Every Story Has It Scars

1385 Words
Jakarta, satu tahun kemudian Sudah satu tahun setelah kepergian Anneke yang berhasil membuat Aliya histeris dan mengurung dirinya di dalam kamar usai pemakaman hari itu.  Air mata seakan tak henti mengalir setiap saat, Aliya masih belum bisa ikhlas menerima orang yang paling di sayanginya setelah Mama dan Papa nya pergi meninggalkannya di saat yang amat sangat tidak tepat tapi ia tahu bahwa itu yang terbaik untuk Ibu nya, walau sungguh demi Tuhan Aliya tidak rela. Surat Cinta terakhir dari Anneke untuk ke lima anak asuh kesayangannya membuat hati Aliya semakin nyeri bila mengingat apa yang terjadi di depan matanya satu tahun lalu. Surat itu membuat Mailanny dan Maellea menuruti keinginan terakhir Anneke yang menginginkan bekas Rumah Pelangi di ubah menjadi Klinik milik Kakak-Beradik itu dan mereka berdua mengabulkannya. "Aliya?" panggil Mai dari balik pintu dan terus mengetuknya tanpa ada jawaban. Mai menghela nafasnya dengan berat menerima kelakuan putri kesayangannya berubah satu tahun belakangan, semenjak kepergiaan Anneke. "Kakak, kamu di cari Papa. Turun ya, nanti?" ucapnya sekali lagi dan akhirnya menyerah. Perubahan sifat Aliya yang menjadi pendiam, sering melamun dan terlihat murung membuatnya di kenal Anti-sosial oleh teman-teman kampusnya. Bahkan Dokter Shanti, yang tak lain adalah dosen Aliya sekaligus teman Mai juga heran mengapa Aliya begitu berubah drastis. Walaupun tak berdampak apapun pada nilai akademis kuliahnya tapi sifatnya semakin tertutup pada siapapun, ya Dokter Shanti mendapat laporan dari ketua kelas di kelas Aliya yang berkeluh kesah tentang Aliya yang di tahun pertamanya kuliah belum berhasil memiliki banyak teman dekat, hanya Izza satu-satunta teman dekat-sangat dekat Aliya di kampus. Aliya bahkan tidak pernah ikut kumpul-kumpul dengan teman-teman kampusnya, hati Aliya masih berkabut duka mendalam dan entah dengan apa menyembuhkannya. "Mana Aliya, Ma?" tanya Hardi sambil menggendong kedua jagoan kecilnya yang sudah berusia satu tahun dan selalu memberi kejutan perkembangan yang luar biasa pada kedua Orang Tuanya. "Nggak mau keluar." jawabnya dengan wajah sendu. "Mau sampai kapan dia kayak begitu, Mas?" lanjutnya lalu menggendong Kanika dan mengajaknya bicara walau sesungguhnya Kanika tidak mengerti apa yang di ucapkan Mamanya itu tapi yang Kanika lakukan adalah hanya memandang dan menciumi pipi Mamanya saja. Menurut cerita Bik Minah, sejak pulang kuliah tadi Aliya belum lagi keluar dari kamarnya. Aliya masih berada di atas tempat tidurnya dan menangis sambil memeluk kerudung Anneke yang selalu ada bila ia rindu wangi badan Ibunya itu. Kanika meronta turun dari gendongan Mamanya dan memanjat tangga dengan pelan-pelan sambil terus di awasi Mai dari bawah. "Kakak!" suara cempreng itu berasal dari balik pintu sambil mengetuk-ngetuk pintu. "Main yuuu?" ajaknya. "Kak Iyaaa!!" panggilnya lagi karena belum mendapat respon dari Aliya. "KAK IYAAA!!!!" teriaknya makin kencang. Kanika ingin mengajak main Aliya saat ini, karena Aliya selalu mengajaknya main dokter-dokteran bila ia kembali dari kampusnya dan itupun jika moodnya sedang bagus. "KAK IYAAAA!!!" teriaknya lagi dan akhirnya menangis terduduk di lantai. "Mamaa kak iya, ga, au main!!" teriaknya setengah menangis di pelukan Mai saat dihampiri. "Jangan ganggu Kakak dulu ya Sayang." ucap Mai lalu membawanya turun dan memberikan sebotol s**u untuk menenangkannya. Tak lama kemudian Kanika pulas dalam dekapan Mai  lalu membaringkannya di tempat tidur. "Bian, Bhima. Bobok yuk Sayang?" ajak Mai saat keluar dari kamar. Si kembar menggeleng. "Masih kangen Papa ya? Ya udah deh, kalau mau bobok Mama ada di kamar Kakak ya..." ucapnya lagi lalu beranjak menaiki anak tangga menuju kamar Aliya sementara si kembar asik menonton dari ponsel Papanya. Mai memakluminya karena seminggu kemarin Hardi berada di Palembang mengurus proyeknya, jadi otomatis saat si kembar melihat Papanya di ujung pintu mereka berebut berlarian minta di gendong lebih dulu. Mai memutar kenop pintu kamar Aliya dan menadapati putrinya sedang tertidur begitu pulas sambil terus memeluk sehelai kerudung itu dengan baju yang sejak sore tadi belum ia ganti. "Nak, sampai kapan kamu mau terus seperti ini sayang?" ucapnya nyaris tanpa suara dan mengusapkan punggung tangannya ke pipi Aliya dan ia terbangun. "Mama?" ucapnya pendek. Aliya tidak heran lagi melihat Mamanya ada di sini sekarang. Mai tersenyum melihat Aliya bangun, walaupun dengan mata yang sembab. "Ganti bajumu dulu, Kak." ucapnya sambil memberikan piyama tidur yang tadi ia ambil dari dalam lemari dan Aliya menurutinya. "Kak, Papa bawa pempek lho." Mai berusaha membuat Aliya antusias sambil meletakkan baju yang tadi sore Aliya kenakan ke dalam keranjang cucian. Mai tahu Aliya menyukai makanan bercuka pedas-manis-asam segar itu, Aliya bergeming di tempatnya berdiri. "Turun dulu yuk, Papa kangen juga sama kamu."  ucap Mai lalu menarik tangan Aliya dengan halus menuju lantai bawah.  .  .  . "Kak, mau liburan nggak?" tanya Hardi sambil menatap wajah dingin Aliya yang sedang mengunyah. "Nggak." jawabnya pendek. "Yah, sayang banget. Padahal Papa udah ada rencana dan mau cuti dalam waktu dekat ini. Tapi kayaknya kamu nggak mau, ya?" jawab Hardi kecewa mendapat penolakan dari Aliya. "Cuma rencana, kan?" tanya Aliya. "Yaa, kayak yang udah-udah sih, cuma rencana yang nggak tahu kapan kejadian. Untung Aliya nggak kaget lagi sama janji-janji Papa." ucap Aliya asal membuat Papa dan Mamanya melongo. Memang, akhir-akhir ini Hardi sibuk dengan pekerjaannya, Mai sudah memberi tahukan Aliya soal liburan itu tapi tidak jelas akan pergi kemana  dan kapan karena masih menunggu Hardi cuti dari pekerjaannya. "Kak ja-" ucapan Mai terinterupsi Aliya. "Apa, Ma? Bener, kan?" Mai hanya bisa menggeleng mendengar apa yang Aliya katakan. Aliya masih asik menonton televisi di depannya dengan wajah masam dan kesal. "Udah, nggak usah bahas-bahas liburan, Ma, Pa." ucapnya lagi. "Kak, kali ini Papa serius." "Kemarin-kemarin juga bilangnya sama kayak gitu. Tapi apa? Papa malah pergi kan? Papa tugas keluar kota kan? Seminggu yang lalu Papa ke Palembang, Dua minggu lalu Papa ke Kalimantan, Sebulan yang lalu Papa Makassar even dua bulan yang lalu, Papa ke Medan. Minggu depan Papa kemana lagi? Bulan depan Papa kemana lagi?" Aliya menyebutkan kemana saja Papa nya pergi belakangan ini. "Aliya tahu Papa kesana kemari cari uang buat Mama, Yaya, Bian, Bhima sama Kani. Aliya tahu, paham bahkan, that's your responsibility. Tapi pernah nggak sih Papa pikir, kita semua di sini nggak cuma butuh materi berlimpah yang Papa kasih?" "Tapi juga kita pengin Papa punya waktu buat kita semua, Aliya kangen Papa yang  dulu selalu ada buat Aliya sama Mama, yang dulu selalu siap-siaga bila sesuatu terjadi, yang dulu rela cuti berbulan-bulan demi ketemu sama Aliya. Cukup Aliya aja yang kehilangan Papa belasan tahun lalu, jangan sampai adik-adik Aliya merasakan hal yang sama," "Life never came twice, it only took one chance, life too short if you don't spend it with your love ones." jelas Aliya panjang lebar mengejutkan Papa dan Mamanya yang duduk bersebelahan di atas sofa tanpa bisa memberikan pembelaan apapun atas apa yang di sebutkan Aliya karena semua yang Aliya ucapkan benar adanya. "Kemana Papa Aliya yang katanya arsitek hebat itu?" ucapnya asal lalu naik ke lantai dua meninggalkan Mama dan Papanya yang masih belum bisa berkata apa-apa. Hardi hanya bisa diam mendengar apa yang Aliya ucap. Ia masih belum percaya dengan apa yang barusan ia dengar karena sebelumnya Aliya belum pernah seperti ini dan ia merasa mendapatkan protes keras dari putri sulungnya. "Ya Allah...." lirihnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Mai hanya bisa memijat dahinya yang tidak terasa pusing itu, sungguh ia juga kaget dengan apa yang barusan terjadi di hadapannya. Sudah setahun kepergian Anneke, Aliya masih saja begitu. Perubahan besar dan terlihat terjadi pada Aliya sejak hari-hari pertama Anneke tak ada. Aliya jadi semakin pendiam dan pemarah jika ada sesuatu yang tidak pas di hadapannya. Entah bagaimana lagi Mai harus mengembalikan Aliya menjadi seperti dulu lagi? Semua cara Mai  sudah mencobanya, dari liburan ke Lembang sampai ke luar negeri. Tapi tak ada satupun dari liburan itu membuat Aliya ceria kembali. Dari pantai sampai Disneyland pun Aliya tidak terlalu excited. "Harusnya kamu paham, Mas. Aliya emosinya masih belum stabil dan masih terguncang, jangan menjanjikan apapun untuk saat ini. Kamu kan udah janjiin berapa kali tapi nggak pernah jadi terus ya bosen lah anaknya." ujar Mai lalu menggendong dua jagoannya. "Udah yuk, Bian sama Bhima kita bobok." ajak Mai. "Papapapa, Ma?" oceh keduanya. "Papa nanti aja, biarin." lalu Mai ngeloyor masuk kamar meninggalkan Hardi yang masih terdiam di sofa. ----------- Yaakkk kembali lagi di siniii, jadi beberapa part ke depan masih lanjutannya Unspoken Truth ya gaes, extra part di lapak sebelah sengaja aku hilangkan karena mau aku munculin di sini biar gak plot hole lagi. Yuhuuu.. Hujani aku dengan vote dan komen kalian yaa, #dahgituaja #awastypo Dudui Danke, Ifa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD