Seorang lelaki bertubuh besar nampak menunggu dengan gugup di ruang tamu penginapan kecil itu. Wajahnya yang sudah mengeriput dimakan waktu semakin menua akibat stress dan berbagai kejadian yang dialaminya akhir- akhir ini. Ada sofa yang sudah rusák sebagian dimakan ngengat di ruang tamu itu, dan pria itu sama sekali tidak tertarik untuk duduk. Berdiri membuatnya lebih punya harapan kalau orang yang tengah ia tunggu akan mengabulkan permintaannya.
Pria tua itu mengangkat kepalanya seperti kelinci yang menangkap suara. Memang, dari arah dalam penginapan muncullah seorang pria muda berkulit halus dengan rambut coklat tersisir rapi. Gerak langkahnya teratur dan diperhitungkan. Seperti seorang robot.
“Haze!” sorak lelaki besar tua tadi menyambut si muda. Ia setengah berlari mendekat, memandang si pria muda penuh rasa menghiba.
“Haze, Haze. Hanya kau yang dapat membantuku saat ini. Kumohon!”
“Tenanglah, Antonius,” pinta pria muda yang dipanggil Haze itu. Suaranya juga sama datar seperti robot.
Orang bisa saja mengira ia bukanlah manusia sejati, dan sama sekali tidak mempunyai emosi.
“Duduklah,” kata Haze. Antonius mengikuti kata- kata itu dan menghenyakkan tubuhnya yang gemuk dengan penuh keraguan.
“Haze, kau harus membantuku. Aku tahu permintaanku ini terlalu banyak, tapi—“
“Kendalikan dirimu,” Haze memerintah tanpa memedulikan repetan Antonius. “Dan ceritakan semuanya dengan tenang.”
Antonius mengangguk. Ia menghirup dan menghembuskan napas beberapa kali, kemudian mulai berbicara.
“Haze, kau datang saat upacara kematian anakku, Klara. Kau masih ingat wajahnya. Kau tumbuh bersamanya.”
Pria muda itu melempar ingatannya ke masa lalu. Ia memang ingat gadis periang yang hanya beberapa tahun lebih muda darinya itu. Haze memang diasuh dan dibesarkan oleh keluarga Antonius Cuadras. Ia tak pernah tahu siapa keluarganya yang sebenarnya, dan tahu- tahu sudah dianggap oleh anak sendiri oleh Antonius, seorang tukang daging berhati lembut. Klara adalah satu- satunya anak Antonius, yang meninggal di rumah mereka sendiri ketika Antonius dan sang istri bepergian. Ia didapati jatuh di dekat tangga, dengan luka kepala yang sangat serius. Pertolongan yang diberikan sudah begitu terlambat, dan Klara pun pergi untuk selamanya. Banyak orang yang mengatakan itu insiden tak disengaja, yang disebabkan kecerobohan gadis itu sendiri.
Sesuatu yang sampai kini tak dapat diyakini oleh Antonius maupun Haze.
“Ya, tentu saja aku masih ingat Klara. Dia seperti saudara perempuanku.”
Antonius mengangguk- angguk semangat. “Betul, betul sekali! Dan aku yakin kau juga berpikiran yang sama, ‘kan?”
Lelaki tua itu mencondongkan tubuhnya ke arah Haze, dan menatapnya lekat- lekat. “Aku juga menganggapmu sebagai putra tertuaku, Nak. Dan kematian Klara yang tak wajar cukup untuk membuatku mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.”
Haze hanya menatap penuh kebisuan, melihat Antonius menggeleng- geleng sedih. “Dari yang kucari tahu, putriku Klara sempat dirampok oleh segerombol pemuda berandal beberapa hari sebelumnya. Ia berhasil berteriak dan orang- orang segera mengeroyok mereka. Namun ada dua orang dari mereka yang berhasil lolos dari pengejaran warga yang mengamuk marah. Klara mengetahui semua itu dan tak memberitahu siapapun, termasuk aku dan istriku. Tapi warga yang datang untuk menghakimi para pemuda berandal itu sempat menyaksikan kedua temannya yang terseok- seok pergi, luput dari penglihatan.”
Meski wajah Haze masih sama datarnya, setidaknya matanya membelalak mendengarkan itu. “Dan menurutmu kedua pemuda itulah yang melenyapkan Klara?”
“Aku yakin mereka membuntuti Klara hingga tahu alamat rumah kami,” kata Antonius. Bibirnya bergetar menahan tangis –satu- satunya ekspresi emosional yang takkan pernah ia perlihatkan pada siapapun bila bukan karena putri kesayangannya. Rautnya yang kasar dan gagah tampak mencair menjadi pria tak berdaya.
“Mereka pasti tahu bahwa aku dan istriku sedang bepergian kala itu, dan berniat membalas dendam karena Klara-lah yang meneriaki mereka hingga teman- teman mereka dikeroyok dan dibawa ke kantor polisi. Klara pastilah panik, takut, dan dalam buru- buru ia tidak memperhatikan tangga yang curam, dan menyebabkan, menyebabkan …,” Mata Antonius sebak karena menangis, “… kepergiannya.”
Haze memikirkan kemungkinan ini, sementara terus memperhatikan lelaki tua di depannya yang tak dapat menahan kesedihan. “Tapi kau tidak memiliki bukti apapun, Antonius. Kau tak bisa menuntut kedua pemuda berandal itu.”
“Aku memang tak akan menuntut mereka, “kata Antonius keras. “Bila aku ingin melaporkan, aku pasti sudah ke kantor polisi, Haze! Tapi aku tahu kalau itu akan sia- sia. Mereka akan berpendapat sama denganmu. Untuk itulah aku mendatangimu.”
Haze akhirnya paham. “Kau meminta sesuatu yang lain dariku.”
“Ya,” angguk Antonius pasti.
“Dan kau sudah tahu apa pekerjaanku.”
“Betul,” kata pria tua itu lagi seraya merogoh- rogoh saku dalam jaketnya. “Aku memintamu, Haze, hari ini, untuk membalas semua perlakuan yang dialami Klara, putriku. Aku meminta padamu bukan sebagai anak angkatku yang telah kubesarkan, tapi sebagai partner bisnismu yang profesional. Ini,” ujarnya lagi sambil mengeluarkan sebuah bungkusan tebal dari dalam jaket. “Ini bayaran untuk semua jasa yang akan kauberikan padaku.”
Haze menggeleng. Ia sudah tahu lebih dulu apa isi bungkus amplop tebal itu. “Aku tak bisa, Antonius. Aku tak akan menerimanya.”
“Kau harus menerimanya,” kata lelaki tua itu sambil menggeser amplop tadi lebih dekat pada anak angkatnya. “Dan kau akan melakukannya bukan demiku atau demi Klara, adikmu, tapi demi integritas profesimu. Bila mungkin, tunjukkan kasus ini pada Don. Ia mungkin akan menghargai kesetiaanmu selama ini dengan kasus- kasus yang kau bawa.”
“Don tidak akan menerima kasus yang samar dan penuh ketidakpastian fakta.”
“Oh, tolonglah, Haze,” Antonius memohon. “Atau kau bisa memerintahkan orang- orang yang ada di bawahmu untuk melakukan ini terlebih dulu, dan memberitahu Don Boschzitto di saat paling terakhir. Aku yakin kau cukup pintar mencari alasan untuk melakukan semua ini dan membuat Don mengerti.”
Sekali lagi memori Haze membawanya pada pembicaraannya dirinya sendiri dengan Don. Jelas sekali, Don tidak terlalu suka dengan pekerjaannya hari itu. Ia menjemput beberapa anggota lama dan mengumpulkan mereka, namun bagi Don itu hanya hal remeh- temeh yang tidak perlu ia lakukan.
Don juga menginginkan orang yang lebih ahli dan mumpuni dalam bisnis mereka. Kejatuhan yang pernah dialami Don sebelum ini telah membuat pimpinannya itu jauh lebih hati- hati, dan ia ingin agar Haze mampu mencari orang- orang seperti itu baginya.
Don memang tak menyampaikan semua kritikan itu secara langsung, namun pembicaraan singkat dengan pimpinannya itu cukup membuat Haze memahami apa maksudnya.
Setidaknya dengan melakukan permintaan Antonius dan mengemukakan alasan yang logis untuk itu –serta berhasil melakukannya dengan lancar –keraguan Don padanya akan hilang.
Setelah diam cukup lama, Haze mengangguk. “Baiklah, Antonius. Tapi aku tak bisa menjamin bahwa semua ini akan terlaksana cepat. Don, dan aku sendiri, masih mencari orang- orang yang bisa kami andalkan untuk kerjaan kasar,” katanya sambil mengingat Ash yang baru keluar dari penjara. “Yang dapat melakukan kerja kasar sekaligus berotak cemerlang.”
***
Ruangan itu minim perabotan –hanya ada sebuah meja besar dengan banyak kursi berjejer di pinggirnya dengan penerangan lampu remang- remang tepat di tengah meja. Cahayanya tak cukup menerangi hingga sudut ruang, sehingga mereka yang menunggu sambil merokok dan bersandar ke dinding sama sekali luput dari pandangan sekilas. Mereka yang duduk gelisah di kursi pun juga tak dapat dikenali betul wajahnya bila saja mereka tak bersuara sepatah kata pun.
“Kapan Haze itu akan datang?!” gerutu Piuggini kasar memecah keheningan. Lelaki berjas lengkap itu menghembus pipa tembakaunya sekali, lalu bersandar di kursi dengan gelisah. “Aku tidak suka membuang- buang waktu untuk tujuan yang belum jelas.”
“Kenapa?” ejek Desmod di ujung lain meja. Ia adalah soldier –sebagaimana halnya Ash –namun memiliki lebih banyak kepintaran di balik rambut cepak dan tubuh besarnya. “Apa masalahmu, Piuggini? Apa harga dirimu terluka harus menunggu perintah dari orang yang satu posisi denganmu?”
Piuggini menatap mata licik Desmod di seberangnya. “Sama sekali tidak,” sahut Piuggini datar. “Hanya saja seharusnya dia datang jam dua, dan aku sudah menunggu lebih dari setengah jam. Lagipula tidak menjadi masalah bagiku harus bekerjasama dengan orang itu asalkan itu perintah langsung Don. Dan kuingatkan kau, aku sama sekali tidak terluka seperti kau yang baru saja diturunkan posisinya.”
Desmod tertawa penuh cemoohan. “Kau datang terlalu cepat lalu kau menyalahkan Haze yang terlambat? Si robot itu consiglieri kita yang baik, Piuggini yang mulia, jadi dia pasti akan segera datang sebelum jarum menit bergeser melebihi angka dua. Lagipula…,” kata Desmod yang secara tiba- tiba memperhatikan kukunya dengan sangat tertarik, “…Walaupun itu semua perintah Don, tapi bagi orang bodoh sepertiku sudah sangat jelas kalau pemimpin kita jauh lebih mempercayai Haze. Bukan kau.”
“Sialan!!” teriak Piuggini bangkit dari kursinya dengan tiba- tiba. Kursi itu terbalik ke belakang, sedangkan pipa tembakaunya jatuh ke lantai dengan bunyi berkelontangan.
Orang yang paling dekat dengan Piuggini yang marah dengan sigap memegangi pria itu. Ferdo, Ash, Gross dan Dorian berusaha kuat menahan otot- otot lengan Piuggini yang kekar, yang tampaknya bersemangat sekali ingin menyerang Desmod. Yang ingin diserang nampaknya tenang- tenang saja.
“Jangan memancing kerusuhan di sini, Desmod!” tegur Gross keras. “Aku memang menghormatiku, tapi saat ini kau berada di bawahku.
“Oh, ya. Tentu saja, Boss. Tapi sepertinya kau ada hanya sebagai boneka suruhan Alzan?” kata Desmod lagi kurang ajar.
Amarah Gross ikut naik. Sebelum kenecisannya hilang dan ia mengumpati Desmod, untungnya pintu ruang itu membuka. Semua orang di sana menoleh, melihat sosok yang berjalan tegap dan teratur masuk. Ia membawa sebuah map tebal dengan beberapa kertas di dalamnya.
Begitu melihat semua orang saling berpegangan dan tertegun, kening Haze mengernyit jengkel.
“Ada apa ini?” suara robotnya mengguntur, “Kalian tidak sedang memulai pertengkaran, kan?”
Seisi ruangan itu langsung berdiri dengan tertib. Rokok- rokok cepat dimatikan, dan seluruh kursi di meja dengan cepat diisi penuh –kecuali di bagian kepala meja yang diperuntukkan bagi Haze. Sisanya yang tidak kebagian tempat berdiri di belakang yang duduk.
Tanpa basa- basi, Haze yang kaku dan dingin berjalan ke tempat yang telah disediakan. Ia langsung mengurai tali penutup map itu dan mengeluarkan beberapa helai kertas.
“Don sudah memercayakanku untuk segera memastikan semua tugas kalian selesai,” katanya sambil membaca helai pertama. “Kasus Karl Harris sudah beres, Michael? Bagus. Kasus Alejandro Roccone juga bersih tak bercela… Dan apa ada banyak Keluarga Alzan di sini? Brilliant. Kalian menuntaskan semuanya dengan sempurna. Tanpa jejak. Mana Alzan? Oh, iya, aku hampir lupa dia ditugaskan untuk hal lain. Aku tetap akan memberitahu semua isi pertemuan ini dengannya. Kau ingatkan dia, Zonone. Dan Ferdo, Keluargamu mungkin belum banyak kerjaan sebelumnya, tapi kalian akan mendapatkannya sekarang.”
Semua pertanyaan dan perkataan itu disampaikan Haze dengan cepat namun tidak tergesa- gesa. Ia memegang lembaran terakhir.
“Ini adalah yang paling penting. Dan Keluargamu, Ferdo,” Haze memberi isyarat mata pada pria tampan dua puluh tahunan akhir yang berambut keriting kecil- kecil, “Kerahkan soldier dan capodecina-mu yang bisa menjebak orang licin ini. Kau akan bekerja dengan Keluarga Alzan.”
Ferdo mengangguk. Haze membalas anggukan itu, lalu mengeluarkan foto seorang pria besar tinggi.
“Dmitri Ivanov, 49 tahun. Pemilik perusahaan kilang minyak zero waste. Salah satu karyawan Ivanov mengkonfrontasi dirinya karena telah menaikkan harga minyak dan semua ini akan segera dibawa ke pengadilan bulan depan. Ia meminta bantuan Don dan karyawan itu telah ‘diamankan’, jauh dari semua orang, namun sepertinya Dmitri Ivanov telah meminta perlindungan pula pada Matteo, Five Mercury.”
Haze mengeluarkan beberapa foto lain. “Ini bukti pertemuan Ivanov dengan Matteo beserta tangan kanannya. Keluarga yang lain sedang mencari bukti pengkhianatannya, dan semuanya akan diputuskan dalam waktu tiga hari. Menjelang masa itu, persiapkan diri kalian –terutama Keluarga Alzan –ingat itu, Zonone, dan Keluarga Ferdo akan membantu juga. Dmitri Ivanov adalah pria yang lihai dan licin, sehingga tak mudah untuk menangkapnya. Ia bisa dengan mudah memalsukan identitas dan mengelabui petugas terhebat sekalipun. Jadi kalian perlu merencanakan strategi. Jangan gunakan pistol atau senjata tajam lainnya bila keadaan belum mendesak. Jangan main tangan. Cukup bawa dia pada Don.”
“Tapi, Haze,” kata Zonone, “Aku pernah mendengar pria ini dari Alzan. Bukankah identitasnya sudah sangat jelas? Bahwa dia jago bela diri, memiliki kekuatan dan memiliki senjata ilegal? Dia sendiri bisa mencelakakan sepuluh dari soldier kita.”
“Karena itulah kita perlu strategi,” tutur Haze. “Don secara pribadi memintaku agar kita mengikutsertakan Algie dalam hal ini.”
“Omong- omong tentang Algie, dia baru saja membawa orang baru,” Piuggini melempar pandangan pada Haze. “Pemuda asing, 21 tahun. Algie telah memberitahuku ciri- ciri dan kelebihannya, dan si pirang itu bersikeras agar kita mempertahankannya tanpa interogasi.”
“Benarkah?”
“Ya. Ia meyakinkanku bahwa pemuda asing ini banyak berguna bagi kita. Namanya Leonard Baker.”
Gumaman dan bisik- bisik beredar di ruangan itu.
Haze nampak berpikir- pikir. “Nama yang tak biasa. Mengapa dia sangat keras kepala ingin mempertahankan si Baker tanpa interogasi? Dia harus mendapat izin langsung Don untuk itu!”
Piuggini tidak langsung menjawab, melainkan membungkuk untuk mengambil pipa tembakaunya. Begitu sudah di tangan, ia gerak- gerakkan pipa itu dengan angkuh. “Suatu keunikan yang sangat spesial, Haze. Aku akan memberitahumu nanti. Bila si pirang itu begitu yakin tentang kemampuan Baker, aku yakin dia juga bisa digunakan dalam misi kita sekarang.”
“Oh, si soldier yang lemah namun banyak akal,” komentar Desmod pedas. “Algernon kecil jauh membahayakan dari yang kuduga. Jadi bisa dibayangkan orang seperti apa yang dia bawa. Nah, Haze! Kenapa tak kau rekrut saja dia dan minta perizinan dari Don? Kau kan dekat dengan pimpinan!”
Piuggini mengetuk pipanya keras, memprotes sindiran itu. Tapi ia tidak mengata- ngatai Desmod sama sekali, namun melanjutkan pembicaraan dengan Haze.
“Sahabat consiglieri-ku, aku tak pernah mempermasalahkan bila kau memerintah Ferdo sebagai Kepala dari Keluarga yang memposisikan aku sebagai penasehat mereka,” katanya tajam. “Tapi bila kau malah membawanya untuk interogasi, kau akan menyesal sebelum sempat mendengar kelebihannya.”