2 : Hakikat Huruf Ba

1719 Words
­­­­­­­­­­ "Ya Allah apakah ini juga datang dari-Mu? Jika rasa ini datang dari-Mu dan benar adanya, hamba mohon labuhkanlah ia seindah Asma-Mu." -Ghafar- ___ Setelah berpamitan pada Kyai Dzaki serta Ustadz-Ustadzah lainnya dan pagi bersih di Pesantren juga selesai dilalui, puluhan siswa MAN As-Siddiq bergegas meninggalkan Pesantren yang menjadi tempat mereka memanfaatkan libur semester kali ini. Khalilla yang belum dijemput oleh abahnya memilih berada di taman Pesantren sementara ibunya sedang berdiskusi dengan Kyai dan Nyai, entah mengenai apa. Mungkin membahas Khalilla yang sudah menyembunyikan ponsel hingga pesan aneh dari Qaddafi. Khalilla memandangi area Pesantren yang sebulan ini mampu membuat jiwanya merasa tentram. Ia tersenyum sebelum membuka kitab kumpulan hadist untuk mengulang hafalannya. Uminya selalu mengingatkan, jika sedang luang, lebih baik mengulang hafalan daripada membuang waktu dengan melamunkan sesuatu yang belum tentu adanya. Beberapa saat mengulang bacaannya, Khalilla mendengar sautan suara dari balik tembok belakang Pesantren. Entah mengapa, suara itu terdengar begitu familiar. Khalilla pun menutup kitabnya dan menyimpannya di bangku. Khalilla mendekati tembok tinggi itu, namun suara yang sempat didengarnya sudah berpindah posisi. Rasa penasaran yang dimiliki Khalilla membuatnya bergegas menuju pagar. Jika perkiraannya benar, maka gadis berkerudung lebar ini akan menceramahi orang itu habis-habisan. "Assalamu’alaikum, calonku. Rindukah kau padaku?" Khalilla terperanjat. Dengan mengelus d**a, ia pun beristighfar. Ternyata dugaannya tepat sekali. Setelah memperoleh ketenangan, Khalilla menimpali sapaan itu dengan acuh. "Wa'alaikumussalam, makhluk Allah. Illa selalu merindukan Rasulullah." Laki-laki di balik pagar itu terkekeh geli. Bisa melihat wajah Khalilla saja dirinya sudah begitu senang, apalagi salamnya dijawab seperti ini. "Subhanallah. Meski pesanku tak pernah berbalas, aku senang karena calonku masih seperti biasa---ganas. Padahal udah didinginin selama sebulan ini di Pesantren. Nggak mempan ya, Neng?" Khalilla cemberut kemudian menatap laki-laki itu sekilas dengan pandangan tajam. "Qaddafi, ngapain sih ke sini? Balik sana!" usir Khalilla pada akhirnya. Laki-laki itu menyibak rambut depannya dengan ritme pelan, berharap Khalilla terpesona olehnya. "Merdunya. Setiap kali kamu melantunkan namaku, aku merasa itu adalah irama terindah yang pernah aku dengar. Terima kasih." Jawaban Qaddafi mampu memunculkan rasa mual untuk Khalilla, mungkin terlalu sering mendengar perkataan laki-laki itu yang memuakkan. Khalilla menggeleng pasrah. Apa Qaddafi tidak bosan mengganggunya? Tidak di sekolah, di rumah, bahkan sekarang juga mengikutinya ke Pesantren. Khalilla sering mengabaikannya, bahkan pernah berlaku kasar sekalipun, tapi mengapa tak meruntuhkan semangat laki-laki itu untuk mengusilinya? Pikir Khalilla. "Wahai sosok yang tidak ingin Illa lihat, enyahlah!" Khalilla memulai aksinya dengan mengibas-ngibas tangannya seperti seorang pengusir roh jahat. "Bismillahirrahmanirrahim." lirih Khalilla kemudian. Melirik sekilas laki-laki yang dianggapnya seperti roh jahat, Khalilla mendapati bahwa Qaddafi tak kunjung beranjak. Bahkan sekarang, laki-laki itu berniat membuka pagar yang memang terkunci rapi. Beberapa santriwati terlihat berlalu lalang. Mereka menatap Khalilla dan melempar senyum, kemudian memperhatikan dengan siapa Khalilla berbincang. Selanjutnya, mereka pun menundukkan pandangannya. Khalilla mulai risih hingga iris matanya ia paksakan untuk menajam dan diarahkan pada tetangga sekaligus teman sekelasnya itu. Qaddafi tak menghiraukannya sama sekali, laki-laki itu lebih tertarik untuk menyuarakan rasa penasarannya akan apa yang Khalilla lirihkan sebelum ini. "Kenapa kamu bacain Bismillah ke aku?" Khalilla mengerjap seraya memundurkan tubuhnya lalu menyandar ke tembok. "Kamu tahu hakikat huruf Ba?" tanya Khalilla dari balik tembok samping pagar. Qaddafi terus menatap besi pagar pesantren dan menjawab polos, "Enggak." Khalilla menghela nafas, tatapannya yang sempat menajam pun telah berganti. "Sesungguhnya Bismillah diawali dengan huruf Ba dan tidak dengan huruf yang lain, padahal huruf Alif adalah yang paling utama dari pada huruf Ba, karena Alif merupakan huruf pertama dari nama Allah yang mulia. Mengapa diawali huruf Ba?" Khalilla berhenti sejenak kemudian melanjutkan lagi, "karena huruf Ba merupakan permulaan huruf yang diucapkan manusia di alam Arwah yaitu ketika ditanyakan kepada Arwah: Apakah Aku adalah Tuhanmu? Kemudian mereka menjawab, Balaa artinya betul. Dan kata Balaa dalam Bahasa Arab dimulai dengan huruf Ba. (Balaa) Sebuah peringatan kepada manusia, karena huruf Ba yang berharkat kasrah atau bergaris satu di bawah mengandung arti ketidakberdayaan. Oleh karenanya, tidak ada yang harus didahulukan ketika menghadapi segala macam hal kecuali dengan menyebut nama Allah, bagi orang yang mengalami ketidakberdayaan dan merendahkan diri kepada Allah.¹" "Intinya apa? Memangnya, kamu sedang nggak berdaya sekarang?" tanya Qaddafi yang masih tak mengerti arah penjelasan panjang lebar dari Khalilla. Khalilla menghela nafas sejenak dan kembali ke posisi awal, menghadap Qaddafi yang masih setia menggenggam besi pagar pesantren. "Iya, Illa lagi nggak berdaya buat ngusir makhluk kayak Dafi. Susah banget sih dibilangin!" jawab Khalilla lantang. Qaddafi tak dapat menyembunyikan tawanya saat melihat bagaimana menggemasnya ekspresi Khalilla saat ini. "Kamu memang tak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Aku suka." ujar Qaddafi disela tawanya. Khalilla menggembungkan pipinya saat menyaksikan betapa bahagianya Qaddafi menertawakan dirinya. "Ekhm ... Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanya seseorang di balik tubuh Khalilla. Khalilla membulatkan matanya dan menoleh ke belakang dengan cepat. Deg Spontan Khalilla menunduk sembari menyembunyikan wajahnya yang perlahan memerah. Setiap berpapasan ataupun mendengar suara pria itu, entah mengapa Khalilla selalu merasa malu dan wajahnya akan berubah panas. "Assalamu’alaikum, Illa." sapa pria itu. Ia semakin mendekat ke arah Khalilla. "Wa'alaikumussalam, Gus Ghafar." jawab Khalilla dengan masih menunduk. "Panggil seperti biasa saja." perintah Gus Ghafar yang dibalas anggukan Khalilla. "Em ... Iya, Bang Ghafar." Suara Khalilla memang terdengar biasa, tapi, tidak ada yang tahu bahwa di hatinya seolah ada yang meledak begitu saja. Ia sadar jika wabah merah muda ikut menghampirinya dan itu semua hanya karena satu objek saja---Gus Ghafar, putra dari Kyai Dzaki yang sudah sangat Khalilla kenal sejak kecil. Siapa yang bisa mencegah jika sebuah rasa menghinggap dan belum lenyap, mungkin akan menetap jika sang Maha Agung berkehendak. "Illa ngapain di sini? Ustadzah nyariin tuh." suara berat itu kembali bertanya. "Iya, Bang, Illa juga mau ke sana kok. Abah udah datang ya?" Khalilla mengangkat pandangannya hingga melihat ke arah belakang, tepatnya Ndalem untuk memastikan adakah perawakan orang yang ditunggu-tunggunya itu. "Abahmu sudah datang. Mereka mencarimu ke pondok, eh kamunya di sini ternyata." Gus Ghafar menjawab rasa penasaran Khalilla kemudian memperhatikan seseorang di balik pagar dengan pandangan menyelidik. Qaddafi pun sama, ia masih saja memperhatikan pujaan hatinya yang terlihat malu-malu di depan pria berkumis tipis itu, hingga laki-laki yang menggunakan kemeja otak-kotak ini merasa kesal karena tidak dianggap keberadaannya. Khalilla mengangguk dan berterima kasih pada Gus Ghafar. Namun, sebelum berlalu, ia ingin memastikan sesuatu. "Dafi, dari mana kamu tahu alamat Pesantren ini dan juga letak gerbang belakangnya?" Khalilla menatap Qaddafi dengan tatapan menuduh. "Dari sumber terpercaya dong." Qaddafi yang awalnya berwajah muram, berubah cerah hanya karena Khalilla memanggil namanya. "Siapa? Jangan bilang itu Hajri." Khalilla sudah menunda langkahnya dengan sempurna. "Hajri? Keluar kamu! Mbak tau kamu dalang yang membawa wayang ini!" Khalilla memanggil-manggil nama sepupunya. Saat suara Khalilla mulai mengancam, laki-laki bernama Hajri itu pun muncul dan berdiri di samping Qaddafi dengan cengiran khasnya. "Ampun, Mbak. Hajri nggak bisa nolak, soalnya Bang Dafi ganggu terus kalau nggak mau antar dia ke sini." aku Hajri dengan wajah pasrah dan setengah memohon. "Kamu ini, diimbalin apa sama dia? Jawab!" Khalilla menunjuk kesal Hajri. "Sudah, La, tenangkan dirimu. Jangan marah begitu." sela Gus Ghafar. "Kebiasaan nanti, kalo dia gini terus." balas Khalilla tanpa memindahkan tatapannya dari si sepupu. "Nggak ada, Mbak." Hajri menjawab pertanyaan mbaknya dengan gugup. Khalilla menyipitkan matanya. "Jangan bohong. Kamu tahu kan, bohong itu dosa." "Iya deh iya, diimbalin sama video game terbaru." aku Hajri pada akhirnya. Khalilla melototi Hajri lalu menatap kesal Qaddafi yang terlihat mengedip-ngedip ke arah adik sepupunya. Mungkin mengode Hajri agar tidak berkata jujur, tapi sudah terlanjur. Saat Khalilla kembali menceramahi sepupunya, sosok lainnya pun menghampiri mereka. "Kok lama, Ghafar?" "Ini, Mi, ada temannya Illa." jawab Ghafar dengan menunjuk Qaddafi yang sedang meributkan sesuatu bersama Hajri. "Loh, Hajri ke sini kok nggak bilang-bilang dulu? Abahmu kebingungan nyari kamu dari pagi." ucap Nyai Kintan setelah tersenyum ke arah Qaddafi. Nyai Kintan kaget melihat putra dari sahabatnya tengah berada di balik gerbang Pesantren, padahal Thoriq sedang kelabakan mencarinya yang pergi tanpa pamit sejak pagi. "Maaf, Mi, Hajri main sama Bang Dafi." Hajri yang tadinya ingin mengajak Qaddafi pergi, malah mendapatkan serangan mendadak lagi---Ketahuan oleh Umi Kintan. Alamak, bakal dijewer ni telinga kalo sampai Abah tahu." batinnya merutuk. "Mi, Bang Ghafar, jangan bilangin Abah sama Ibu ya, pliss. Kita cuma mau lihat Mbak Illa bentar kok, setelah ini langsung pulang." Hajri memohon. Pagar belakang yang tadinya tertutup rapat, kini telah dibuka. Gus Ghafar meminta penjaga untuk membukanya. "Sudahlah, kita masuk dulu. Duduk, ngeteh dan bicara di dalam. Ayo, Nak, masuk!" sergah Nyai Kintan sambil mempersilakan Qaddafi memasuki Pesantren. Lalu, wanita itu beralih memandangi Hajri, "Hajri juga masuk! Ibu dan Abah udah nungguin tuh di Ndalem." Hajri mengangguk patuh dan mengikuti Umi Kintan bersama Khalilla yang terus merengut kesal padanya. Di belakang mereka masih tersisa Gus Ghafar dan Qaddafi yang tak kunjung beranjak. Keduanya masih terdiam sambil mengumpulkan kata-kata yang ingin diucapkan, hingga Qaddafi bersuara lebih dulu. "Saya suka Khalilla dan itu sudah sejak lama. Jadi, saya tidak akan menyerah meski harus bersaing dengan siapapun yang ada di hatinya. Saya tahu Anda juga sama seperti saya. Meskipun Anda lebih mengenalnya, bukan berarti saya tertinggal jauh. Untuk itu, jika mau bersaing, saya ucapkan ‘ayo’, saya mau bersaing." Gus Ghafar belum bersuara, namun, ia dapat melihat keyakinan di netra laki-laki seusia Khalilla ini. Laki-laki di depannya tidak terlihat main-main dengan perkataannya dan hal itu membuat Gus Ghafar merasa ada getaran lain dihatinya, seperti ingin lebih dan lebih saja. "Ya Allah apakah ini juga datang dari-Mu? Jika rasa ini datang dari-Mu dan benar adanya, hamba mohon labuhkanlah ia seindah Asma-Mu." batinnya. Gus Ghafar tersenyum, tangan kanannya tergerak menepuk pundak Qaddafi. "Khalilla milik Allah dan dititipkan pada kedua orangtuanya. Jika ingin mendapatkannya, dekatilah mereka. Jika sangat berharap, mohonlah pada Dia yang Maha Mendengar segala pinta." "Nama saya Ghafar, salam kenal," tambah Gus Ghafar seraya mengulurkan tangan kananya untuk bersalaman. Qaddafi yang tadinya dalam suasana meletup-letup, kini diibaratkan aspal panas yang dihampiri rintik hujan, berasap hingga dingin seketika. Qaddafi merasa kalah banyak dari pria di depannya. Tak hanya tampan dan dewasa, tetapi juga sholeh serta ramah. Qaddafi merasa banyak yang harus dibenahi darinya, apalagi tingkahnya yang dengan terang-terangan mengajak sosok sholeh terhormat untuk bersaing dengannya. Apalah ia hanya anak ingusan yang masih duduk di bangku sekolah dan menenteng LKS di ranselnya. Dibandingkan dengan putra Kyai ini, Qaddafi bukanlah apa-apa. Qaddafi tersenyum canggung dan membalas uluran tangan Gus Ghafar. "Saya Qaddafi. Maaf sudah lancang, Gus." Gus Ghafar mengangguk maklum. "Ghafar, kok masih di situ? Sini, ajak temannya Khalilla masuk!" panggil Umi Kintan hingga Ghafar segera menuntun Qaddafi menuju Ndalem sambil berbincang ringan. Sesampainya mereka di depan Ndalem, Ghafar membisikkan sesuatu ke telinga Qaddafi yang mampu membuat laki-laki itu mematung sejenak. "Nggak apa-apa, ini masih awal, masih banyak waktu. Kamu jangan menyerah sekarang." tambah Gus Ghafar lagi seraya melepas sepatunya. Qaddafi kembali memperoleh kesadarannya hingga membalas dengan tegas, "Saya tak akan goyah meskipun masih tertinggal jauh.   ___ [¹]: http://kalimah-kalimah-suci.blogspot.com/2017/05/makna-titik-huruf-ba.html?m=1    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD