1 : Khalilla

1620 Words
Seorang gadis cantik tengah serius mendengar pemaparan materi mengenai hakikat huruf Alif. Sesekali ia membenarkan letak kerudungnya yang sedikit berantakan. Bukan karena risih menggunakannya, ia saja sedari kecil sudah dibiasakan oleh Abi dan uminya untuk menggunakan pakaian muslimah. Pagi ini, ia terlambat menghadiri kegiatan kuliah subuh karena terbangun di penghujung subuh hingga bergegas mengikuti ibunya menuju masjid tempat diadakannya kegiatan mereka.Gadis ini duduk dengan rapi bersama puluhan siswa seusianya. Ia mencatat inti dari pembahasan hari ini dengan teliti. "Baiklah siswaku sekalian, mungkin ini akan menjadi kuliah subuh terakhir kita karena kegiatan pesantren kilat kita akan berakhir besok. Setelahnya, kita bisa kembali ke Madrasah sebagaimana biasanya. Memanfaatkan waktu berlibur kalian dengan mengikuti kegiatan ini, saya harap akan menambah pengetahuan dan ketaqwaan kalian." tutup wanita bercadar itu setelah menyelesaikan pembahasannya dan sesi tanya jawab pun terlewati. "Aamiin. Terima kasih Ustadzah atas bimbingan sebulan ini." balas para siswa. Wanita bercadar itu mengangguk dan melanjutkan lagi, "Sebelum kembali ke pondok untuk bersiap-siap, kita akan mengadakan pagi bersih terlebih dahulu." Siswi MAN As-Siddiq yang berjumlah 23 orang itu mengangguk paham, kemudian bergantian menyalami wanita bercadar yang mereka panggil Ustadzah. Sampai pada siswi terakhir, Ustadzah tersenyum lembut dibalik cadarnya dan menahan siswi tersebut. "Kenapa wajahnya kusut gitu? Masih pagi loh ini." Gadis yang disapa ini langsung memeluk ibunya. "Bu, Illa masih betah di sini deh kayaknya. Illa pulangnya nyusul aja boleh?" pintanya dengan manja. "Ada-ada aja kamu. Umi sama Abi kamu udah nggak sabar pengin kamu pulang, kan kita udah mau mulai sekolah lagi." tolak Ustadzah lembut. "Iya sih, Bu. Tapi, Illa masih belum cukup menuntut ilmu sebulan ini." Gadis cantik yang menyebut dirinya sebagai 'Illa' kembali membujuk Ustadzah yang ia panggil ‘Ibu’. "Illa, ilmu bisa dicari di mana saja, di sekolah Illa juga bisa memperdalam Ilmu Agama. Kan Illa suka baca buku sekarang, nah, akan ada pelajaran disetiap apa yang Illa baca." bujuk Ustadzah. Ia mencoba memberi pengertian kepada Khalilla yang ternyata tak terlalu sulit, hingga gadis ini pun mengangguk. "Ibu yakin, bukan hanya itu alasan Illa betah di sini. Ayo ngaku?" tuduh Ustadzah sambil mencandai Khalilla. Tak disangka, sangkaannya benar adanya. Buktinya, si keponakan tertunduk malu, berusaha menyembunyikan senyumnya. Ditatap oleh Syafiqa dengan begitu intens, Khalilla menjadi salah tingkah hingga bergegas pamit mengikuti yang lainnya. "Ih, Ibu apaan sih, garing banget. Illa keluar dulu ya, mau ikut bersih-bersih." Syafiqa menghela nafas, nampaknya virus merah muda telah menghampiri keponakannya. Pintanya hanya satu, semoga virus yang baru seujung kuku itu dapat Khalilla atasi tanpa keluar dari ketentuan yang ada. Syafiqa tahu, keponakannya adalah gadis yang pintar dan juga sedari kecil sudah dibiasakan dengan ajaran agama. Namun, semua itu tak elak membuatnya bisa terbebas dari wabah rasa yang biasa menghampiri kaum remaja. Syafiqa berdoa, semoga Khalilla mampu membawa perasaannya dengan benar tanpa melewati batasan yang ada. *** Di salah satu pondok, empat gadis sedang menata isi koper masing-masing. Ada yang sudah selesai dan ada yang belum memulai, dan yang belum memulai itu adalah Khalilla. Gadis ini masih sibuk membuka tutup beberapa bukunya, merasa ada sesuatu yang hilang. "La, ponsel kamu bunyi tuh. Tapi, kok ponsel kamu masih ada sama kamu sih?" tanya  salah satu teman Khalilla dengan raut tak menyangka bahwa temannya bisa santai menyimpan ponsel di kamar, padahal sudah dilarang. Khalilla segera membongkar tumpukan kerudungnya itu. "Illa ngumpulin ponsel yang satunya, ponsel yang ini Illa umpetin." jawab Khalilla dengan wajah lega, sebab, benda yang dicarinya sudah ditemukan. "Ada-ada aja kamu." Dua teman Khalilla hanya bisa menggeleng, tingkah Khalilla terkadang bisa membuat orang tercengang kagum dan tak jarang juga membuat kesal. Khalilla mengambil ponselnya kemudian mengaktifkan mode silent. Untung saja hari ini tidak diadakan pengeledahan, jika iya, habislah dirinya. Saat membuka aplikasi w******p-nya, peringkat teratas dalam chat masuk dengan perolehan jumlah pesan belum dibaca terbanyak, jatuh kepada seseorang yang sering membuatnya pusing. Bagaimana tidak, Khalilla selalu diteror dengan pesan-pesan tak berguna, baik di w******p maupun media lainnya. Pernah sekali Khalilla menerima sebuah surat tanpa nama dengan amplop merah muda yang dititipkan pada abinya. Sebelum Abi menyerahkan padanya, ternyata abinya mencuri baca terlebih dahulu. Lalu, sang Abi menceramahi Khalilla panjang lebar saat memberikan surat itu padanya. Qaddafi, satu nama yang sangat Khalilla hindari untuk saat ini, si pengirim surat dan pembawa pesan masuk di w******p miliknya. Khalilla malas men-scroll pesan yang lumayan banyak itu, maklum, Khalilla sering meninggalkan ponselnya ketika beraktivitas di luar. Sebulan ini, ia sengaja menyembunyikan ponselnya di bawah lemari dengan power off dan diaktifkan ketika malam hari saja. "Berikan ponsel itu!" Sebuah suara mengagetkan Khalilla yang masih memegang ponsel dengan layar menyala. Senior pesantren bernama Tasya mendekat ke arah Khalilla dengan wajah marah dan menuduh. Wanita itu merebut ponsel Khalilla dan mencermati isinya. Tak lama kemudian, Ustadzah Tasya mengangkat wajahnya dan membaca isi pesan di ponsel Khalilla dengan suara lantang. Assalamualaiku, calonku. Apa kabarmu? Kuharap baik selalu. Aku di sini sedang merinduimu dan kuharap kau pun begitu. Aku takkan bosan menitip rindu pada pesan yang akan berlalu seiring berjalannya waktu. Aku ingin menyapa meski sekedar hanya kau baca. Wahai sosok yang memberiku rindu, kapankah kau kembali ke hadapanku? Hari ini? Esokkah ataukah nanti? Apa perlu aku yang menjemputmu ke sana hingga membawamu ke sini? Sepi rasanya hariku tanpa adanya kamu. Detikku seakan menjadi menit, menitku bagaikan jam, jamku ibaratkan hari, hariku seolah terasa berbulan. Dapatkah kau hitung berapa detikkah aku merindu? Tak ada lagi pagiku dengan memandangimu dari seberang rumahku. Tak ada lagi suara merdumu yang menggema menyebut namaku. Pintaku sederhana, namun sarat akan makna. Jawablah pesan dariku, meski kau abaikan rasaku. Dariku, sosok dibalik pesan bernafaskan rindu. Pedang Islam itu arti namaku. I miss you, tetanggaku. Khalilla membulatkan matanya dengan sempurna. Apakah benar yang baru saja Ustadzah Tasya baca itu bersumber dari ponselnya? Apakah itu isi pesan Qaddafi untuknya? Astaghfirullah. Khalilla beristighfar, tak menyangka jika Qaddafi sudah sekronis ini padanya. Ustadzah Tasya menutup ponsel Khalilla lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik yang di sana sudah terdapat beberapa ponsel lainnya. Mungkin selain Khalilla, juga ada yang melanggar aturan. "Khalilla, saya tidak menyangka kelakuanmu begini! Berkhalwat dengan lawan jenis lewat ponsel? Jangan mentang-mentang kamu keponakannya Ustadzah Syafiqa dan sudah seperti putri Kyai, kamu bisa seenaknya di sini!" Ustadzah Tasya berkata dengan nada tinggi. "Pertama, kamu melanggar peraturan dengan tidak mengumpulkan ponsel ini. Kedua, kamu menggunakan ponsel dengan tujuan yang tidak benar. Untuk dua alasan itu, kamu harus di tazir membersihkan halaman pesantren mulai dari gerbang batas Asrama putri sampai ke Ndalem. Mengerti!" tambahnya lagi dengan pandangan menusuk keiris mata Khalilla. Khalilla mengerjap seraya menimpalinya dengan sopan. "Mengerti, Ustadzah. Tapi, sebelum saya melaksanakan tazir, saya ingin menyampaikan sesuatu." "Silakan." balas Ustadzah Tasya cepat. Khalilla mengangguk. "Pertama, saya menyembunyikan handphone hanya untuk mengerjakan sesuatu yang penting. Lalu, saya juga menghubungi Umi dan Abi ketika malam hari. Terkadang, saya sering terbangun malam dan setelah tahajud tidak bisa tidur lagi, makanya setiap habis tahajud saya pasti menghubungi mereka dan mereka paham akan kebiasaan saya ini. Kalau masalah pesan itu, sebenarnya tidak pernah saya tanggapi sama sekali. Baru hari ini saya buka dan memang orang yang mengirimi saya pesan tersebut sangat sering mengganggu saya. Tapi, saya berkata jujur bahwa saya tidak memiliki hubungan seperti yang Ustadzah pikirkan." terang Khalilla panjang lebar, berharap dapat dimengerti oleh wanita di depannya. "Saya tidak butuh penjelasan dari kamu, yang kamu lakukan itu tetaplah menyalahi aturan. Sekarang, silakan kerjakan perintah saya!" Ustadzah Tasya pun meninggalkan kamar tanpa mempertimbangkan penjelasan Khalilla sama sekali. Khalilla menghela nafas lalu mengikuti Ustadzah Tasya menuju gudang guna mengambil sapu lidi dan sekop sampah. Khalilla tak marah ataupun jengkel karena Khalilla faham bahwa dirinya yang bersalah di sini. Tidak seharusnya Khalilla menyembunyikan ponselnya, meski dengan alasan apapun dan tidak seharusnya Khalilla membuka ponselnya, apalagi terdapat pesan aneh dari Qaddafi. Khalilla berjanji akan memberikan peringatan tegas pada orang itu nanti. Khalilla mulai menyapu meskipun teriknya mentari semakin meninggi, peluh tak elak menempel dikerudungnya. Beberapa saat kemudian, Khalilla berpikir bahwa bagian tersulit menjadi seorang remaja sekaligus siswi yaitu menjaga pandangan dan perasaan awal. Meski Khalilla tahu sesuatu itu salah, namun terasa berbeda jika ia tolak kedatangannya. Seperti sekarang, Khalilla tengah serius memandangi seseorang yang sedang melantunkan syair pengakuan. Begitu merdu suara pria di sana membuat Khalilla mendekat dengan spontan. "Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa alaa naaril jahiimi. Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil azhiimi. Dzunuubi mitslu adaadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali. Wa umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali. Ilaahii abdukal aashii ataaka muqirran bidzdzunubii wa qad daaaka. Fain taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka." Suara itu mengalun indah diindera pendengar Khalilla. "Illa, sedang apa kamu di sini panas-panasan?" tanya sosok tersebut yang menyadari kedatangan Khalilla. Khalilla terperanjat dan langsung menunduk, ia tak berani menentang mata bening itu. Saat Khalilla ingin menjawab, perkataannya tertelan oleh suara wanita di belakang tubuhnya. "Khalilla di-tazir, Gus. Dia menyalahi aturan Pesantren dengan menyembunyikan ponselnya. Tak hanya itu, dia juga berkhalwat dengan laki-laki di media sosial dan mungkin juga dia berpacaran sembunyi-sembunyi." ucap Ustadzah Tasya yang terdengar meyakinkan. Pria itu kembali menatap Khalilla yang masih menunduk. "Benar begitu?" "Mana mau dia ngaku, Gus." Ustadzah Tasya menyela lebih dulu hingga Khalilla semakin mengatup bibirnya. Pria yang dipanggil ‘Gus’ itu memperhatikan Khalilla dengan pandangan tak percaya. Ia beralih memperhatikan kerudung Khalilla yang sudah dibasahi keringat hingga membuatnya tersentuh kasihan. Wajah Khalilla yang menunduk pun terlihat memerah akibat terlalu lama berada di tengah teriknya matahari siang. Kemudian, Gus itu pun berkata, "Sudahlah, cuaca panas sekali. Khalilla, silakan kembali ke pondok! Nanti kita bahas lagi masalah ini. Untuk Ustadzah Tasya, janganlah menuduh tanpa adanya bukti. Meskipun benar, jangan memojok seseorang seperti itu, karena Islam mengajarkan kita untuk berbaik sangka." Ustadzah Tasya yang awalnya mengira pria di depannya akan menindaklanjuti perilaku Khalilla, tak menyangka jika Khalilla dibebaskan begitu saja dari hukuman. Karena tak ingin dipandang buruk oleh Gus, Ustadzah Tasya pun meminta maaf pada Khalilla. Khalilla menyambut permintaan maaf dari Ustadzah Tasya dengan hati yang lapang. Kemudian, keduanya menyegerakan pamit pada pria yang mereka panggil 'Gus'. "Khalilla, aku harap kamu selalu menjaga maruahmu di mana pun kamu berada." Putra pemilik pesanten itu bergumam sambil memandangi Khalilla yang sudah hampir sampai ke pondoknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD