Tessa kembali ke kantor dengan menggunakan taksi meski jarak antara pusat perbelanjaan tersebut tak jauh dari gedung tempatnya berkantor. Hanya perlu beberapa menit dengan berjalan kaki. Namun Tessa tak mungkin melakukan itu saat ini. Barang yang dibeli oleh Tessa jauh lebih banyak dari yang direncanakan Tessa sebelumnya.
Tessa berhambur keluar dari dalam taksi dengan dibantu oleh sang supri untuk mengeluarkan barang-barang Tessa dan membawanya ke dalam lobi.
“Biar saya bantu, Mrs. Wagner,” ujar Kimi, gadis muda penerima tamu di perusahaan tempat Tessa bekerja. Kimi meraih kantung belanjaan yang ada di tangan sang supir taksi. Sementara Tessa membawa sisanya.
“Terima kasih, Kimi,” ucap Tessa dengan tulus sambil tersenyum.
“Anda ingin membawanya ke dalam?” tanya Kimi.
Tessa menjawab dengan anggukan dan keduanya berjalan masuk ke dalam koridor kantor. Deretan meja dengan bilik penyekat yang sengaja dibuat rendah. Dering telepon yang saling bersahutan, kesibukan kerja di sepanjang hari. Waktu menunjukkan pukul tiga sore dan sepasang mata Tessa telah menangkap sosok Astrid yang baru saja beranjak dari kursinya.
“Kau habis memborong belanjaan rumah tangga, Mrs. Wagner?” celoteh Astrid yang membuat Tessa tesenyum. “Kau bisa memberikannya padaku, Kimi. Kau kembali ke depan,” ujar Astrid sambil meraih kantung belanjaan milik Tessa yang ada di tangan Kimi dan setelahnya gadis muda itu berbalik untuk kembali ke depan.
“Apa ada yang mencariku?” tanya Tessa sambil melanjutkan langkahnya ke dalam ruangan disusul Astrid di belakang.
“Tidak ada yang mencarimu. Aku mengkhawatirkan keadaanmu, Tess. Kau pergi dengan---”
“Ya, maaf kan aku,” seloroh Tessa sambil meletakkan semua belanjaannya di atas sofa. Astrid telah menutup pintu ruangan di belakang langkah mereka.
Keduanya bertatapan sebelum Tessa melepaskan mantel yang dikenakannya yang kemudian ia sampirkan pada punggung kursi kebesarannya. “Penerbanganmu akan diundur.” Astrid mengatakannya dengan cepat tepat saat Tessa menghempaskan tubuhnya ke kursi kerja. Tessa menatap dengan terkejut. “Seharusnya lusa. Tapi entahlah, mereka yang mengubahnya,” ujar Astrid.
Tessa terdiam dan hanya menatap. “Apakah jadi masalah untukmu dan Darek?” tanya Astrid usai mendapati ekspresi wajah Tessa yang datar dan tak berbicara. “Aku hanya mengkhawatirkan jadwal kerja suamimu yang super sibuk itu, Tess,” sindir Astrid yang membuat Tessa mengernyit dengan mimik jenaka disusul dengan keduanya yang saling tersenyum.
Tessa menelan ludah, menarik kursi yang diduduki untuk mendekat pada meja. Astrid juga telah duduk di kursi beroda yang ada di seberang Tessa. “Aku harus berterima kasih padamu karena kau telah membantuku,” ungkap Tessa dengan ketulusan.
Keduanya saling melepaskan senyuman sebelum ponsel Tessa berdering dan memunculkan nama Christa Andrew pada layar ponsel yang berubah terang. Tessa telah mengeluarkan benda pipih itu di atas meja usai melepaskan mantel dan duduk. Tessa sempat melirik ke arah Astrid sebelum menggeser tombol bicara.
“Selamat siang,” sapa Tessa.
“Selamat siang, Mrs. Wagner. Apa kabar? Aku harap dirimu masih ingat denganku. Aku---”
“Kabarku baik. Semoga Anda juga begitu. Ya tentu, aku tak akan lupa dengan Anda, Mrs. Andrew. Anda... Apa yang dapat aku bantu untuk---”
“Ya, aku menghubungi karena ingin mengundang Anda dan suami untuk datang ke acara keluarga kami. Ibuku berulang tahun,” ungkap Christa dengan suara yang terdengar antusias. Sedangkan Tessa melirik ke arah Astrid. “Ibuku ingin mengundang Anda sebagai ungkapan terima kasih karena telah membantunya dalam beberapa acara kegiatan sosial.”
“Aku merasa tersanjung untuk itu. Tapi rasanya aku---”
“Aku mohon,” potong Christa cepat dan kalimat Tessa berhenti saat itu juga. Tessa menarik napas dengan dalam, berputar di atas kursi kerja yang didudukinya hingga menatap ke arah Astrid yang memperhatikan sejak tadi. “Kami akan mengadakan acara penggalangan dana juga jika Anda ingin ikut berpartisipasi kami akan sangat senang, tapi jika pun tidak, Anda cukup datang sebagai tamu kehormatan kami,” jelas Christa panjang lebar dengan intonasi suara yang terdengar tenang tanpa mengurangi antusias dalam suaranya.
Tessa terdiam sejenak untuk beberapa detik. Melipat salah satu tangannya di atas meja. “Acaranya lusa,” imbuh Christa lagi yang membuat Tessa menatap Astrid dengan lurus. Astrid memicing, menatap bingung.
“Aku… ya aku akan berusaha untuk datang. Bisakah aku mendapatkan undangannya agar aku dapat memasukkannya ke dalam---”
“Ya tentu. Aku akan mengirimkannya sekarang,” sela Christa cepat untuk menyambar sebuah kesempatan yang sejak tadi dia harapkan. “Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, Mrs. Wagner,” ungkap Christa dengan tulus.
“Ya, sampaikan salamku untuk Mrs. Andrew, Ibu Anda.”
“Pasti akan aku sampaikan.”
Percakapan berakhir sedetik kemudian dan Tessa menurunkan ponselnya, meletakkan di atas meja bersisian dengan laptop miliknya di bawah tatapan Astrid. Keduanya bertatapan hingga Tessa mengatur kembali napasnya. “Aku rasa keputusan pengunduran jadwal terbang telah benar. Aku harus menghadiri sebuah acara besok lusa.”
“Syukurlah.”
Tessa menyandarkan punggungnya ke belakang. “Apa yang kau pikirkan? Aku merasa kau tak benar-benar baik saja, Tess.”
Tessa kembali menarik tubuhnya, meletakkan kedua tangannya yang terlipat di atas meja. “Mungkin kah pembicaraan bisnis dilakukan di waktu dini hari dengan suara yang begitu pelan?” tanya Tessa yang tak sabar untuk mengeluarkan isi pikirannya yang tersa begitu menyiksa. Segumpal pertanyaan yang telah meracuni otaknya sejak beberapa jam lalu. Tessa menatap Astrid dengan lurus yang duduk di seberangnya. Sementara Astrid menatap Tessa dengan terkejut dan penuh tanya, bahkan Astrid sampai mencondongkan tubuhnya hingga menempel pada tepian meja.
“Apa maksudmu? Kau mendengar percakapan antara siapa?” tanya Astrid penasaran dengan tatapan yang berubah memicing. “Apakah Darek suamimu?” buru Astrid lagi.
Tessa menelan ludah sebelum mengangguk pelan sebagai sebuah pengakuan. “Kau mendengarnya langsung? Apa yang dirimu dengar?”
“Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya, hanya saja....” Tessa menghentikan kalimatnya dengan suara yang seakan diseret. Bayangan semalam yang kembali menyelinap dalam ingatan Tessa. Malam yang hening dari kamar tidurnya. Tessa yang memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur usai menyadari jika Darek tidak ada. Tessa masih dapat mendengar dengan jelas jejak kakinya sendiri yang melangkah menuruni anak tangga satu per satu hingga mendekat pada suara Darek yang kian jelas.
“Katakan. Ceritakan padaku apa yang terjadi?” buru Astrid pada akhirnya. Astrid merasakan saraf-saraf di sekujur tubuhnya berkedut karena rasa penasaran yang mulai merambatinya.
Tessa menatap dengan tatapan yang masih sama. Wanita muda bertubuh mungil itu masih membisu untuk dua detik sampai kembali melanjutkan pembicaraan.
“...Aku terbangun dan suamiku tidak ada. Aku mencarinya dan menemukannya sedang berbicara dengan seseorang di telepon,” sambung Tessa setelahnya. Tessa memperbaiki posisi duduk dirinya agar lebih nyaman. “Aku.... Dia, maksudku suamiku mengatakan jika dia tidak akan mengatakan kebenarannya dan dia... dia sedang mencari cara lain,” ucap Tessa dengan suara bergetar dan kalimat yang putus-putus. Tessa menelan ludah dan menjilat bibirnya yang terasa kering. “Mereka.... ya Darek dan seseorang itu akan membicarakannya hari ini. Suamiku menunggunya di kantor.”
“Karena itu dirimu langsung pergi setelah mengingat hal itu kembali?” selidik Astrid yang membuat Tessa terdiam dengan wajah yang serius. Terdengar Astrid yang menarik dan mengembuskan napas. “Apa kau mencurigai jika Darek suamimu telah...” Astrid sengaja menggantung kalimatnya sambil tetap menatap langsung ke dalam manik mata indah Tessa yang terlihat telah berubah keruh.
Tessa tenggelam dalam pikirannya sendiri. Gumpalan menyesakkan itu seakan dibayar lunas, disapu bersih oleh Darek Wagner dengan percintaan panas di pagi hari berikutnya. Tessa merasa tak yakin dengan yang dirinya rasakan setelahnya. Tessa terdiam.
Bayangan percintaan dirinya dengan Darek semalam masih terasa hingga kini. Tessa masih merasakan panas tubuh Darek yang menjulang di atas tubuhnya dengan bersimbah keringat. Rasa dari setiap lesakan Darek saat mendorong masuk miliknya ke dalam milik Tessa. Desahan panjang yang tak mampu Tessa tahan hingga meluncur dengan begitu saja. Tubuh keduanya yang saling menyeimbangi satu sama lain. Darek bergerak naik turun dan Tessa hanya menerima, menikmati seluruh perasaan dalam dirinya yang telah lama mendambakan percintaan panas bersama suaminya. Tessa bahkan lupa kapan terakhir mereka bercinta dengan begitu panas dan berulang-ulang. Tessa merasa kedua gundukan di dadanya mengeras seketika. Mendamba untuk disentuh, tak hanya dengan ujung jari Darek, tapi juga lidah basah Darek. Rasanya Tessa tak mampu menahan lebih lama saat setiap jengkal kulitnya yang mulus dinikmati oleh Darek dengan cara yang luar biasa.
“Tess. Tessa.” Astrid memanggil hingga dua kali dambil menyentuh lengan Tessa hingga membuatnya mengerjap sebanyak dua kali. Tatapan Tessa seperti orang bingung saat panggilan Astrid telah menarik dirinya kembali ke dunia nyata. Semua bayangan erotis dalam kepala Tessa seketika menguap begitu saja.
“Kau melamun? Apa yang sedang kau pikirkan? Kau mencurigai jika suami mu---”
“Entahlah,” tangkis Tessa setelahnya. Tessa menelan ludah dengan susah payah. Ia tak yakin dengan pikirannya sendiri. Terbiasa untuk melewati malam seorang diri dan dikejutkan oleh kenyataan Darek yang berbicara dengan seseorang di waktu yang diperuntukan bagi tubuh untuk istirahat, rasanya memang janggal. Tapi percintaan mereka yang luar biasa seakan mematahkan semua pemikiran itu. Tessa tidak merasakan jika Darek bermain-main. Darek bercinta dengannya dengan ketulusan.
“Aku hanya merasa bingung dengan keadaan rumah tanggaku. Aku bingung dengan suamiku yang tak pernah ingin ikut bersamaku untuk ke dokter dan melakukan konsultasi kandungan.”
“Dia tidak menginginkan anak. Dia tak---”
“Tidak mungkin,” tangkis Tessa yang masih membela Darek suaminya. Tessa menatap dengan lurus sebelum beranjak dari kursinya. “Aku yakin semua ini hanya kesibukannya saja.”
“Karena itu aku menyarankan kalian untuk pergi berlibur dan anggap saja kalian melakukan pembaharuan pernikahan.” Astrid mengatakannya dengan santai. Namun respon yang muncul dari Tessa tidak lah santai. Tessa tetap menatap dengan serius. “Aku memang belum menikah, tapi aku cukup mengerti tentang hal itu,” Astrid membela dirinya sendiri dari hantaman keraguan yang melanda sahabatnya. “Aku tahu ini sulit. Kau dan suamimu sama-sama sibuk. Rehat sejenak rasanya bukan lah dosa, Tess.”
“Pernikahan hasil perjodohan sangatlah rumit.”
“Kenapa kau berkata begitu?”
Tessa berjalan mendekat ke arah Astrid yang masih duduk di kursi berodanya yang telah sedikit bergeser, memberi ruang pada Tessa untuk menjulang di hadapannya sambil menyandarkan bokongnya ke tepian meja dengan kedua tangan terlipat di d**a.
Ingatan Tessa kembali pada suatu sore sepulang dirinya berkencan pertama dengan Darek Wagner yang ternyata hasil dari skenario yang direncanakan oleh Kamala Wagner. Wanita paruh baya itu ingin jika putranya segera menikah. Namun terasa aneh jika mengingat saat itu putra sulung Kamala yakni Thomas Wagner juga belum menikah. Bahkan Tom baru menikah setelah Darek menikah.
“Aku hanya merasa lelah dengan semua aturan itu. Rasa balas budi yang harus aku lakukan,” ungkap Tessa dengan suara yang terdengar berat. Tessa menoleh untuk menatap Astrid yang masih duduk di kursinya. “Aku tak dapat menolak pernikahan itu karena Ayah angkatku yang memintanya. Aku tak mungkin melakukan penolakan jika Ayah angkatku telah memberikan banyak kehidupan baik untukku, Astrid.” Tessa mengatakannya dengan penekanan dan mimik wajah Tessa terlihat masam. Kesedihan yang terlihat nyata meski Tessa berusaha untuk menutupi segalanya dengan senyuman.
“Kau pernah mengatakan pada Ayahmu tentang keberatanmu untuk---”
“Sudah dan aku baru mengetahuinya alasan yang tak mungkin ditolak oleh Ayahku untuk rencana perjodohan itu.”
Tessa melirik ke arah Astrid yang terlihat serius mendengarkan hingga keningnya berkerut dan tatapannya tertuju sepenuhnya pada Tessa. Tessa sekali lagi menarik napas. “Ayahku memiliki utang yang besar pada Kamala Wagner. Ayahku telah bangkrut sejak setahun sebelum pernikahanku, Atsrid.”
“Ya Tuhan,” desah Astrid sponatn sambil berjingkat dari kursi yang didudukinya untuk meraih bahu Tessa dan memeluknya dengan erat.
“Aku tak mungkin menolak rencana itu,” ucap Tessa lagi sambil memeluk erat tubuh Astrid yang lebih besar dari tubuhnya. Tessa mulai menangis. “Aku hanya bisa menerima itu. Menerima perjodohan itu.” Suara Tessa telah berubah getir dan Astrid mulai mendengar sahabatnya menangis bersama dengan pelukannya yang kian erat.
“Menangislah, Tess.”
Astrid memeluk kian erat, mengusap punggung Tessa dengan gerakan naik turun. Membiarkan kemeja yang dikenakannya basah pada bagian bahu karena airmata Tessa yang tumpah. Tangis Tessa pecah tanpa suara lantang. Tessa meremas perasaannya dengan begitu kuat. “Aku menyayangimu, Tess. Kau tak akan pernah sendirian,” ucap Astrid di dekat telinga Tessa.
Mereka tetap berpelukan hingga beberapa menit setelahnya disusul dengan pesawat telepon Tessa yang berdering dengan lantang memecah kebisuan. Tessa dan Astrid seketika berhamburan melepaskan pelukan mereka. Tessa langsung menyambar gagang pesawat telepon sambil mengusap basah di bawah kelopak matanya dan juga menarik napas dengan begitu dalam sebelum menyapa Kimi yang berada di ujung saluran telepon.
“Ya, Kim.” Tessa menekan suaranya agar tak mencurigakan.
“Mrs. Wagner, Anda kedatangan tamu atas nam---”
“Hi Tess, ini aku Gemma.” Suara Gemma yang terdnegar ceria dan lantang telah menggantikan suara Kimi sebelumnya. Tessa menatap Astrid dengan mata membulat karena terkejut.
“Gemma, kau---”
“Aku datang untuk menemuimu karena aku ingin---”
“Berikan teleponnya pada Kimi, dia akan membawamu masuk ke ruanganku,” ucap Tessa yang kemudian memutus sambungan telepon dengan mimik masam.
“Kejutan yang luar biasa di hari ini,” seloroh Astrid usai Tessa mengembuskan napas dengan keras dan kembali duduk di balik meja kerjanya.