Bab. 2 Tuan Rayen

1741 Words
“Si-siapa kamu sebenarnya, Rayen?” tanya Dera. “Selesai, aku sudah mengganti tali gelangmu, bagaimana kamu suka warnanya? Cocok kan warna hijau dengan merah permata milikmu?” ucap Rayen seraya tersenyum. Berbeda dengan Dera, dia sangat terkejut dengan apa yang Rayen lakukan pada gelangnya. “Jangan berekspresi seperti itu, Dera. Kamu sangat lucu, aku hanya mengganti tali gelangmu, karena aku lihat tali itu sudah kusam, apa kamu suka, hem?” tanya Rayen. “Bagaimana kamu melakukan ini?” tanya Dera. “Aku hanya melepaskan tali simpulnya saja, gampang kan?” ucap Rayen. Dera melongo mendengar jawaban Rayen. “Semudah itu kamu melakukannya? Ih menyebalkan kenapa aku tidak berpikir untuk melepaskan simpulnya saja sejak dulu,” ucap Dera. “Karena kamu hanya memikirkan jalan mudahnya saja,” ucap Rayen. “Aw! Sakit, kenapa kamu jitak aku,” ucap Dera seraya mengusap jidatnya yang sakit akibat jitakan Rayen. “Apa yang ada di dalam otakmu itu, sekolah pintar tapi melepas simpul saja tidak bisa. Sepertinya kamu sekolah dulu tidak belajar dengan benar,” ucap Rayen. Dengan geram Dera hendak melayangkan tangannya ke arah Rayen, namun urung karena Rayen sudah memegang tangannya dan menarik pinggang ramping Dera untuk mendekat padanya. “Jangan kasar, jadi wanita harus lemah lembut. Jika tidak aku akan memakan itu,” ucap Rayen seraya menunjuk bibir Dera. “Rayen, lepaskan aku!” “Argh, Dera. Sakit!” ucap Rayen yang seraya mengusap tulang keringnya akibat tendangan Dera. “Rasakan, makanya jangan macam-macam sama aku. Sudah sana pergi jangan menemuiku lagi.” “Hei, Dera! jangan pergi dulu, ini kakiku masih sakit.” “Bukan urusanku Tuan Rayen,” ucap Dera seraya berlari menuju kamar apartemen miliknya. Rayen tersenyum melihat kepergian Dera. “Aku sudah mengganti tali gelangmu, Putri Dera. Tidak lama lagi kamu akan mengetahui jati dirimu,” ucap Rayen. “Aw, dasar Dera. Sakit banget kakiku, mengidam apa dulu Ratu Sarina sampai anaknya seperti itu,” gerutu Rayen seraya masuk dalam mobil dan segera pergi dari kawasan apartemen Dera. Di dalam kamarnya Dera merasa ada yang aneh dia benar-benar tidak mengerti tentang dirinya dan juga gelang ini, bahkan saat ini Dera mencoba membuka gelangnya namun tidak berhasil. “Sebenarnya ada apa dengan semua ini? Siapa aku dan benda apa gelang ini?” batin Dera. “Ah, lebih baik aku tanyakan pada Rayen.” Dia meraih tas ranselnya dan mengambil benda pipih di dalamnya, sesaat dia mengotak-atik benda tersebut “Argghh! Bahkan aku tidak punya kontaknya, bagaimana ini? Bagaimana jika gelang ini adalah jimat guna-guna pemikat yang sengaja di buat Rayen agar aku menyukai dia? Tidak mungkin, gelang ini kan sudah ada saat aku di temukan dulu, aku pusing.” Brak! Dera menutup pintu kamar mandi dengan keras dan dia melanjutkan urusannya di dalam sana. Pagi menjelang, seperti biasa Dera mempersiapkan diri untuk pergi ke kafe miliknya, dengan kaos lengan panjang berwarna biru dengan motif burung terbang, serta celana kain panjang tidak lupa sepatu bot hitam kesayangannya. Dera menuruni tangga apartemennya dengan tas ransel di punggungnya serta helm di tangan kana dan kacamata di tangan kirinya, tak lupa kunci motornya yang ia gigit. “Selamat pagi, Mbak Dera? motornya sudah siap,” sapa seorang satpam di sana. “Pagi Pak Dedi. Terima kasih Pak.” Brumm... Dera mulai menghidupkan mesin motornya setelah ia menuntun ke arah pelataran apartemen, namun saat hendak menggunakan helm, tiba-tiba helmnya ada yang mengambil, saat menoleh, Dera memutar bola matanya, saat mendapati Rayen lah yang telah mengambil helmnya. “Rayen, bisa tidak kamu sehari saja jangan menggangguku? Aku mau kerja ini, nasib para pekerja ku sedang dipertaruhkan ini,” ucapnya. “Mana ada? Bukannya kafe milikmu sudah buka tiga puluh menit yang lalu? Kenapa kamu baru berangkat? Seharusnya sebagai atasan yang baik berilah contoh yang baik pula pada bawahanmu, berangkat tepat waktu,” ucap Rayen. “Lama-lama aku bisa mati muda jika terus berada di dekatmu.” “Mau ke mana?” tanya Rayen saat melihat Dera hendak pergi. “Cari taksi.” “Lah motormu bagaimana?” Tanpa menjawab pertanyaan Rayen, Dera melangkah menuju jalan raya ingin mencari taksi, namun setelah sekitar sepuluh menit tak ada taksi yang lewat. “Dasar Rayen, tidak jelas. Tahu begini tadi aku naik motor saja, helm bisa kan pinjam sama satpam depan sana.” Tin! Tin! Dera menoleh ke asal suara itu di sana ada Rayen yang telah berada di atas motor miliknya. “Nanti kamu kesiangan, ayo naik aku antar. Ini helmnya pakai, tadi aku pinjam sama satpam di sana.” Tanpa menjawab Dera mengambil helm di tangan Rayen dan memakainya. Rayen mengendarai motor dengan kecepatan sedang, sesekali ia melirik Dera lewat spion, ternyata gadis itu tengah asyik memainkan handphone miliknya. Rayen tersenyum, dengan sengaja ia memutar gas motor dan hal itu membuat Dera refleks memeluk perutnya. Plak! Dera memukul bahu Rayen. “Kamu sengaja ya?” tanya Dera. Rayen hanya tersenyum. Perjalanan pagi ini terasa sangat berbeda bagi Dera, dia merasa seperti ada seseorang yang berbicara namun entah siapa, saat melewati sebuah taman Dera meminta Rayen untuk berhenti. “Ada apa, De?” tanya Rayen. “Rayen, apa kamu mendengar seseorang sedang bernyanyi dan juga ada suara anak kecil sedang meminta makanan?” “Tidak! Aku sama sekali tidak mendengar apa pun. Yang aku dengar hanya suara merdumu saja,” ucap Rayen seraya tersenyum dan hal itu membuat Dera mendaratkan pukulan di bahunya. “Aku serius! Aku mendengar suara itu, tapi di mana, aku sama sekali tidak melihat ada anak kecil di sini,” ucap Dera seraya celingukan mencari sumber suara yang dia dengar. “Mungkin suara burung,” jawab Rayen acuh. “Hah?” Dera menoleh ke arah Rayen. “Tunggu dulu. Apa kamu bilang? Itu suara burung? Sejak kapan burung bisa bahasa manusia? Jangan mengada-ada kamu, ya,” ucap Dera. “Bukan para burung itu yang bisa bahasa manusia, tapi kamu yang bisa mengerti bahasa mereka.” “Kamu bercanda, Ya? Sudahlah, ayo antar aku ke kafe.” Mereka pun kembali berkendara menuju kafe milik Dera, namun sepanjang perjalanan Dera memikirkan ucapan Rayen, dia sadar selama ini dia memang bisa mengerti tentang burung, bahkan dia sangat menyukai burung, tapi apa iya dia bisa mengerti bahasa burung? “Sudah sampai, Tuan Putri. Ayo kita turun.” “Hm.” “Kamu kenapa?” tanya Rayen. “Tidak apa-apa. Oh iya bagaimana kamu pulangnya, naik taksi atau bagaimana?” tanya Dera. “Boleh aku mampir sarapan di sini?” tanya Rayen. “Baiklah ayo masuk.” “Selamat pagi Mbak, Dera!” seru beberapa pegawai Dera. Dera hanya menjawab dengan senyuman dan juga anggukan. “Ternyata kamu bisa lembut juga ya? Tapi kenapa saat bersamaku kamu tidak anggunnya sama sekali,” ucap Rayen. Dera berhenti dan membalikkan badannya menatap Rayen. “jika di hadapanmu aku bisa menjadi singa, jadi jangan memintaku untuk lembut kepadamu.” “Ya, ampun. Mbak Dera bawa siapa? Wah! Pacarnya Mbak Dera ya? Ganteng banget. Boleh kan mbak kalau kita-kita ini dikenalkan?” ucap salah satu pegawai Dera. “Ambil saja dia. Aku tidak butuh!” ucap Dera seraya pergi menuju ruang kerjanya. “Dera, kok kamu begitu?” ucap Rayen. “Oh iya, Gita! Kamu buatkan dia sarapan tidak usah bayar,” ucap Dera. Setelah selesai sarapan, Rayen menemui Dera di ruangannya. Tok! Tok! Tok! “Masuk.” “Hai,” ucap Rayen. “Astaga. Siapa yang mengizinkan kamu kesini?” ucap Dera ketus. “Tidak ada,” jawab Rayen. “Tuan Rayen. Apa Anda tidak punya pekerjaan lain? Kenapa kamu selalu saja menggangguku?” ucap Dera. “Yah aku punya pekerjaan, hanya saja hari ini aku meluangkan waktu,” ucap Rayen. “Pergi dari sini!” “Kenapa kamu mengusir aku?” “Tuan Rayen aku sangat terganggu atas apa yang kamu lakukan selama tiga hari ini, kamu tiba-tiba muncul di hidupku. Kita tidak saling mengenal dan juga aku tidak tahu siapa kamu dan apa tujuanmu mendekati diriku. Tolong jangan ganggu aku lagi.” “Mungkin kamu tidak mengenal Ku, Dera, tapi aku sangat mengenalmu bahkan sebelum kamu dilahirkan,” ucap Rayen. “Hei, itu tidak mungkin, bahkan usiaku dan usiamu terlihat tidak jauh berbeda,” ucap Dera. “Kau akan pingsan saat tahu usiaku yang sebenarnya,” ucap Rayen. “Terserah kamu, tolong pergi dari sini. Dan jangan ganggu aku lagi.” “Baiklah jika itu yang kamu mau dan bisa membuatmu tenang, tapi aku akan tetap mengawasimu. Jika butuh sesuatu jangan sungkan untuk menghubungiku, ini kartu namaku. Aku permisi,” ucap Rayen seraya melangkah meninggalkan Dera. Dera memijit keningnya melihat kelakuan Rayen, orang asing yang tiba-tiba masuk dalam hari-harinya selama tiga hari ini. Dia mengambil kartu nama yang di berikan Rayen, dan detik itu juga dia terkejut membacanya. Ternyata Rayen adalah pemilik salah satu hotel terbesar di kota ini. “Jadi dia pemilik hotel Atom. Kenapa dia bersikap seolah-olah dia pengangguran dan selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi? Sebenarnya apa tujuannya mendekatiku?” ucap Dera. “Ah, sudahlah lupakan itu, yang terpenting saat ini dia sudah pergi dan tidak akan mengganggu hari-hari indahku lagi.” Siang hari saat jam istirahat Dera memutuskan untuk beristirahat dia tidur di sofa dalam ruang kerjanya. Entah mengapa siang ini dia begitu sangat lelah dan mengantuk, secara perlahan dia mimpi pun menjemputnya. Di sebuah istana nan megah terlihat seorang pemuda sedang bermain bersama dua balita, saat mereka bertiga tengah asyik bermain tiba-tiba sebuah panah menghunus salah satu penjaga, hingga membuat kedua balita kecil itu menangis, dan dengan sigap dua orang pemuda lainnya segera membawa balita itu lari, hingga beberapa prajurit mengejar kedua orang pemuda yang masing-masing tengah menggendong satu balita dan salah satu pemuda yang menggendong balita terkena anak panah di punggungnya, dan balita dalam gendongannya menangis ketakutan. “Jangan! Tolong jangan sakiti mereka. Aku mohon jangan.” “Mbak Dera! Mbak, bangun Mbak.” “Tidak!” nafas Dera memburu saat dia mulai kembali ke alam sadarnya, peluh menetes dari dahinya. “Mbak Dera tidak apa-apa?” tanya Gita sang asisten Dera. “Aku tidak apa-apa, hanya bermimpi saja. Terima kasih sudah membangunkanku,” ucap Dera. “Iya Mbak. Tadi aku mendengar Mbak Dera teriak-teriak karena khawatir aku langsung masuk dan melihat Mbak tertidur seraya berteriak, jadi aku membangunkan Mbak.” “Iya tidak apa-apa, terima kasih. Kamu boleh kembali bekerja lagi,” ucap Dera. “Baiklah, permisi Mbak.” “Apa itu tadi, kenapa aku bermimpi seperti itu?” ucap Dera. “Tunggu dulu! Pemuda yang terkena anak panah tadi sepertinya tidak asing wajahnya, siapa ya?” Dera tampak berpikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD