Nasihat Umma

1326 Words
Pukul 12.30, Hazig dan Keyra tiba di rumah keluarga Maqil. Hazig langsung disambut dengan pelukan hangat oleh Tania Khairunnisa, umma-nya. Kemudian tangan kanan Tania menjewer telinga kiri Hazig hingga putranya meringis kesakitan. "Aduh! Umma, sakit banget! Anaknya pulang kok dijewer sih?" gerutu Hazig. "Dasar anak nakal! Kamu ini sudah sebulan tidak pulang ke rumah! Kamu tak rindu Umma sama Baba, hah? Kita masih satu kota tapi kamu malas banget pulang ke rumah. Mentang-mentang udah punya apartemen jadi lupa sama Umma!" balas Tania. "Umma-ku sayang dan paling cantik di dunia ini, Hazig sibuk banget. Ada proyek yang harus Hazig selesaikan. Habis itu Umma terserah mau apa aja sama Hazig. Mau liburan ke luar negeri? Atau wisata keliling Indonesia? Hazig turutin deh." Ucap Hazig seraya mencium pipi kanan wanita yang telah melahirkannya. "Jangan coba-coba rayu istri Baba, Hazig!" Adnan Maqil angkat bicara seraya merangkul istrinya. Hazig mendengus pelan. Ia sudah sangat hafal sifat posesif ayahnya itu. "Umma gak mau itu semua. Umma maunya menantu cantik lagi salehh. TITIK! Gitu aja kok susah banget sih, Nak!" ujar Tania seraya mengelus d**a. Nah ini! Mulai lagi deh! Hazig mendengus sebal mendengar permintaan ibunya. "Hazig susah dapat yang kayak gitu, Umma," timpal Hazig. Tiba-tiba Keyra datang memanggil mereka. "Umma! Baba! Gak mau makan siang nih? Keburu dingin makanannya! Nanti aja kita bahas lagi soal jodoh untuk Kak Hazig!"  Lagi-lagi ucapan Keyra membuat bibir Hazig maju 1 cm. Seperti tak ada pembahasan lagi selain jodoh. Akhirnya mereka duduk di tempat masing-masing dan makan dalam diam. Suasana yang memang Hazig rindukan. Ia merasa bersalah pada orang tuanya yang masih setia menunggunya pulang. Waktunya benar-benar tersita oleh pekerjaan. One night stand juga tentu saja. Tapi untuk hal satu itu hanya Keyra yang mengetahuinya. Sebenarnya sudah lama ia memikirkan tentang pernikahan pasca kegagalan pernikahannya 3 tahun yang lalu. Ibunya pun sudah berulang kali memperkenalkan anak-anak dari sahabatnya untuk ia pertimbangkan sebagai calon istri. Hanya saja tak ada satu pun yang menarik di mata Hazig. *** Malam pun tiba. Saat ini orang tuanya dan Keyra sedang menonton sebuah acara dari sebuah stasiun TV di ruang keluarga. Entah apa yang mereka tonton sampai sesekali suara tawa mereka terdengar sampai ke telinga Hazig yang sedang berada di kamarnya. Ia duduk di sofa sambil menatap sebuah cincin. Cincin yang dulunya hendak ia sematkan di jari Alena sebelum ia mengetahui perselingkuhan wanita itu. Hazig kemudian berdiri menghadap jendela kamarnya sambil meneguk perlahan bir kaleng hingga habis tak bersisa. Matanya menerawang kembali pada masa lalu, di mana ia pernah mencintai seorang wanita begitu dalam. Wanita yang juga telah menorehkan luka hingga membuatnya begitu membenci komitmen pernikahan. Flashback 3 tahun yang lalu Hazig tengah tergesa-gesa menuju sebuah restoran untuk menemui kliennya yang tiba-tiba memintanya bertemu, padahal dua hari lagi ia akan menikah. Ia segera melangkahkan kakinya begitu melihat kliennya sudah duduk menunggu di meja yang terletak di sudut ruangan restoran itu. Ia pun berjabat tangan dengan kliennya itu dan segera memulai perbincangan tentang kerja sama mereka. Setelah perbincangan yang memakan waktu satu jam, kliennya berpamitan pada Hazig dan segera melangkah meninggalkan restoran. Hazig memilih tinggal untuk menghabiskan kopi yang telah ia pesan. Tiba-tiba matanya melihat ke arah pintu restoran yang terbuka. Hazig terkejut seketika melihat wanita yang sangat ia kenal sedang bergelut manja di lengan seorang pria yang juga sangat ia kenal. Alena dan Daniel. Calon istri dan sahabatnya bermesraan di depan matanya. Hazig segera berdiri dan melangkah dengan pelan mengikuti kedua orang itu hingga masuk di sebuah private room restoran itu. Hazig pun duduk di tempat yang jaraknya tak terlalu jauh dari mereka. Tangannya terkepal begitu kuat serta hatinya merasa panas melihat mereka berciuman di ruangan itu seolah hanya mereka yang berada di dalamnya. Mereka masih tak menyadari keberadaan Hazig. Hingga ia berdiri ingin segera menghajar Daniel saat itu juga, namun sebelum melangkah ia mendengar percakapan mereka. "Sayang, dua hari lagi kamu nikah. Aku jadi semakin sulit bertemu kamu." Daniel mengatakan itu sambil mengusap pelan rambut Alena. "Kamu jangan khawatir, sayang! Kamu tahu sendiri kan kalau aku cuma cinta sama kamu, bukan Hazig. Ia terlalu bodoh karena begitu percaya padaku. Aku cuma sayang uangnya aja." "Tapi aku cemburu melihatmu menikah dengannya. Kita sudah pacaran lama sebelum aku kenalkan kamu dengan dia. Harusnya kamu nikahnya sama aku, bukan dia!" "Ssttt... Sabar, sayang! Aku tak akan lama-lama bersamanya. Tunggu saja! Setelah aku dapatkan yang aku inginkan, aku akan segera meninggalkannya." "Dan kau tak akan mendapatkan apapun, w************n!"  Hazig tiba-tiba datang dengan tatapan penuh amarah. Alena dan Daniel terkejut. "Sayang, aku bisa jelaskan!" Alena mencoba meraih tangan Hazig namun segera ditepis kasar olehnya. "Jangan menyentuhku, b***h! Kau benar-benar membuatku marah! Dan lo Daniel! Lo gue pecat dari jabatan lo sebagai direktur keuangan! Oh iya, satu lagi Alena! Pernikahan kita BATAL! Dan kalian jangan pernah muncul lagi di hadapan gue!" Hazig keluar menuju parkiran. Begitu masuk ke dalam mobil, ia segera tancap gas. Ia mengemudikan mobilnya dalam kecepatan tinggi menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia menghancurkan seluruh dekorasi yang telah terpasang. Orang tuanya dan juga Keyra segera keluar melihat kekacauan yang Hazig buat. Ia begitu kecewa pada kekasihnya yang telah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Ada apa denganmu, Hazig! Kenapa kau menghancurkan dekorasi pernikahanmu sendiri???" Ayahnya berbicara dengan nada tinggi pada putranya. "Tak akan ada pernikahan, Baba! Alena dan Daniel berkhianat di belakangku! Mereka sudah menghancurkan hidupku! Lepaskan semua hiasan ini! Aku tidak peduli lagi bila pernikahan ini batal!" Hazig langsung masuk ke kamar dan membanting keras pintunya.Tania menangis pilu melihat nasib Hazig. Ia bisa merasakan betapa hancur hati putra kebanggaannya. Adnan yang sedang memeluk istrinya pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Keyra juga demikian. Baru kali ini ia melihat kakaknya tak mampu mengontrol emosinya dan ia paham akan hal itu. Sementara Hazig sendiri berteriak kencang sambil menghamburkan semua barang yang ada di kamarnya. Ia memukul dinding kamarnya dengan keras hingga buku-buku jarinya mengeluarkan darah. Rasa perih di tangannya tak sebanding dengan perih di hatinya. Untuk pertama kalinya ia menangis. Menangisi pengkhianatan orang-orang yang telah membuat hatinya terluka. *** Suara ketukan yang terdengar pelan menyadarkan Hazig dari lamunannya. Ia pun berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia melihat Tania dengan segelas s**u hangat di tangannya. "Umma," lirih Hazig. "Sayang, minum susunya dulu ya!" titah Tania. "Simpan saja dulu di meja, Umma!" Tania menuruti keinginan anaknya. Kemudian matanya tak sengaja melihat cincin yang pernah ia lihat sebelumnya. "Kamu masih belum bisa melupakan Alena?" Hazig menghela napas pelan. "Bukan begitu, Umma. Hazig hanya tiba-tiba teringat kegagalan pernikahanku. Maafkan aku yang masih belum bisa memenuhi keinginan Umma," ujar Hazig seraya menunduk di hadapan Tania.  Sang ibu pun paham bahwa Hazig sedang menguatkan hatinya sendiri. Tania segera membawa tubuh anaknya ke dalam pelukannya. "Justru Umma yang minta maaf karena selalu memaksamu untuk segera menikah, Nak. Umma tahu kamu masih takut menikah. Kamu takut mendapatkan pasangan yang tidak baik. Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk meratapi segalanya. Kamu harus bangkit lagi karena kamu berhak bahagia."  Tania menguraikan pelukannya, lalu mengambil cincin itu. "Kamu tahu cincin ini? Cincin ini Umma pilihkan untuk kamu berikan ke wanita yang akan jadi istri kamu dan wanita itu bukanlah Alena. Insya Allah, akan ada seorang wanita yang tulus mencintaimu, melengkapi hidupmu hingga akhir nafasmu. Kamu harus percaya itu! Umma mau melihatmu tertawa lepas lagi, bukan lagi tawa yang penuh kepalsuan seperti yang kamu tunjukkan selama 3 tahun terakhir. Umma akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Umma. Kamu pun harus memperbaiki shalatmu. Jangan bolong-bolong lagi! Berhentilah menghabiskan waktu dan uangmu untuk hal-hal yang tak bermanfaat!" Tania mengusap pelan rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Umma. Umma selalu ada untukku," ucap Hazig sembari mengeratkan pelukannya di tubuh sang ibu. "Jangan berterima kasih, Nak! Ini sudah tugas Umma untuk mengingatkan anak-anak Umma. Sudah, jangan cengeng lagi! Minum susunya terus kamu tidur, ya!" ujar Tania sambil tersenyum hangat.  Hazig segera menghabiskan susunya yang mulai dingin dan menyerahkan gelas kosong itu pada Tania. "Sekarang kamu tidur! Biar besok kamu bekerja dengan penuh semangat." Tania pun keluar dari kamarnya dan tak butuh lama bagi Hazig untuk terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD