalan kaki masuk ke gerbang sekolah. Dari jauh, dia bisa melihat bagaimana populernya seorang Kevin Aldrich Kesuma di sekolah ini. Irene mengepalkan tangan kesal karena melihat betapa mudahnya Kevin menebar senyum kepada semua wanita. ‘Cih! Aku benci kalau melihat semua ini di depan mataku.’ Decih Irene kesal dalam hatinya. Dia langsung memilih masuk ke kelas daripada dia harus melihat pemandangan yang memuakkan baginya. Moodnya pagi ini benar-benar buruk. Tiba-tiba, Marsha menyamperin Irene, “Eh say, kamu mau daftar OSIS gak? Aku udah daftar, lho!”. Ya, Marsha mengajaknya untuk ikut masuk OSIS. “Kemarin kamu lupa kalau aku gak niat sama sekali dengan OSIS?” Irene membalasnya dengan nada kesal apalagi teringat soal kepopuleran Kevin. “Iya… iya! Santai dong!” ujar Marsha melihat kekesalan diwajah Irene. Setelah pembicaraan itu, Marsha balik ke tempat duduknya daripada bicara dengan Irene yang moodnya kelihatan buruk di pagi hari. Kelas langsung di mulai dengan berbagai pelajaran dan jujur saja, Irene sama sekali gak bisa konsenterasi. Bahkan, sampai jam istirahat dia memilih untuk berdiam di kelas dan menolak ajakkan Marsha untuk ke kantin. Sementara di Kelas B Suasana di kelas B sangat rame apalagi ketika jam istirahat. Di hari keduanya bersekolah, Dean sudah punya banyak teman. Ada yang cowok dan juga ada yang cewek. Saat akan keluar menuju kantin, Becca menghampiri Dean untuk bertanya,” Kamu berminat gabung OSIS? Mereka sudah buka pendaftaran mulai hari ini”. Mendengar itu, Dean hanya memutar bola matanya malas sambil menjawab,”Malas! OSIS itu organisasi banyak bacod dan tukang ngatur. Lo sendiri?”. “Aku dari dulu berminat, tapi sedikit aku kasih tau ya, kamu jangan bicara seperti itu di depan anggota OSIS. Nanti di massa baru tahu.” Jawab Becca sambil mengingatkan Dean. Cowok itu hanya mengangguk-angguk mendengarkan Becca. Tak lama, Marco menepuk bahunya, “Oi! Jadi ngantin, gak?”. “Yuk lah!” Dean langsung cabut dengan beberapa temannya. Sementara Becca hanya memandangi Dean yang sudah beranjak pergi ke kantin. Dia tidak ke kantin bersama yang lain, karena harga jajanan di kantin mahal. Sakunya gak sanggup jajan di kantin sekolah ini. Dia hanyalah murid beasiswa yang beruntung karena kepintarannya. Lalu, Becca beranjak ke ruang OSIS untuk mengambil formulir pendaftaran anggota baru OSIS. Dia ingin belajar banyak hal dalam Organisasi Siswa/i itu. Saat berjalan ke kantin bersama beberapa teman sekelasnya, Dean sengaja mencuri-curi pandang ke kelas A. Ternyata dia benar dan merasa beruntung hari ini. Kenapa? Dia sudah melihat Irene untuk hari ini. Rasanya kalau sudah melihat Irene, hatinya sangat senang. Biasalah, perasaan ABG tanggung. Tapi tak lama, seorang siswi mendatanginya dengan muka galak dan langsung menamparnya tanpa belas kasihan. ‘PLAK!’ Dean yang yang ditampar tentu saja terkejut dan memegang bekas tamparan itu sambil terdiam. Langsung saja, seluruh kelas A heboh dengan kejadian ini dan berkumpul di depan kelas. Siswi itu adalah Lani, mantan Dean waktu SMP. “Masih bisa ya, loe nunjukkin batang hidung loe disini? Gimana ya, cowok yang bandelnya kebangetan dan gak ada prestasinya sama sekali bisa masuk ke sekolah ini? Oh, iya! Gue lupa kalau bokap loe holkay ya!” sindir Lani dengan nada marah. Marco dan Jogi sebagai temannya Dean hanya terdiam melihat pertunjukkan ini. Anak kelas A yang lain juga hanya jadi penonton. “Loe kenapa sih, Lan? Salah gue apa coba?” Dean gak terima dipermalukan sama Lani. “Salah loe? Loe sengaja ngintipin kelas gue untuk ngeliatin gue? Kita itu mantan dan semua tentang kita itu dah lama selesai! Jadi gak usah berharap lagi!” jawab Lani penuh keyakinan membuat Dean tertawa. “AHAHAHAHAHA! Candaan loe gak lucu! Kita emang dah putus 6 bulan yang lalu, tapi mana ada gue ngarepin loe? Siapa yang ngintipin loe, hah? Tau loe sekolah disini aja, enggak! Loe kali yang masih ada rasa sama gue! Dah lah males berantem sama cewek! Cabut bro!” ujar Dean kembali mempermalukan Lani. Seperginya Dean, Lani langsung menghentak-hentakkan kakinya kesal. “Ihh!! Ngeselin!” gumamnya kesal sementara yang lain malah diam-diam berbisik soal dirinya yang membuat masalah dengan anak kelas B.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD