My Bunny

1834 Words
Hari ini, keluarga Danudirja mengadakan pesta baberque. Mereka mengundang sanak famili untuk ikut bergabung. Sebenarnya tidak ada acara resmi, tapi Maya ingin menunjukkan kepada seluruh keluarganya mengenai keromantisan Naka dan Dira. Katakanlah Maya sedikit berlebihan, tapi memang itulah yang dia rasakan. Ia hanya ingin mengekspresikan kebahagiaannya saja. “Ra … Mama bisa minta tolong?” tanya Maya pada si menantu. “Bisa banget dong, Ma,” jawab Dira sambil berjalan mendekati mama mertuanya. “Tolong kamu ambilkan pesenan kue Mama di tempat biasanya, ya” pinta Maya. Perempuan setengah baya itu memang suka mengadakan acara kumpul-kumpul di kediamannya. Tak lupa ia juga mengundang besan yang sekaligus juga sahabatnya. Kali ini ia sudah merencanakan acara tersebut di taman samping rumah. Mungkin keluarga yang datang tidak sampai tiga puluh orang. Jadi menurutnya lebih baik bakar-bakarnya di taman samping saja. Sepeninggal Dira, Maya langsung mengambil ponselnya hendak menelepon suami dan anaknya. Wanita itu hanya ingin memastikan agar para lelaki tersebut tidak sampai terlambat pulang karena sebagai tuan rumah, tentu ia harus menghormati para tamunya. “Pa, kalau bisa cepet pulang, ya! Nggak enak kalau tamu udah ada yang dateng tapi Papa belum kelihatan,” pinta Maya. “Iya, Ma. Setelah kerjaan kelar, Papa pasti langsung pulang,” jawab Abi dengan sabar. Pria itu memang sangat sabar menghadapi istrinya. Ia merasa sangat beruntung karena Maya mau menikah dengan dirinya meskipun pada waktu itu statusnya adalah duda dengan satu anak. Yang membuat Abi begitu sayang pada Maya karena perempuan itu bisa menerima Avan dan menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri. Ketika tiba di toko pastry, Dira langsung menemui salah satu pegawai dan menyampaikan maksud kedatangannya. “Mbak saya mau ambil pesanan atas nama Ibu Maya Danudirja,” ucap Dira dengan lembut. Perempuan itu memang selalu bertutur kata lembut kepada semua orang kecuali dulu pada Naka. Ia tidak perlu bersikap lemah lembut ketika berhadapan dengan lelaki tersebut. Namun, kini semuanya telah berbeda. Ia harus bisa membuat suaminya merasa nyaman dengan dirinya. Jika terhadap orang lain ia bisa bersikap lembut, tentu pada sang suami harus bisa lebih dari itu, menurutnya. Di samping itu ia juga melihat mama dan mama mertuanya selalu memperlakukan suami mereka dengan penuh kelembutan. Mungkin itu yang membuat papa dan papa mertuanya setia karena merasa dihargai oleh istri-istri mereka. Dira harus mencontoh sikap para orang tua agar pernikahannya tidak mengalami masalah dengan orang ketiga atau yang lebih terkenal dengan istilah perselingkuhan. Sebagai seorang istri, Dira harus bisa memberikan yang terbaik untuk suaminya. Namun, ketika usahanya pada akhirnya tidak dihargai dan suaminya lebih memilih berselingkuh berarti yang bermasalah bukan ada pada dirinya. Jika hal mengerikan itu sampai terjadi berarti suaminya tidak bisa bersyukur dan pastinya mengingkari takdir Tuhan. “Atas nama Bu Maya, ya. Baik, kami ambilkan dulu dan mohon ditunggu sebentar ya, Bu,” pinta pelayan toko dengan ramah. Setelah menganggukkan kepalanya dengan disertai senyuman Dira kemudian berjalan menuju sofa yang ada di sudut toko, lebih tepatnya di dekat jendela. Setelah mendudukkan dirinya, ia pun langsung mengambil ponselnya untuk mengirim pesan pada Naka. Ibu Negara: Mas, nanti kalau bisa pulangnya jangan sampe telat, ya! Nggak enak kalau tamunya keduluan dateng. Setelah mengetikkan itu ia pun segera mengirim ke kontak sang suami. Kemudian ia melihat ke arah luar melalui jendela kaca yang ada di dekatnya. Tak lama kemudian ia melihat mobil yang sangat familiar bagi dirinya. “Bukannya itu mobil Kak Avan, ya?” tanya Dira dalam hati. Memang benar, setelah mobil terparkir dengan sempurna tak lama kemudian muncul seorang pria tampan dengan mengenakan kemeja abu-abu muda. Avan turun dari mobil masih dengan mengenakan kacamata hitamnya. Lengan bajunya sudah dia gulung hingga sebatas siku dan tentu saja membuat tangan berototnya terpampang dengan jelas. Kemudian ia pun berjalan memasuki toko dengan aura dingin yang sangat terlihat jelas. Toko pastry kebetulan sedikit ramai dan tentu saja kedatangan Avan membuat banyak pasang mata langsung tertuju padanya. Di saat Dira terus mengamati pria yang berstatus sebagai kakak iparnya tersebut, ponselnya pun berdering dan ia melihat ada nama suaminya tertera di layar yang terlihat menyala. Dira pun bergegas mengangkat panggilan dari sang suami karena tidak ingin suaminya menunggu. “Halo, Mas,” jawab Dira setelah menggeser ikon telepon yang berwarna hijau. “Masih ada di toko pastry?” tanya Naka. Sebelum berangkat dari rumah, seperti biasanya Dira akan meminta ijin pada suaminya melalui pesan singkat. Setelah mendapatkan ijin dari Naka, barulah perempuan itu berani berangkat ke tempat tujuan. Menurutnya sebagai seorang istri ijin dari suami adalah suatu hal yang wajib. Di samping itu ijin dari suaminya juga akan membuat dirinya mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Tuhan, menurutnya. “Masih, Mas. Ini masih diminta nunggu bentar sama Mbaknya. Nanti jangan lupa langsung pulang kalau kerjaan Mas udah kelar,” jawab Dira. Naka tahu jika istrinya tidak mungkin berangkat sendirian karena tadi Dira mengatakan jika ia pergi dengan diantar oleh Yanto, sopir keluarga. “Siap, Boss! Habis ini mau mampir ke mana lagi?” tanya Naka kembali. “Langsung pulang aja, Mas. Mau bantuin Mama, ini aku ketemu sama Kak Avan di toko,” ucap Dira memberi tahu setelah Avan berada di hadapannya. Karena merasa namanya disebut dalam pembicaraan Dira, tatapan Avan pun seolah-olah sedang meminta penjelasan. Dira pun langsung tampak menyunggingkan bibir manisnya setelah melihat pria itu mendudukkan dirinya di hadapannya. “Ngapain dia ke situ? Udah kayak emak-emak mau arisan aja, pake harus pergi ke toko pastry segala,” ucap Naka dengan santainya. Mendengar perkataan dari suaminya lagi-lagi membuat senyum Dira menghiasi wajah cantiknya. Memang seperti itulah hubungan kakak beradik itu. Mereka tidak pernah berhenti saling mengolok satu sama lain. “Udah dulu ya, kayaknya pesenan Mama udah siap, tuh,” ucap Dira pada akhirnya setelah melihat dua orang pegawai toko datang menghampirinya sambil membawa dua kotak berukuran besar. “Ya, udah nanti ingatkan Yanto suruh ati-ati nyetirnya. Tadi sih udah Mas ingetin juga, takutnya dia lupa kalau bawa separuh nyawa aku,” ucap Naka sambil menggoda istrinya. Pria itu memang selalu bisa membuat hati Dira berdebar dengan segala tingkah polahnya. Siapa yang tidak akan merasa bahagia jika selalu diratukan oleh suami sendiri? Pipi Dira tampak bersemu merah karena malu sekaligus senang dengan ucapan sang suami. Mungkin jika saat ini ia sedang sendiri, tentu saja ia akan bisa membalas gombalan suaminya tersebut. “I love you Ibu Negara ku,” lanjut Naka. “Love you too, Bunny,” jawab Dira sebelum akhirnya sepasang suami istri itu mengakhiri panggilannya. Bunny merupakan panggilan sayang Dira buat suaminya. Perempuan itu memiliki alasan tersendiri kenapa ia memanggil bunny pada Naka. Pria itu selalu suka memberikan gigitan-gigitan kecil di pundak mulus Dira seperti kelinci yang sedang mengunyah makanan. Awalnya Naka sempat bingung kenapa istrinya bisa memanggil dirinya seperti itu. Namun, setelah ia mengetahui alasannya, akhirnya membuat pria itu malah semakin bersemangat untuk memakan istrinya dan tentu saja itu membuat Dira senang. Hampir tiap malam Naka memakan istrinya di atas ranjang. Istrinya memang sudah menjadi candu baginya dan sehari saja tidak memakan Dira kepala Naka bisa terasa pusing. Sebagai seorang istri, Dira harus mampu mengimbangi suaminya untuk melakukan salam olah raga di atas ranjang. Semua ekspresi Dira tentu saja tidak lepas dari pengamatan seorang Iravan Kalingga. Pria itu menatap lekat ke arah adik iparnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ini pesanan atas nama Ibu Maya Danudirja, Bu,” ucap salah satu pegawai tersebut pada Dira. Perempuan yang mengenakan seragam berbeda dengan pegawai yang lainnya itu berkata pada Dira, tapi pandangannya tidak lepas ke arah Avan. Dira tahu perempuan yang berdiri di hadapannya ini merupakan manajer toko karena ia bisa membaca name tag yang menempel di dadaa perempuan itu. Tepatnya di bawah nama si perempuan juga tertera jabatannya. “Semua udah lengkap ya, Mbak?” tanya Dira untuk memastikan kembali. “Sudah, Bu,” jawab si manajer dengan ramah. Avan tampak tidak memperdulikan perempuan yang sedang menatapnya tersebut. Bagi pria itu tatapan memuja seperti itu sudah biasa ia lihat dari para perempuan yang dia temui. Avan tampak masih terdiam dan terus menatap adik iparnya. Tanpa Dira menjawab pertanyaan, Avan sudah tahu jika Dira sedang berbicara dengan Naka. Detik kemudian Avan dan Dira beranjak dari duduknya. Pria itu dengan sigap mengambil kotak besar yang berisi kue pesanan Maya dari atas meja. Setelah itu keduanya pun keluar dari toko dan berjalan ke arah mobil. Sesampainya di dekat mobil, Avan langsung meminta pada Yanto untuk pulang sendirian karena Dira akan pulang bersama dirinya. “Kamu pulang duluan aja, biar Dira pulang sama aku,” ucap Avan memberi tahu. “Baik … kotaknya biar saya aja yang bawa, Den!” pinta Yanto dengan patuh. “Nggak apa, biar aku aja!” jawab Avan. Dira tampak terkejut. Perempuan itu kemudian menatap ke arah kakak iparnya dengan tatapan yang seolah-olah sedang meminta penjelasan. Setelah itu ia pun berjalan mendekati mobilnya dan meletakkan kotak yang dia bawa ke bangku penumpang bagian belakang. Setelah itu ia dan Dira masuk ke dalam mobil dan Avan pun mulai melajukan mobilnya meninggalkan parkiran toko pastry tersebut. Entah kenapa bisa kebetulan Avan datang ke toko pastry tersebut di saat dirinya sedang ada di situ. Apalagi dia tidak melihat Avan membeli apa pun, tentu saja membuat hati Dira terus bertanya-tanya. Apa memang Avan datang hanya untuk menjemput dirinya? Sikap Avan tentu saja membuat perempuan itu terus memiliki prasangka-prasangka lain. Apa salah jika Dira menjadi overthinking karena sikap kakak iparnya yang menurutnya tidak seperti layaknya kakak ipar pada umumnya? Namun, perempuan itu tidak ingin terus membiarkan prasangka negatifnya terus menguasai dirinya karena ia tidak ingin membuat hubungan kakak beradik itu menjadi canggung hanya karena prasangkanya yang tidak berdasar. Dira tampak sedang mengirim pesan. Ia harus memberi tahu pada suaminya jika saat ini ia pulang bersama dengan Avan. Sebenarnya Naka tidak pernah meminta Dira untuk melaporkan setiap kegiatan apa pun yang dilakukan oleh istrinya tersebut. Semua itu memang inisiatif Dira sendiri karena menurutnya suaminya harus tahu apa pun yang dia lakukan. Perempuan itu ingin di antara Naka dan dirinya tidak ada rahasia apa pun. Sebagai suami istri memang sudah seharusnya saling terbuka dan percaya satu sama lain, bukan?. Semua itu juga dilakukan oleh Naka. Pria itu juga selalu memberi tahu setiap apa yang dia lakukan pada Dira. Di samping ia ingin menghargai keberadaan istrinya, Naka tidak ingin membuat celah sedikit pun yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin membuatnya jatuh. Musuh-musuhnya tidak sedikit dan siapa saja tentu saja ia tidak mengetahuinya semuanya karena kebanyakan dari mereka mengenakan sebuah topeng kepalsuan. Naka hanya perlu waspada agar tidak sampai membuat celah yang dapat merugikan dirinya sendiri dan keluarganya. “Lain kali kalau Mama nyuruh kamu dan suami kamu nggak bisa anterin, kamu telepon aku aja,” pinta Avan memecah keheningan. Entah kenapa ucapan Avan terdengar ada yang janggal di telinga Dira. Bagaimana bisa ia meminta Avan untuk mengantarkan dirinya jika pria itu sendiri sibuk bekerja. “Kan Kak Avan harus kerja. Kan udah ada Yanto yang bisa nganter,” jawab Dira sambil melihat sekilas ke arah kakak iparnya. “Kamu tau sendiri musuh keluarga kita itu nggak sedikit, kamu harus tetap waspada meskipun itu dengan orang terdekat kamu sendiri,” tambah Avan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD