Sesampainya di Durrant Technology, Danish dan Miss Daphne Faltzog sama sekali tidak membuang- buang waktu. Wanita muda itu langsung melesat ke dalam laboratorium dan mengeluarkan kubus rumit berlapis karet silikon dengan jutaan tumpukan sirkuit itu. Ia memasukkan kubus itu ke dalam kotak berongga seperti oven –hanya saja ukurannya sangat pas dengan kubus itu. Gadis itu melepas dan menghubungkan segulung kabel berwarna berbeda dengan beberapa komputer di lab, sambil terus disaksikan Danish yang bingung. Beberapa rekan lab yang lain yang penasaran ingin bertanya tentang apa yang ia lakukan dengan begitu tergesa- gesa, namun urung saat melihat mimik wajah Daphne Faltzog yang terang- terangan mengisyaratkan bahwa ini pekerjaan serius.
Miss Faltzog duduk di kursi dan menyalakan sebuah komputer lain, dan seraya menunggu layar komputer itu berkedip ia menoleh pada Danish yang berdiri di sampingnya dengan mulut ternganga.
“Anda ingat perkataan saya waktu itu bahwa ini bisa menyelesaikan masalah kita, Mr. Durrant? Bila tidak seluruhnya, mungkin sebagian?”
Danish mengangguk.
“Kubus solid yang kita bawa ini, Mr. Durrant, dari luar tampak seperti memori. Dan itu sama sekali tidak salah. Namun fungsi utamanya adalah sebagai semacam prosesor, yang untungnya disisipi memori itu.”
“Ah,” gumam Danish tertarik. Ia dapat memikirkan kemungkinan yang ada. “Berarti ia menyimpan seluruh software untuk permainan dalam gawai, seperti itu? Dan data- data permainan Rick tentu juga tersimpan di sana.”
“Betul sekali,” sahut Miss Faltzog. Perhatiannya sekarang tertuju pada layar monitor yang sudah sepenuhnya menyala, dan ia mulai menggerak- gerakkan mouse di samping. “Bila kita bisa mengakses data permainan teman Anda dengan mudah, maka kita juga bisa masuk ke game itu sebagai Mr. Baker.”
“Maksudmu semacam satu username yang digunakan oleh beberapa pemain?”
“Ya. Dan itu artinya kita bisa menyusul teman Anda. Paling tidak, kita bisa menghubunginya.”
“Hebat!” seru Danish. Prospek menemui sobatnya sendiri dalam sebuah game virtual reality –atau sekurang- kurangnya berkomunikasi dengan Rick kerempeng itu saat ia sedang memainkan game membuat jantung Danish berdegup senang. Tertarik, semangat, dan takut. Kedengarannya seperti dalam film- film sains fiksi saja.
Selanjutnya Miss Faltzog bekerja dalam diam dan Danish sama sekali tak ingin mengganggu. Untuk beberapa saat gadis kepala laboratorium itu berkonsentrasi pada komputer di depannya, mengecek apakah memang hal yang ia diskusikan bersama Danish barusan bisa dilakukan atau tidak. Ia membuka beberapa jendela, membuka sistem dan command prompt, mengetikkan dan mengklik beberapa jendela baru lagi, hingga akhirnya muncul semacam file explorer yang menampakkan folder yang dikompres dalam ekstensi zip.
Gadis itu menghembuskan napasnya lalu memutar tubuh sepenuhnya ke arah Danish. Lelaki dua puluh satu tahun itu bisa melihat bahwa wanita di depannya tampak begitu pucat. Bahkan beberapa bintil keringat meluncur di pelipisnya yang mulus.
“Mr. Durrant, harapan awal kita sepertinya tidak sesuai dengan kenyataan,” gelengnya dengan tenang.
“Mengapa? “ tanya Danish tak sabar, “Apa yang terjadi?”
“Saya tidak bisa menemukan data apapun yang tersimpan di dalam persegi solid ini,” mulainya, “Tidak software-nya, tidak dengan data permainan Mr. Baker. Satu- satunya yang ada di dalamnya adalah folder yang dikompres ini.”
Miss Daphne Faltzog menunjuk folder yang dimaksud dengan kursor. “Dan saya sangat pasti kalau semua data itu ada di dalamnya.”
“Kalau begitu kita harus membukanya sekarang!” sorak Danish gembira. “Kita tak bisa berlama- lama lagi, Miss Faltzog!”
“Tidak dengan cara tergesa- gesa, Mr. Durrant,” sergah wanita itu. Ia lalu berdiri dan mengambil flashdisk biasa, lalu mencolokkannya pada kotak CPU.
“Kita harus menyalin folder ini dulu untuk berjaga- jaga,” jelasnya selagi komputer itu mendeteksi keberadaan si flashdisk. “Saran saya, kita memeriksa hasil salinan ini di komputer lain terlebih dulu, agar bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, folder aslinya tidak terkena masalah.”
Mulut Danish membentuk ‘Oh’. “Anda benar. Saya ceroboh sekali.”
“Bukan masalah,” sahut Miss Faltzog santai. Setelah menyalin folder terkompres itu, ia mencolokkan flashdisk ke komputer lain dan memeriksa isinya. Matanya membelalak.
Begitu pula mata Danish.
“Foldernya memang tersalin, tapi—“ kata- kata Danish terputus, “Tidak ada apa- apa di sini! Bagaimana mungkin, Miss Faltzog?”
Yang ditanya masih tampak setenang sebelumnya. “Bukan masalah besar, Mr. Durrant. Itu berarti sistemnya sengaja dibuat agar penyalinan data tak terjadi. Ini tidak main- main. Kita dapat simpulkan bahwa memang semua software dan data game memang ada di dalam folder ini.”
“Berarti tak ada pilihan lain selain memeriksa folder asli,” komentar Danish dengan gugup.
Gadis kepala laboratorium itu tidak berkata apapun melainkan berpindah ke kursi komputer awal tempat ia memeriksa si kubus solid, diikuti Danish.
“Ini satu- satunya harapan kita untuk mendapatkan datanya, Mr. Durrant. Saya akan mencoba dengan metode standar dulu : membukanya melalui beberapa aplikasi yang mungkin. Sebab membukanya secara langsung bisa jadi akan membawa resiko lain. Atau kita bisa mengekstraknya terlebih dulu.”
Danish mengangguk, walau ia tahu gadis itu tak melihat anggukannya. Ia memperhatikan usaha yang dilakukan si kepala lab, namun sepertinya metode standar tak membuahkan hasil.
“Apa ada pilihan untuk run as administrator?” usul Danish coba- coba.
“Tidak ada. Tapi kita bisa mencoba hal semacam itu melalui beberapa perintah di command prompt. Bila tidak bisa, saya akan mencoba mengubah registry keys dan subkeys-nya.”
Danish tekun mengamati keluwesan Miss Daphne Faltzog dalam usaha membuka isi folder itu. Namun sama seperti sebelumnya, tak ada informasi yang bisa mereka peroleh. Danish kembali mengusulkan cara lain –dan begitu pula dengan Miss Faltzog sendiri –namun usaha mereka masih jauh dari yang diinginkan.
Setelah lebih setengah jam mengulik komputer dengan segala kemampuan, Miss Faltzog akhirnya menyerah.
“Sepertinya kita harus membukanya dengan cara biasa, Mr. Durrant. Sistemnya tidak mengizinkan tindakan mengesktrak, menyalin, atau membukanya melalui aplikasi atau cara apapun. Berarti kita harus membuka folder itu dengan perintah Open biasa.”
Danish spontan menyentuh bahu Miss Faltzog. “Tunggu,” katanya, “Apa Anda yakin semua akan baik- baik saja?”
Gadis itu jelas sekali merasa tak yakin. “Saya tidak bisa memastikan, Mr. Durrant. Tapi ini satu- satunya cara yang tersisa.”
“Apa itu tidak cukup berbahaya? Bagaimana jika ternyata folder itu menyimpan semacam virus juga yang akan menyerang data- data lab?”
“Saya sudah memikirkan hal ini. Kita akan memeriksanya di komputer terpisah yang tidak terhubungan dengan jaringan lab, Mr. Durrant. Tidak terkoneksi internet ataupun dengan database.”
Danish masih ragu, walau ia mengiyakan. “Baiklah, kalau begitu.”
Keduanya dengan gugup berpindah ruangan dari lab ke salah satu sisi bangunan riset itu, menuju komputer usang tak terpakai. Danish membantu Miss Faltzog membawakan si kubus beserta perangkat penghubungnya, sedangkan Miss Faltzog yang sampai lebih dulu langsung menghidupkan komputer usang itu. Dalam waktu lima menit, semua perangkat kembali dipasangkan sebagaimana yang dilakukan di lab, dan kini mereka kembali menatap layar yang memperlihatkan folder tadi.
“Siap?” tanya Danish pada wanita di sampingnya –walau kata- kata itu lebih pada meyakinkan diri sendiri.
Miss Faltzog menyahut, lalu mengklik folder itu dua kali.
Dan benarlah.
Folder terkompres itu langsung menunjukkan semua file isinya.
“Coba kita salin lagi!” seru Danish.
Tanpa diperintah pun Miss Faltzog sudah mengambil flashdisk-nya lagi. Namun sebelum penyimpan portabel itu tersambung ke komputer, tiba- tiba muncul kotak dialog di layar: sebuah bar yang makin ke kanan makin menghijau dengan persentase yang bertambah. Di atasnya terdapat tulisan :
Processing…
Dan dalam waktu kurang sedetik berubah menjadi:
Folder is permanently deleted
Kedua orang itu hanya bisa ternganga. Tertegun dengan perasaan campur aduk.
“Astaga,” erang Miss Faltzog tiba- tiba setelah terdiam cukup lama. Ketegasan dan ketenangan yang selalu membayang padanya memudar sesaat, dan wajah itu alih- alih menunjukkan kekecewaan pada diri sendiri.
“Self- destruction,” katanya dengan nada sesal, “Penghancuran diri sendiri, karena sistem dari folder itu mendeteksi adanya pihak luar yang ingin mengetahui isinya.”
Danish terduduk di lantai, sama kecewanya.
“Jika Anda mau menunggu, Mr. Durrant, saya akan mencoba mengetahui cara kerja kubus itu bersama kawan- kawan lab yang lain. Karena ia semacam prosesor, mungkin kita bisa melihat strukturnya dan bagaimana prosesor itu mengolah informasi. Siapa tahu nanti data yang sudah dihancurkan itu ada back- up-nya dan bisa dikembalikan lagi. Kalau beruntung kita bisa mengetahui mekanisme yang menyebabkan gawai itu mengalami benturan dimensi dengan dunia lain—“
“Tapi berapa lama?” potong Danish putus asa. Ia menengadah pada Miss Faltzog yang masih duduk di kursi. “Saya cukup pasti kalau waktu yang dihabiskan akan berhari- hari atau berbulan- bulan seperti merakit ulang komputer super kuantum Aaron Chua. Benar?”
Daphne Faltzog menghembuskan napasnya. “Saya tidak menyanggahnya, Mr. Durrant.”
“Tapi kita tak bisa menunggu selama itu untuk menyelamatkan Rick! Dia mungkin saja dalam bahaya, dan saya tidak bisa berdiam diri sampai kalian mememecahkan masalahnya enam bulan atau setahun kemudian!”
“Saya memahami kekesalan Anda, Mr. Durrant. Tapi bila ini pilihan yang ada, kita harus mencobanya bukan? Daripada berujung buntu sama sekali,” hibur Miss Faltzog. “Anda tidak usah khawatir. Proyek ini akan dikerjakan besar- besaran supaya Anda tidak perlu menunggu selama itu. Dan selagi proyek ini dijalankan, saya akan berusaha keras memikirkan jalan pemecahan lain.”
Sebelum Danish dapat diyakinkan dengan kata- kata itu, tiba- tiba dari arah belakang mereka terdengar bunyi langkah- langkah kaki yang mendekat cepat. Keduanya menoleh, dan sebelum mereka dapat mengekspresikan rasa terkejut, orang yang datang itu sudah terlebih dulu bersuara.
“Sudah kuduga kau ada di lab, Danish. Dan Miss Faltzog, kita perlu berbicara,” ujar orang itu. Di tangannya nampak sebentuk barang elektronik hitam legam yang terasa familiar bagi Danish.
Ia terkejut.
“Kakek ??” serunya. “Dan gawai itu!”