Terpaksa Harus Terikat
“Harus kamu ingat kalau pernikahan ini hanya sebatas status aja,” ucap Naka dengan penuh penekanan.
Mendengar laki-laki yang baru saja menjadi suaminya berkata-kata pedas kepadanya tentu saja membuat Dira tidak terima. Bukan karena masalah status pernikahannya, tapi ia sangat tidak suka diintimidasi. Sejak dulu perempuan itu memang sangat tidak suka jika ada yang mengintimidasi dirinya. Meskipun itu dilakukan oleh suaminya sendiri.
“Perlu Mas tau, aku nerima perjodohan sialan ini juga karena diancam sama Papa,” jawab Dira tak kalah sinisnya.
Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan orang yang sejak dulu selalu menindasnya. Naka dan Dira memang sudah saling mengenal sejak mereka masih kecil. Namun, hubungan di antara keduanya selalu diwarnai dengan perselisihan.
Meskipun Dira selalu membantahnya, perempuan itu masih menghargainya dengan memanggil lelaki itu mas. Memang dia akui jika sejak kecil dia dan Dira selalu bermusuhan karena ia paling suka membuat perempuan itu kesal kepadanya. Namun, siapa yang menyangka jika musuh bebuyutannya kini malah menjadi istrinya.
Mendengar lawan bicaranya berhasil mematahkan ucapannya, membuat Naka merasa tidak terima. Sebenarnya apa yang kini dirasakan oleh Dira sama dengan yang dirasakannya. Sebenarnya ia pun juga tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Namun, karena ancaman dari papanya membuat ia tidak bisa berkutik. Mau tidak mau ia pun akhirnya menerima perjodohan yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan.
“Jangan pernah kepedean, aku juga nggak mau nikah sama perempuan kayak kamu,” jawab Naka dengan santai.
Mendengar perkataan dari Naka, tentu membuat darah Dira mendidih. Entah kenapa sejak dulu pria itu selalu bisa memancing emosinya. Jika tidak ingat besok masih harus bertemu dengan seluruh keluarga, tentu ia akan mencakar-cakar wajah tampan Naka agar pria itu berubah menjadi jelek, menurutnya.
“Eh … apa barusan aku bilang kalau dia ganteng? Idih … amit-amit,” ucap Dira di dalam hati sambil bergidik.
Ia pun kemudian melihat ke arah Naka dengan tatapan yang penuh dengan permusuhan. Tadi selama acara akad dan resepsi ia memang sengaja memasang senyum semanis mungkin karena ingin membuat para orang tua merasa senang. Namun, ketika sedang berdua saja dengan Naka, tentu ia tidak perlu untuk berpura-pura lagi.
“Eh … dengerin aku! Selama kita berada di hadapan orang tua bisa nggak kamu jaga sikap supaya nggak bar-bar?” tanya Naka dengan tatapan seriusnya.
Kali ini sepasang penganti baru itu berbicara sambil duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Mereka harus membuat peraturan selama mereka menjadi suami istri.
“Oh … jadi Mas minta aku buat sandiwara, gitu?” tanya Dira balik.
“Ya, secara nggak langsung sih gitu. Kita punya kepentingan masing-masing di dalam pernikahan sialan ini. Jadi aku harap kita bisa saling bantu supaya semuanya bisa berjalan dengan lancar,” ucap Naka menjelaskan.
Mendengar perkataan Naka, membuat Dira pun langsung berpikir. Apa yang dikatakan oleh pria yang duduk tak jauh darinya memang ada benarnya. Ia sendiri tidak ingin mendapatkan masalah dari kedua orang tuanya. Akhirnya ia pun menyetujui apa yang baru saja diucapkan oleh Naka.
“Boleh juga, tapi ada syaratnya, kita nggak akan tidur satu ranjang dan no s*x, deal?” tanya Dira sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Naka.
“Deal …!” jawab Naka dengan mantap sambil menjabat tangan Dira.
Selama di dalam kamar jantung keduanya sebenarnya berdetak dengan kencang, tapi tidak ada yang mau menunjukkannya. Ucapan sarkas dan perdebatan merupakan salah satu pengalihan rasa canggung yang mereka alami saat ini.
Meskipun jantungnya berdetak tak karuan, keduanya harus tetap terlihat tenang. Jangan sampai rasa gugup yang timbul di dalam hatinya nanti malah akan membuat mereka malu di hadapan pasangannya.
“Sekarang aku udah menjadi seorang istri, Tuhan beri aku rasa ikhlas untuk menerima takdir ku ini,” doa Dira di dalam hati.
Dira sangat paham jika apa yang dirasakan oleh Naka tentu sama dengan apa yang dia rasakan. Meskipun sudah saling mengenal cukup lama, tapi mereka tidak pernah sedekat ini. Memang terkadang mereka berkomunikasi melalui pesan singkat hanya untuk saling bertanya hal yang penting saja. Namun, sudah lebih dari satu tahun mereka sudah tidak pernah berkomunikasi karena kesibukan masing-masing.
Sebenarnya perempuan cantik itu yakin jika ia bisa ikhlas menerima pernikahan ini. Namun, ia tidak tahu apakah Naka bisa menerimanya juga dengan ikhlas ataukah tidak? Apalagi mengingat bagaimana ucapan Naka yang selalu sinis pada dirinya.
Dira menjawab perkataan Naka dengan tak kalah sinisnya karena ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan laki-laki itu. Ia harus bisa menunjukkan dirinya terlihat kuat agar tidak mudah diintimidasi oleh suaminya sendiri.
Memang saat ini belum ada rasa cinta yang timbul di dalam hatinya, tapi Dira sangat yakin jika rasa itu pasti akan muncul seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu. ia pun bertekad untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan baik.
Kemudian ia pun berjalan ke ranjang dan mengambil bantal dan selimut untuk suaminya. Bagaimanapun juga Naka sekarang adalah suaminya dan sudah menjadi kewajibannya untuk membuat suaminya merasa nyaman. Jika Naka akan kekeh menolak kehadirannya, Dira tidak peduli karena yang terpenting ia sudah menjalankan kewajibannya dengan baik.
“Ini bantal sama selimut buat Mas pake,” ucap Dira sudah berdiri sambil mendekap sebuah bantal dan selimut.
Mendengar ucapan istrinya membuat Naka membuka matanya kembali. Ia sudah lelah dengan serangkaian acara yang harus ia jalani sejak pagi tadi. Bolehkan ia beristirahat tanpa ada yang mengganggu?
“Tidurlah, besok kita harus bangun pagi karena masih ada keluarga yang juga ikut menginap,” ucap Naka dengan nada dinginnya.
Mendengar penuturan dari suaminya, seketika membuat Dira terdiam. Perempuan itu lantas tidak berani untuk bersuara lagi. Ia malas untuk berdebat dan ia juga merasa lelah karena seharian harus memasang senyum palsu untuk semua orang. Kini ia hanya ingin segera beristirahat agar besok pagi tubuhnya bisa terasa segar.
Setelah meletakkan bantal dan selimut di atas meja kaca tepatnya di dekat suaminya berada, ia pun langsung membalikkan badannya untuk menuju ranjangnya kembali. Sebagai seorang istri, Dira sudah berusaha menjalankan kewajibannya dengan baik dan selanjutnya terserah pada penilaian Naka sendiri.
Keesokan harinya, pengantin baru itu tampak bangun pagi sekali. Mereka tidak ingin semua keluarga terlalu lama menunggunya untuk sarapan bersama. Setelah selesai bersiap, Dira tampak masih menunggu suaminya yang terlihat fokus dengan ponselnya.
“Mas, kita turun sekarang yuk! Nggak enak sama yang lainnya,” ajak Dira dengan tidak enak hati.
Mendengar ajakan dari wanita yang duduk tak jauh darinya, seketika membuat Naka mengangkat wajahnya dan langsung menatap ke arah sang istri. Detik kemudian, lelaki itu pun mulai membuka mulutnya dan hanya memberikan jawaban yang terdengar menusuk hati.
“Ingat, jangan cerita kalau semalam kita nggak tidur seranjang. Jangan buat mereka bersedih dan malah kepikiran tentang kita, seharusnya kita membuat mereka bahagia dengan pernikahan kita ini,” ucap Naka menjelaskan.
Mendengar penuturan dari suaminya seketika membuat Dira langsung mengerutkan dahinya. Wanita itu sungguh tidak mengerti dengan jalan pemikiran suaminya.
“Aku masih cukup waras untuk membuat mereka mengkhawatirkan kita,” jawab Dira sambil menahan kesal.
Ketika mereka mulai memasuki restauran hotel, Naka kembali mengingatkan Dira untuk memasang senyum terbaiknya. Lagi-lagi lelaki itu menggunakan alasan para orang tua untuk membuat istrinya mau menurut padanya.
“Jangan pasang wajah cemberut, kamu nggak pingin mereka kepikiran soal kita, kan?” tanya Naka tanpa melepaskan genggaman tangannya.
Sejak sepasang pengantin itu keluar dari kamar, Naka memang sengaja menggenggam tangan istrinya. Melihat apa yang dilakukan oleh suaminya, membuat Dira hanya melihatnya dalam diam. Sungguh, wanita itu masih bingung dengan sikap suaminya yang menurutnya berubah-ubah.
“Setelah ini rencana kalian akan tinggal di mana?” tanya Abi sebelum menyuapkan makanannya.
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dari mertuanya, membuat Dira langsung memalingkan wajahnya pada lelaki yang duduk tepat di sebelahnya. Sorot mata indahnya seakan sedang meminta penjelasan pada sang suami.
“Kalian tinggal di kediaman Danudirja aja, kasihan Dira kalau nanti kamu tinggal perjalanan dinas keluar,” timpal Maya yang sebenarnya sangat berharap menantunya bisa tinggal bersamanya.
“Kalau Mama maunya begitu kami nurut aja,” jawab Naka sambil meraih tangan istrinya untuk ia genggam.
Bahkan, ketika mengatakan itu, Naka juga menampilkan senyum terbaiknya. Untuk sesaat Dira sempat terpana dengan senyuman yang mampu menggetarkan hatinya. Namun, dengan cepat perempuan itu segera menepis apa yang sempat terlintas di dalam pemikirannya. Ia tidak ingin sikapnya nanti malah akan mempermalukan dirinya di hadapan semua orang.
Akhirnya hari pun menjelang siang. Semua keluarga mulai terlihat meninggalkan hotel tempat mereka menginap, setelah pengantin baru itu pergi terlebih dahulu untuk menuju ke sebuah rumah megah yang ada di pusat kota.
Wanita itu dengan sabar menghadapi sikap dingin dari suaminya. Penyesuaian pribadi yang berbeda memang tidaklah mudah, menurutnya. Pasti membutuhkan waktu dan kesabaran. Apalagi mengingat Andra merupakan putra bungsu dari keluarga Danudirja, di mana sebuah keluarga konglomerat yang cukup terpandang di negeri ini, tentu membuat Dira harus mengumpulkan seluruh kesabarannya.
Masih jelas di dalam ingatannya bagaimana papanya meminta ia untuk menerima perjodohan ini. Menurut papanya ada janji yang harus dia tepati, dan ternyata itu harus mengorbankan kebahagiaannya.
“Sayang … hanya kamu yang bisa membantu Papa menuntaskan janji ini. Papa nggak tau lagi harus meminta tolong sama siapa karena ini memang harus kamu yang menepatinya,” pinta Dirga pada putrinya.
Karena janji yang telah disepakati oleh Dirga dan Abi membuat Dira dan Naka harus mengorbankan kebahagiaan mereka. Kedua sahabat itu hanya ingin mempererat hubungan persahabatan mereka ke dalam sebuah ikatan keluarga. Dulu janji itu dibuat jauh sebelum anak-anak mereka lahir. Mungkin ini yang dinamakan keegoisan para orang tua. Namun, tentu tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya bahagia meskipun cara mereka salah.
“Kenapa Dira yang harus nepati janji itu, kan bukan Dira yang buat janji, Pa,” jawab Dira masih dengan kebingungannya.
Adhira Buvi atau yang biasa dipanggil Dira hanya diam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Gadis cantik itu tidak pernah menduga jika pembicaraan keluarga setelah makan malam yang biasanya hangat kini terdengar menakutkan di telinganya.
“Kamu pingin Papa ingkar janji dan nanti malah membuat usaha kita harus tutup, gitu? Bagaimana dengan nasib para karyawan? Kamu kan tahu sendiri kalau selama ini Om Abi yang telah menjadi investor tunggal untuk usaha kita,” ucap Dirga kembali.
Kali ini ia harus mengetuk hati putrinya dengan ucapannya agar gadis itu mau menerima perjodohan ini. Ia tahu meskipun putrinya terkadang terlihat bar-bar, hati gadis itu pada kenyataannya selembut sutra. Oleh karena itu, Dirga harus bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Belum genap sebulan ia lulus dari kuliah, kini papanya meminta ia untuk menikah dengan anak sahabatnya yang dari dulu selalu suka mengganggu dirinya. Dira benar-benar merasa dilema. Mana mungkin ia berani menolak permintaan papanya yang kini sedang kalut memikirkan bagaimana jika Abi nanti menarik semua investasinya.
“Banyak keluarga yang juga bergantung pada usaha kita. Kalau kamu menolak menikah dengan Naka, bagaimana dengan nasib mereka semua?” tanya Vani, mama Dira.
Mendengar pertanyaan dari mamanya membuat Dira semakin merasa bersalah. Memang benar apa yang dikatakan oleh mamanya, jika bukan dirinya lantas siapa yang akan bisa menyelamatkan perusahaan papanya.
Perlahan-lahan Dira pun kemudian mengangkat wajahnya. Dengan sorot mata yang penuh beban, gadis cantik pemilik mata indah itu pun akhirnya menyetujui perjodohan yang diinginkan oleh kedua orang tuanya.
“Ya, Pa, Dira mau …,” ucap gadis itu pada akhirnya.