Asap mesiu masih tebal. Bau besi bercampur darah membuat paru-paru terasa sesak. Semua orang menahan napas, mencoba menebak siapa yang roboh. Lampu senter polisi menyorot ke tengah gudang. Bayangan bergerak—siluet dua orang, satu berdiri terhuyung, satu lagi berlutut. Dan akhirnya terlihat jelas. Dargo terhuyung, lututnya menekuk, darah bercucuran dari bahu kanannya. Peluru menembus, membuat tangannya tak lagi bisa mengangkat. Namun meski setengah tubuhnya sudah lumpuh, matanya masih menyala penuh kebencian. “b******n…” desis Dargo, terengah. “Lo pikir… ini akhir gue?” Fandi berdiri di hadapannya, wajahnya penuh luka, tubuh gemetar tapi tatapan tetap dingin. Nafasnya berat, setiap tarikan terasa menyakitkan. Dia tidak menjawab—hanya menatap, seakan menimbang apakah akan menghabisinya

