Tessa memutuskan untuk tidak benar-benar kembali ke kantor atau pun ke tempat yang dirinya biasa berada. Tessa membutuhkan waktu untuk sendirian, memikirkan tentang banyak hal, tentang kehidupannya. Tessa telah duduk di sebuah kursi di salah satu kafe yang tak jauh dari kantor Darek Wagner, suami Tessa.
Tessa memesan segela latte dan sepiring kudapan serta roti isi tuna untuk mengganjal perutnya. Tessa tak memiliki rencana kerja hari ini. Beberapa pesan yang dikirimkan oleh Astrid masuk ke dalam ponsel Tessa namun ia enggan untuk membukanya dan beum beriat untuk membalasnya.
Tessa menarik napas dengan begitu dalam, menyandarkan punggungnya ke belakang sambil menatap ke arah jalanan yang ada di hadapannya dengan sesekali diselingi pejalan kaki yang melintas di depannya. Tessa sengaja memilih meja yang ada di luar kafe, menikmati keramaian lalu lalang orang yang melintas di atas trotoar jalanan.
Tessa terdiam sebelum bayangan semalam kembali menyelinap dalam pikirannya bersama dengan ponselnya yang berdering dengan begitu keras. Memunculkan nama Astrid sekali lagi. Wanita yang berusia satu tahu lebih muda dari Tessa itu telah menelepon sebanyak lebih dari tiga kali dan kesemuanya tak ada yang dijawabb oleh Tessa.
“Kenapa aku begitu tergesa-gesa untuk menemuinya? Apa yang aku pikirkan?” gumam Tessa seorang diri yang disertai dengan bayangan percakapan dirinya dengan Astrid satu jam yang lalu. Terasa bagai sengatan yang membuat Tessa lupa akan segalanya berpikir cepat hanya dengan ingatannya yang kembali pada percakapan Darek pada malam kemarin.
. “Aku tidak mungkin mengatakan kebenarannya jika… tidak. Aku akan mencari cara lain.” Suara Darek kembali terdengar. “Kita akan membicarakannya lagi besok. Aku menunggumu di kantor.”
“Kebenaran tentang apa? Mencari cara untuk apa?” gumam Tessa lagi. Diraihnya cangkir yang berisi latte pesanannya. Latte yang hanya tersisa setengah, begitu juga makanan yang ada di atas piring ceper yang bersisian. “Menunggu di kantor? Siapa yang akan ditemuinya di kantor?” lanjut Tessa masih dengan pikiran seputar percakapan Darek dengan seseorang yang tidak Tessa tahu siapa, di malam dengan waktu yang tak lazim.
“Sepanjang pagi ini belum ada pertemuan dengan pihak lain selain dengan Mr. & Mrs. Wagner.” Kalimat yang dikatakan oleh Melisa sekretaris Darek. Tessa menyesap latte miliknya sambil terus berpikir. “Hanya Tom dan Gemma. Siapa sesungguhnya yang akan bertemu dengan suamiku?” batin Tessa lagi dan kali ini benar-benar tak memiliki gambaran akan sebuah kemungkinan.
Tessa tak lagi merasakan nikmatnya latte saat mengenai permukaan lidahnya, lupa dengan rasa manis yang bercampur dengan kopi, mengalir turun di sepanjang tenggorokannya. Tessa hanya berkubang dengan pikirannya. Kembali ponselnya berdering.
“Ya, Astrid,” Tessa akhirnya menjawab panggilan.
“Kau baik-baik saja?” Pertanyaan yang diucapkan Astrid dengan suara yang terdengar khawatir. Astrid menghentikan jemarinya yang berada di atas tuts papan ketik. Keheningan yang menyelinap setelahnya. Tessa masih terdiam. “Kau pergi dengan tergesa-gesa. Aku mengkhawatirkan dirimu, Tess,” ungkap Astrid panjang lebar.
Tessa menarik napas dan mengembuskannya.
“Aku baik-baik saja. Aku.... Aku hanya baru mengingat ada yang harus aku lakukan. Karena itu lah aku pergi dengan tergesa-gesa. Maafkan aku,” ujar Tessa sambil meletakkan kembali cangkir latte di tepat semula, di atas sebuah cawan putih yang terbuat dari keramik dengan motif yang sama dengan cangkir. Suara Tessa yang terdengar berubah membuat Astrid penasaran.
“Kau berada di mana? Kau sudah membaca dokumen perjalananmu dengan Darek?” tanya Astrid lagi yang terdengar mendesak. Tessa menelan ludah, menatap jauh ke depan, menyaksikan kendaraan berlalu lalang memadati jalanan kota Berlin di siang yang tampak cerah. Tessa memeprbaiki posisi duduknya untuk lebih nyaman.
“Aku berada di kafe. Aku butuh---”
“Kau sedang tidak baik-baik saja, Tess,” seloroh Astrid menyela perkataan Tessa dengan penuh keyakinan. Astrid Baker dan Tessa Madison bukan lah baru kemarin menjalin pertemanan, karena itu Astrid begitu mengenal Tessa dengan baik. Astrid yang telah menajdi pendengar setia Tessa sejak dirinya menikah dengan Darek Wagner, seorang pialang saham terkenal dengan reputasinya di lantai bursa. Jual beli saham yang tak terkalahkan, tembakan jitu untuk membeli dan menjual tiap lembar saham. “Katakan apa yang terjadi dengan mu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Tessa langsung yang membuat Astrid terkejut di tempatnya. Tessa hanya dapat menebak yang terjadi dengan sahabatnya yang menahan napas di ujung saluran telepon. “Aku akan memeriksan dokumen yang dirimu kirim sekarang,” elak Tessa dengan sopan.
“Baiklah. Kau akan kembali ke kantor atau---”
“Tidak.” Tessa menyambar dengan cepat disusul dengan menjilat bibirnya yang terasa kering. “Aku akan menemui Darek,” lanjut Tessa.
“Tapi mobilmu... aku melihatnya masih ada---”
“Ya, aku lupa jika malam ini aku akan---” Kalimat Tessa berhenti dan kembali teringat jika Darek yang akan menemuinya di kantor untuk kemudian mengunjungi Kamala Wagner untuk makan malam bersama. “Ya Tuhan,” desah Tessa.
“Kenapa?” tanya Astrid spontan.
“Aku akan ke kantor saja. Aku kembali sekarang.” Tessa langsung beranjak dari kursi dengan cepat, memasukkan semua barang-barang miliknya di atas meja. “Aku matikan teleponnya sekarang.” Tessa langsung memutus sambungan telepon.
Tessa melangkah menuju tepian trotora sebelum melambaikan tangan ke udara untuk menghentikan sebuah taksi.
Sementara yang terjadi di gedung yang letaknya beberapa blok dari kafe tempat Tessa menikmati latte berbeda. Gemma telah pergi meninggalkan ruang kerja Darek, menyisakan Tom dan Darek Wagner. Kakak beradik yang tampak duduk berseberangan satu sama lain. Darek cukup terkejut dengan keputusan Tom Wagner sang kakak yang tetap berada di dalam ruangan.
“Kau sedang ada masalah?” tanya Darek pada Tom yang tampak terdiam merenung.
Tom menatap Darek dengan tatapan terkejut usai terdiam sepanjang Darek menjawab telepon.
“Tidak. Aku hanya sedang memikirkan tentang rumah tanggaku.”
“Apa yang terjadi?” tanya Darek spontan sebelum berjalan ke arah sebuah meja yang letaknya tak jauh dari meja kerjanya.
Terdengar Tom yang menggeser kursi beroda yang didudukinya.
“Kau tahu kan jika Mom tidak menyukai Gemma. Dia akan terus menyerang istriku dan malam ini kita semua akan bertemu di rumah Mom,” ungkap Tom yang terdengar cemas. Darek mendapati kecemasan itu saat dirinya menatap sang kakak dari balik bahunya. Tom terlihat menopang dagunya di atas tangan yang bertumpu pada lengan kursi.
“Aku pikir kau dan Gemma telah mengusahakan yang terbaik,” ucap Darek smbil berjalan mendekat untuk kembali ke meja kerjanya dengan dua gelas minuman di tangannya yang kemudian ia sodorkan ke hadapan Tom yang menerima tanpa menolak. “Bukan kah kalian menikah karena---”
“Aku berbeda denganmu, b******k,” sembur Tom cepat. Menatap Darek yang sedang menyesap minuman dalam gelasnya. “Aku menikahi Gemma karena aku mencintainya. Tidak seperti dirimu yang dijodohkan,” imbuh Tom yang terdengar sombong.
Darek menyeringai lalu meletakkan gelas di tangannya untuk diletakkan di atas meja kerjanya, bersisian dengan laptop miliknya. Darek menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kebesaran yang di dudukinya sambil menatap Tom yang meneguk habis minuman dalam gelas hingga tandas.
“Lantas apa yang menjadi kekhawatiranmu? Karena Mom?” selidik Darek.
Tom meletakkan gelasnya yang telah kosong ke atas meja. Melipat kedua tangannya di atas meja, saling menatap satu sama lain dengan Darek. “Aku tidak suka dan kesal dengan semua kegilaan Mom yang terus mengontrol kehidupan kita. Apakah kau tidak---”
“Aku tidak merasakan itu,” sambar Darek yang menatap Tom dengan santai. Tom menaikkan alisnya sebelah. Menatap dengan menilai. “Kau sebagai kakakku, mungkin Mom ingin kau---”
“Bullshit!” maki Tom spontan. Tom membuang tatapannya ke arah lain dan Darek tak tersinggung dengan makian sebelumnya. “Aku ingin keluar dari semua bayang-bayang kegilaan keluarga kita. Dad memutuskan pergi dari rumah juga karena---”
“Lantas apa yang akan kau lakukan?” potong Darek dengan pertanyaan yang membuat Tom terdiam. Tom mengusap menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan menarik napas dengan begitu kuat. “Sekarang Mom tak hanya mempermasalahkan pernikahanku dengan Gemma. Tapi juga sudah mulai membandingkan aku dan dirimu,” ucap Tom yang membuat Darek terkejut. Keduanya telah kembali bertatapan.
***
Tessa Wagner: Aku akan mampir ke pusat perbelanjaan lebih dulu. Aku ingin membelikan sesuatu untuk ibu mertuaku.
Pesan yang dikirimkan Tessa pada Astrid usai taksinya yang membawa Tessa berhenti di depan sebuah pusat perbelanjaan besar yang letaknya tak jauh dari kantor tempat Tessa bekerja. Tessa melangkah keluar sebelum menyeberangi jalanan menuju pintu masuk pusat perbelanjaan. Tampak beberapa mobil baru saja keluar dari halaman parkir.
Tessa berjalan kaki dengan langkah lebar menyusuri parkiran hingga ke lobi dengan disambut pintu kaca ganda yang terbuka secara otomatis. Seketika Tessa melangkah dan angin dari pendingin ruangan langsung membekapnya, menyapu tubuhnya disusul dengan sambutan ramah dari pelayan pusat perbelanjaan.
Tessa berniat untuk mencari makanan atau buah untuk dirinya bisa jadikan buah tangan saat kunjungannya malam ini ke kediaman keluarga Wagner dalam jamuan makan malam. Tessa telah mengambil kereta dorong dan menyusuri tiap rak yang memamerkan berbagai keperluan kamar mandi lebih dulu. Tessa teringat beberapa keperluannya di dalam kamar mandi sudah mulai habis. Salah satunya adalah shampo milik Darek. Langkah Tessa pelan, mengamati satu per satu barang sambil mengingat kebutuhannya sendiri.
Langkah Tessa berhenti di depan sebuah rak kosmetik. Menjulurkan tangan kanannya untuk meraih salah satu perona bibir di antara yang lainnya. Tessa mendekatkannya ke hidung sebelum mengamati warnanya dengan lebih dekat. Perona bibir dengan warna matte. Tessa tak suka menggunakan pewarna bibir yang merah merona seperti yang digunakan oleh Gemma, kakak ipar Tessa. “Hmmm,” gumam Tessa sambil menggoreskan ujung perona bibir pada permukaan kulit punggung telapak tangannya. Mengamatinya kembali hingga Tessa memutuskan untuk meraih yang lainnya. Membandingkan sambil bergumam seorang diri. Tessa sempat menggeser posisi kereta dorongnya agar lebih menepi dan tidak menghalangi pengunjung lainnya.
Tessa cukup lama berhenti di depan rak itu hingga ia memutuskan untuk membeli kedua nomor seri perona bibir itu. Meraih kotak yang masih terbungkus yang kemudian masuk ke dalam kereta dorongnya. Tessa kembali melanjutkan langkahnya bersamaan dengan kereta dorong dari pengunjunga lainnya. Deretan botol shampo yang hendak Tessa beli berada di rak paling atas, memudah kan Tessa untuk meraihnya tanpa perlu membungkuk. “Itu dia,” desis Tessa seorang diri yang kemudian langsung menyambar botol yang dimaksud bersamaan dengan tangan seorang pria yang mengambil dari arah seberang.
Tessa terkejut, begitu juga dengan pria itu. Telapak tangan pria itu berada di atas telapak tangan Tessa yang meraih botol shampo. Pria berperawakan latin, dengan tekstur tulang wajah yang tegas. Bulu halus yang belum dicukur memanjang dari pelipis hingga membingkai bagian mulut. Bulu halus yang dibiarkan lebat. Manik mata berwarna abu-abu menatap Tessa dengan lurus lalu tersenyum.
“Silahkan,” kata pria itu sambil menyingkirkan tangannya dari tangan Tessa.
Tessa menarik napas dengan begitu dalam. “Terima kasih,” ucap Tessa sambil beranjak setelahnya. Tapi tidak dengan pria itu. Sorot mata abu-abunya masih menatap Tessa yang melangkah anggun mendorong kereta belanjanya. Melihat tubuh mungil Tessa dari belakang sampai ponselnya berdering dan membuatnya terkejut hingga mengerjap. Panggilan terjawab pada dering kedua.
“Apa kau sudah mendapatkan semua barang yang ada dalam catatanku?” Suara seorang wanita yang terdengar cerewet di ujung saluran telepom.
“Tenyata kau lebih bawel dibandingkan dengan Ibu, Christa,” selorohnya sebelum menyambar botol shampo yang sama dengan yang diambil oleh Tessa.
“Aku perlu memastikan segalanya, Theo,” balas Christa bersamaan dengan Matheo yang menoleh ke belakang dan sosok Tessa telah menghilang. “Aku tak ingin repot untuk kembali ke sana. Aku sudah hampir menyelesaikan pekerjaanku. Hanya menyisakan beberapa lagi untuk aku undang besok. Aku akan melakukannya nanti.” Chris terus meracau sementara Matheo melanjutkan pekerjaannya untuk membeli beberapa barang lagi.
Terdengar tarikan napas Christa di ujung ponsel yang masih menempel di telinga Matheo di saat langkah Matheo mendekat pada bagian makanan. “O iya, aku nyaris lupa. Kau bisa belikan apel atau buah lainnya untuk Ibu?” tanya Christa- lagi dan langkah Matheo berhenti sambil mendengus. “Aku lupa untuk memasukkan itu ke dalam catatannya, Theo,” ujar Christa yang tahu jika Matheo mendengus, terdengar dari suaranya.
“Baiklah. Apa ada lagi yang lainnya?” tanya Matheo lagi sambil melayangkan pandangan matanya ke segala arah. Setumpuk apel dan jeruk tampak dari kejauhan dengan warna yang tampak merona.
“Tidak. Aku rasa sudah semuanya. Tidak ada yang kurang, kan?” terdengar Christa yang seakan memastikan sekali lagi.
“Ya,” sahut Matheo dengan suara enggan sambil melangkah mendekat pada tumpukan buah-buahan yang ada tak jauh dari dirinya. Matheo memutus sambungan telepon dan memasukkan benda pipih di tangannya ke dalam saku. Mendorong kembali kereta dorongnya untuk mendekat pada tempat buah sebelum berhenti di tepian. “Apa yang harus aku beli?” gumam Matheo. Pria bertubuh tegap, tinggi besar itu mengigit bibirnya saat mendapati beberapa orang wanita yang tampak sibuk memilih buah. Tak ada satu pun pria. “Aku tak pernah melakukan hal ini jika bukan karenamu, Christa,” gumam Matheo seorang diri sambil melangkah ke sudut meja untuk menarik plastik bening tempat buah. Dan sekali lagi tangannya menjulur bersamaan dengan tangan seorang wanita. Kali ini telapak tangan wanita itu yang berada di atas telapak tangan lebar Matheo yang lebih dulu meraih lilitan plastik.
Dua pasang mata yang sama-sama terbelalak. “Kau---” Bahkan mereka bersuara dengan bersamaan sebelum terkekeh. “Silahkan,” ujar Tessa sambil mengangkat telapak tangannya dari telapak tangan Matheo. Membiarkan pria itu menarik plastik yang telah diraihnya.
“Silahkan,” balas Matheo setelahnya dan Tessa langsung menarik lepas plastik itu untuk beberapa kali. Tessa membutuhkan beberapa plastik untuk menempatkan beberapa buah yang akan dibelinya.
“Sepertinya Anda cukup cekatan dalam berbelanja,” ucap Matheo yang membuat Tessa mengangkat wajahnya untuk menatap langsung sebelum kembali menatap ke arah kereta dorongnya yang telah penuh. “Terlihat dari---”
Tessa terkekeh. Kereta dorongnya telah penuh hanya dalam waktu singkat. “Ya, sepertinya Anda juga melakukan hal yang sama.”
“Tidak,” sanggah Matheo cepat. “Aku hampir satu jam berada di sini. Dan---”
“Pria yang mengerti dengan kebutuhan wanita,” seloroh Tessa saat mengamati barang-barang yang ada dalam kereta dorong Matheo. Matheo terkekeh setelahnya begitu juga dengan Tessa sebelum ponsel Matheo kembali berdering di dalam saku. Sekali lagi nama Christa yang muncul di sana.
“Ya,” sahut Matheo yang terdengar kesal.
“Aku permisi dulu,” ucap Tessa meninggalkan Matheo yang sibuk dengan ponselnya. Tessa berjalan menuju ke tempat buah yang hendak dibelinya. Dengan gerakan cepat Tessa mengambil buah dan memasukkannya ke dalam plastik. Tak hanya satu jenis, tapi beberapa jenis buah yang akan Tessa jadikan bingkisan untuk Kamala Wagner.
Matheo masih menerima beberapa pesanan barang lainnya dari sang adik. Dengan kesal yang ditahan, rasa kantuk yang masih bergelayut di kelopak matanya, itu semua terkalahkan dengan rasa sayang Matheo pada Christa adiknya. Matheo dengan sabar mendengarkan sederet pesanan lainnya hingga beberapa menit berlalu.
Matheo memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jins yang dikenakannya sebelum berbalik dan melayangkan pandangan matanya untuk mencari sosok wanita yang beberapa menit lalu bertemu dengannya. “Ke mana dia?” batin Matheo dan bagian buah telah tampak kosong. Wanita-wanita lainnya yang sebelumnya tampak sibuk memilih pun sudah lenyap.