Takut Mencintai

1026 Words
Hari Senin pun tiba. Nayyara yang sudah berpakaian lengkap sedang menyiapkan sarapan bersama Felisha yang juga sudah rapi. Hari ini ia akan pulang ke rumahnya dengan diantar oleh Nayyara karena rumah Felisha searah dengan kampus tempat Nayyara bekerja. "Nay, lo pulang jam berapa hari ini?" tanya Felisha usai menata piring di meja makan. "Gue pulang jam lima sore, soalnya gue mau ketemu dulu sama dua pembimbing disertasi gue habis ngajar nanti," jawab Nayyara. "Iya, deh, yang bentar lagi gelarnya nambah. Udah dapat dua gelar di belakang, eh nambah lagi di depan," celetuk Felisha. Nayyara hanya tersenyum geli mendengar ocehan sahabatnya. "Semoga lo cepat-cepat ACC, ya!" ucap Felisha tulus. "Aamiin!" "Kalau udah ACC, kira-kira lo wisuda kapan?" "Insya Allah dua bulan lagi." "Wah, gak terasa lagi tuh." "Iya. Memang melelahkan karena gue kuliah sambil ngajar." "Setelah ini gue pengen dapat undangan dari lo," ujar Felisha sembari tersenyum penuh arti. Nayyara mendelik. "Undangan apa maksud lo? Syukuran wisuda gue?" tanya Nayyara ketus. "Ya elah, please, Nay! Jangan pura-pura bodoh di depan gue!" balas Felisha tak kalah ketusnya. "Itu mah nanti aja, Feli. Gue lagi asyik kerja!" "Usiamu terus bertambah, Nayyara! Lagi pula, lo bukan lagi gagal move on dari Zain, kan?" "Gak perlu sebut-sebut nama dia juga, Feli!" ujar Nayyara dengan tatapan menusuk pada sahabatnya. "Santai aja, Beb! Gak perlu sampai melotot juga. Gue tunggu aja undangan dari lo! Pokoknya, begitu lo dapat cowok ganteng lagi tajir, kenalin ke gue!" pungkas Felisha. Nayyara memilih menikmati sarapannya daripada mendengar ocehan sahabatnya yang selalu membahas perkara tentang jodoh. Lagi-lagi sahabatnya tak henti mendesak dirinya untuk segera menikah. "Andai gue gak kasihan sama anaknya, udah gue sobek tuh bibir seksi emaknya," gumam Nayyara dalam hati. *** "Thanks, ya, Nay udah anterin gue pulang!" ucap Felisha sambil mengecup pipi kiri sahabatnya. "Iya, sama-sama! Tuh laki lo di depan pintu!" sahut Nayyara seraya menunjuk ke arah sosok pria tinggi dengan wajah blasteran Jepang karena gen dari ibunya. "Hai Nayyara, kok buru2 banget? Gak mampir dulu?" sapa Andre, suami Felisha, pada Nayyara. "Maaf, Kak. Lain kali saja. Saya hampir terlambat nih," tolak Nayyara secara halus. "Ya udah, lo hati-hati nyetirnya!" timpal Felisha seraya melambaikan tangannya. Nayyara hanya membalas dengan lambaian tangannya dan melanjutkan perjalanannya menuju kampus. Tiga puluh menit kemudian, ia sudah tiba di gedung fakultas tempatnya mengajar. Ia segera keluar dan menutup pintu mobil di bagian kemudi, lalu membuka pintu mobil yang di belakang untuk mengambil tas dan buku-buku yang ia bawa dan menutup pintunya kembali, juga mengunci mobilnya. Ia berjalan masuk ke gedung fakultas tersebut. Selama ia melangkah, para mahasiswa menyapanya dengan hormat dan ia hanya membalas sapaan para mahasiswa dengan tersenyum tipis. Ia merupakan salah satu dosen yang cukup disegani meskipun usianya masih muda. "Nay!" Seorang rekan sesama dosen bernama Fahri memanggilnya. Begitu Nayyara berhenti, ia segera menghampirinya dengan setengah berlari. "Ya?" "Nanti kamu mau bimbingan, kan? Kapan?" "Insya Allah jam dua siang. Kenapa?" "Barengan, ya!" "Hmm ... Ya sudah!" "Oke! Nanti aku hubungi kamu, ya!" "Iya," sahut Nayyara sambil menganggukkan kepala. Ia melirik jam di ponselnya sejenak lalu berkata, "Maaf, saya buru-buru. Anak semester lima sudah menunggu." Fahri menjawab dengan anggukan kepala. Nayyara pun berlalu menuju ruang kelas yang ada di lantai tiga, meninggalkan Fahri yang tersenyum ke arahnya hingga ia tak tampak lagi. Fahri yang telah lama memendam cinta untuknya, sejak mereka sama-sama menempuh pendidikan magister hingga sekarang saat penyelesaian pendidikan doktor. Nayyara memang sudah berulang kali menolak perasaan Fahri secara baik-baik, tetapi sepertinya Fahri masih berusaha keras untuk membawa Nayyara masuk ke dalam hidupnya secara utuh. *** Jam perkuliahan telah usai. Seluruh mahasiswa Sastra Arab Kelas B semester tiga keluar dari kelas setelah mengikuti mata kuliah yang diajarkan oleh Nayyara. Sejenak ia berdiri dari kursinya dan meregangkan ototnya. Dirinya merasa lelah karena setelah mengajar di kelas A semester lima, ia langsung menuju ke ruang kelas B semester tiga. Setidaknya, ia merasa lebih baik bekerja daripada berdiam diri di rumah. Waktu zuhur sudah tiba. Ia segera menyimpan barang-barang di mobil terlebih dahulu dan hanya membawa tas kecil berisi ponsel dan dompetnya, lalu berjalan kaki menuju masjid kampus yang letaknya tak jauh dari gedung Fakultas Sastra. Sesampainya di masjid, ia segera mengambil air wudhu setelah melepas jilbabnya di tempat wudhu khusus wanita yang tertutup. Setelah mengambil air wudhu, ia kembali memakai jilbabnya dan kaus kakinya lalu berjalan masuk ke masjid. *** Nayyara yang telah konsultasi dengan dosen pembimbingnya akhirnya bernafas lega. Tenaga dan pikiran yang telah terkuras selama setahun menggarap disertasi miliknya akhirnya membuahkan hasil. Karya ilmiahnya telah ditandatangani oleh dua orang pembimbingnya dan siap diujikan dua minggu lagi. Nayyara bertemu dengan Fahri saat ia keluar dari gedung pascasarjana. Dengan senyum mengembang, Fahri menyapa dirinya. "Hai!" Nayyara hanya tersenyum tipis. "Baru selesai, Nay?" tanya Fahri ramah. "Iya. Kamu?" "Udah dari tadi sih." "Terus kenapa masih di sini?" tanya Nayyara heran. "Aku nungguin kamu. Kan tadi kita barengan ke sini." "Kamu pulang duluan juga gak apa-apa. Saya bisa pulang sendiri." "Kamu bawa mobil?" "Iya." Hening sejenak. Fahri seperti kehabisan bahan untuk terus berbincang dengan wanita yang ia cintai sejak dulu. "Nay ...." "Ada apa?" "Kamu mau jalan sama aku gak?" "Maaf, saya harus pulang, Fahri. Assalamu 'alaikum!" Nayyara yang sejak tadi merasa tidak nyaman dengan obrolan basa-basi Fahri akhirnya bernapas lega. Sebenarnya ia mengerti maksud Fahri yang mengajaknya jalan, tetapi ia tak ingin Fahri semakin berharap pada dirinya. Ia sudah lama tahu Fahri menyukainya. Hanya saja, ia tak bisa memaksakan perasaannya sendiri. Ya, perasaan takut untuk mencintai lagi. Karena ia tahu Fahri pria yang baik, maka ia tak ingin menyakiti hatinya. Perkenalan antara Nayyara dengannya berawal dari masa orientasi mahasiswa pascasarjana. Pria itu begitu kagum dengan sosok Nayyara yang pendiam dan anggun. Saat menjalani proses perkuliahan pun Nayyara adalah sosok yang menonjol di kelas karena kecerdasannya dan kemampuannya dalam menjelaskan materi perkuliahan juga isi dari kitab-kitab bahasa Arab. Setelah satu semester berlalu, barulah Fahri mulai berteman dengan Nayyara meskipun masih menyisakan jarak di antara mereka. Nayyara menghela napasnya dalam-dalam. Dari dalam mobil, ia masih melihat sosok Fahri yang menatap ke arahnya. "Lebih baik kamu berhenti berharap, Fahri. Masih ada yang lebih baik dariku, yang sampai saat ini masih sulit untuk mencintai," gumamnya pelan sebelum menyalakan mesin mobil lalu meninggalkan gedung pascasarjana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD