Chapter : 5

2168 Words
Tessa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tercepat dari yang dirinya bisa lakukan. Jalanan yang ternyata cukup bersahabat, tak berkendala, bahkan lampu jalanan seolah bersahabat dengannya. Tessa sampai kantor tidak sampai satu jam. Tessa juga telah mengecek jadwal kerjanya hari ini sebelum beranjak memasuki mobil. Tak ada sesuatu yang mendesak atau seseorang yang menunggunya. Mobil yang dimudikan Tessa memasuki halaman parkir dan berhenti tak jauh dari pintu lobi gedung tempatnya bekerja. Berhambur keluar sambil menenteng tas laptop dan tas tangan miliknya, melangkah anggun memasuki gedung dan manik matanya telah mendapati sosol Astrid yang menatapnya dengan menilai. “Selamat pagi menjelang siang,” sapa Tessa dengan senyuman yang tampak merekah. Tessa menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman terbaik yang membuat Astrid curiga bahkan sampai mengabaikan sapaan yang diucapkan Tessa sambil berjalan tanpa menghentikan langkahnya. “Kau tak membalas sapaanku?” sindir Tessa yang membuat Astrid terkekeh.   “Jangan katakan jika dirimu terlambat karena----” “Bagaimana jadwalku hari ini? Aku telah memeriksanya sebelum kessini,” potong Tessa dengan mengajukan pertanyaan pada Astrid. Keduanya melangkah anggun melintasi meja resepsionis ke arah koridor kantor dengan beberapa deret meja kerja bersekat sebelum sampai pada ruang kerja Tessa. Kesibukan yang terjadi dari waktu ke waktu. Tessa suka dengan kesibukan dirinya selama ini. Membunuh rasa kesepiannya selama dua tahun terakhir. “Sesuatu yang menyenangkan baru saja terjadi? Kau tampak berbeda, Tes.” Astrid terus memburu dan Tessa tampak santai, hanya sekali melirik ke samping dan mendapati rasa penasaran yang tampak jelas di wajah Astrid. Pertanyaan yang meluncur saat keduanya telah sampai dalam ruang kerja Tessa dan Astrid menutup pintu di belakangnya, sementara Tessa telah meletakkan tas kerjanya di atas meja kerjanya yang besar. Terdengar tarikan napas keduanya dan saling bertatapan dengan cara masing-masing. Astrid menatap Tessa dengan menyelidik karena rasa penasarannya, terlebih pesan yang dikirim Tessa untuk datang terlambat ke kantor. Hal yang tak pernah terjadi. Sementara Tessa menatap Astrid sambil tersenyum, rona merah muda terpancar di pipinya sambil mengulum bibirnya yang seakan menahan tawa bahagia. “Apa aku melewatkan sesuatu?” tanya Astrid penasaran hingga memcing dan kedua alisnya nyaris saling menempel satu sama lain. Astrid jalan mendekat ke arah meja kerja Tessa, berdiri di hadapannya. “Kau sudah selesai dengan persiapan liburan---” Astrid mengangguk cepat sebelum Tessa mengatakan kalimatnya hingga selesai. Tessa kembali tersenyum lebar lalu duduk di kursi kebesarannya disusul Astrid yang duduk di seberang Tessa dengan rasa penasaran yang kian menjadi. “Katakan apa kalian---” Astrid mnghentikan kalimatnya untuk mencondongkan tubuhnya ke depan hingga menempel pada tepian meja kerja Tessa. “Dia, maksudku Darek setuju dengan liburan yang aku tawarkan?” lanjut Astrid dengan suara yang terdengar menyelidik bagai seorang detektif. “Ya, dia setuju,” jawab Tessa singkat. Tampak Astrid yang tak puas dengan jawaban singkat itu. “Aku sama terkejutnya dengan mu,” tambah Yessa. Astrid menarik tubuhnya untuk duduk tegak tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Tessa yang terlihat sangat bahagia. “Apa yang terjadi pagi ini?” selidik Astrid tanpa basa-basi. “Aku nyaris lupa bagaimana rasanya bercinta, Baby,” seloroh Tessa yang membuat Astrid terkejut dengan mata membulat dan mulut yang terbuka membentuk huruf O sempurna hingga membuat Tessa terkekeh. “Good job, Dear,” seloroh Astrid dengan mimik bahagia untuk Tessa dan langsung beranjak dari kursi yang didudukinya, sementara Tessa terkekeh. “Aku ikut berbahagia untukmu dan suami bodohmu itu,” ungkap Astrid dengan kejujuran yang membuat Tessa terkekeh saat Astrid mendekat untuk memeluk dirinya. Astrid telah menjadi tempat sambah bagi Tessa menuangkan semua racun dalam kehidupannya selama dua tahun terakhir. Pertemana Tessa dan Astrid terjalin jauh sebelum Tessa memutuskan menerima perjodohan yang diminta oleh ayah angkatnya. “Aku senang melihatmu hari ini, Tess. Kau---” Wajah Tessa merona. Pipinya tampak memerah bagai tomat. “Jangan meledek,” seloroh Tessa sambil memutar kembali kursi beroda yang dirinya duduki. Begitu juga dengan Astrid yang kembali duduk di kursi yang dirinya tinggalkan beberapa menit lalu.  “Bagaimana caranya sampai---” Astrid masih melanjutkan penyelidikannya, dan Tessa tidak merasa keberatan akan hal itu. Keduanya saling menatap dari kursi masing-masing. “Entahlah,” saut Tessa cepat dan seketika senyum di wajahnya hilang berganti dengan wajah yang kaku dan ingatannya kembali pada malam kemarin. Bayangan di malam yang telah larut bahkan telah berganti hari. Darek yang meninggalkan kamar dan Tessa mendapati suaminya yang sedang berbicara dengan seseorang yang tidak Tessa ketahui. Alasan yang diberikan Darek tanpa Tessa minta pun terdengar aneh dan janggal. Melahirkan banyak pertanyaan di dalam pikiran Tessa. Namun semua itu menguap saat semuanya berubah dengan cepat di pagi berikutnya. Tessa terdiam. “Kau kenapa?” Pertanyaan Astrid yang membuat Tessa mengerjap kaget, menatap lurus ke arah Astrid. Manik mata Tessa berubah keruh dari sebelumnya. Tessa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. “Aku sama terkejutnya denganmu, Astrid. Aku tidak menduga jika…” Tessa menggantungkan kalimatnya, melipat kedua tangannya di atas meja kerjanya. Tatapan mata Tessa berubah serius. “…Darek mengubah jadwalnya untuk minggu depan. Bahkan…” Kalimat Tessa kembali menggantung dan isi kepalanya berganti menjadi bayangan yang sama dengan sebelumnya, sikap Darek pagi ini yang begitu manis dan berakhir mengejutkan dengan percintaan mereka di meja dapur sebelum berpindah ke dalam kamar mereka. Darek memberikan banyak pelepasan untuk Tessa, bahkan Tessa merasa jika kedua kakinya berubah menjadi jelly. “Bahkan apa?” tanya Astrid penasaran. Tessa tersenyum segaris. “Tidak.” Tessa menjawab dalam satu kata. “Hanya merasa bagai mimpi dan… sikap Darek sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya,” tutur Tessa. “Begitukah?” Pertanyaan Astrid terdengar menyelidik. Bayangan kejadian semalam yang melintasi kembali pikiran Tessa bagai hantu gentayangan. Entah harus dikutuki atau disyukuri dengan fakta jika suaminya melakukan hal yang patut dicurigai. Percakapan yang jelas terdengar hingga ke telinga Tessa masih begitu jelas seolah baru saja terjadi. “Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya. Kau harus tahu jika---“ “Aku tidak mungkin mengatakan kebenarannya jika… tidak. Aku akan mencari cara lain.” “Kita akan membicarakannya lagi besok. Aku menunggumu di kantor.” Serangkaian kalimat yang meluncur dari mulut Darek semalam kembali masuk dalam ingatan Tessa. Bagai disambar petir, Tessa terhenyak seketika. “Kenapa?” tanya Astrid spontan akan keterkejutan Tessa pada dirinya sendiri. “Ada apa?” buru Astrid bersamaan dengan Tessa yang beranjak dari kursi dengan tergesa-gesa. “Aku harus melakukan sesuatu,” ucap Tessa saat dirinya telah beranjak dari kursi dengan mengejutkan di hadapan Astrid yang juga bangun dari duduknya. “Aku harus pergi sekarang. Bisa kau kabari aku untuk---” “Ya tentu,” saut Astrid cepat, secepat langkah Tessa meninggalkan dirinya dalam ruang kerja Tessa. Suara benturan tumit sepatu yang dikenakan Tessa terdengar jelas dan kian menghilang.   ***   Penerbangan panjang selama sepuluh jam yang dilengkapi dengan drama penundaan penerbangan harus dilalui Matheo sangat menguras energi. Semuanya seakan kian lengkap dengan perasaannya yang sedang patah hati. Membuat pria bertubuh tegap dan berotot itu merasakan lelah fisik dan perasaan, bahkan sesampainya di rumah sang adik, pria yang berprofesi sebagai detektif itu langsung terkapar tak berdaya dalam kamar yang telah disiapkan untuknya. Matheo tak siap untuk beranjak ke mana pun. Bahkan untuk keluar rumah menemani sang adik membeli keperluan pesta ulang tahun ibu mereka, Mrs. Andrew yang akan dilaksanalkan lusa. “Ayo lah kak. Kau bisa membelikannya untukku? Atau kau yang menggantikanku menghubungi semua orang untuk mengundang mereka datang?” Penawaran yang diajukan Christa dengan suara yang memelas dan mimik wajah yang mengibah. Matheo hanya melirik sementara Christa menatap Matheo yang tampak acak-acakan usai tidur panjang yang menyerupai mayat. Matheo masih mengenakan kaos oblong dan celana pendek saat keluar dari kamar. Kaos lengan pendek yang menapakkan beberapa tatto yang menghiasi lengannya. Dengan lirikan dari sudut mata Christa, tatapan mata memohon yang tak pernah dapat ditampik oleh Matheo. Pria kekar itu mengutuki dirinya untuk kelemahannya pada sang adik. “Aku mohon,” pinta Christa sekali lagi sambil mendekat dan kedua telapak tangan wanita muda itu saling menempel di depan d**a. Tak ada yang lebih menyebalkan bagi Matheo untuk mewujudkan permintaan Christa. “Baiklah. Aku yang akan pergi sekarang.” Matheo menjawab dengan singkat dan tanpa bisa membantah apalagi beralasan. Christa terkekeh bahagia disusul dengan pelukan yang spontan hingga membuat Matheo tersenyum miring dan merangkul tubuh Christa untuk membalas pelukannya. “Kau baru saja memerintahkan seorang detektif untuk melakukan---” “Jangan lupa, kau detektif yang sedang patah hati, Sersan,” potong Christa yang diakhiri dengan tawa renyah, sementara Matheo tak dapat memungkiri jika yang dikatakan adiknya memang benar. Matheo tersenyum, memamerkan sederet gigi yang tampak putih. “Kenapa wanita selalu benar,” oceh Matheo kali ini sambil menyambar kue yang ada di atas piring buataan sang adik. Dalam satu kali gigitan besar. “Semoga kau bertemu dengan jodohmu di kota ini, Sersan,” ucap Christa lantang sesaat sebelum Matheo melepaskan pelukannya dan melangkah keluar melewati pintu dapur mereka.  Matheo hanya membalas dengan lambaian tangan ke udara.   ***   “Sial aku melewatkan hal yang harusnya tidak aku lupakan,” gumam Tessa memaki dirinya sendiri. Tessa memutuskan meninggalkan mobil miliknya di parkiran kantor dan berganti dengan taksi. Tessa duduk di dalam taksi berwarna kuning yang membawanya melintasi keramaian kota Berlin siang itu. Langit yang tampak terang dengan warna biru yang cerah, serta awan putih yang tampak bersih. Gedung-gedung yang menjulang di antara bangunan bersejarah yang tetap dijaga oleh pemerintah kota. Tessa senang dengan kota tempatnya tinggal.   Tessa melayangkan tatapan matanya keluar kaca jendela taksi yang berjalan tanpa hambatan. Duduk dan mencoba untuk tetap tenang dengan semua yang terjadi. “Apa alasanku menemuinya? Apa yang akan aku katakan?” Rentetan pertanyaan yang tiba-tiba memenuhi isi kepala Tessa dan tatapannya jatuh pada ponsel yang ia genggam dengan erat di atas pangkuan. Ingatan Tessa akan percakapan Darek semalam dengan seseorang yang membuat Tessa tak berpikir panjang lagi meninggalkan kantornya untuk menemui Darek. “Dia memiliki janji dengan seseorang. Siapa dia? Mungkinkan pekerjaan? Tapi kenapa di waktu yang tak lazim?” Deretan pertanyaan yang seketika terasa menyesaki seluruh volume otak Tessa.   Layar ponsel yang berubah gelap sebelum notifikasi pesan muncul dari Astrid. Astrid Baker: Aku telah memesan tiket atas namamu dan juga Darek. Kau bisa memeriksanya kembali melalui email. “Oh God,” desis Tessa dengan lega menjadikan pesan yang baru saja dikirim Astrid akan ia jadikan alasan untuk menemui Darek di kantornya. Tessa menutup aplikasi teks dan berpindah pada sambungan telepon. Menekan sederet nomor di dalam ponsel. Dering-dering panjang sebanyak dua kali sebelum suara seorang wanita terdengar di ujung saluran. “Selamat pagi Anda---” “Melisa, ini aku Tessa,” selak Tessa cepat sebelum Melisa Ballott, sekretaris Darek menyelesaikan ucapannya. “Selamat pagi, Mrs. Wagner,” sapa Melisa dengan ramah. Tessa memperbaiki posisi duduknya. “Aku ingin meminta bantuanmu untuk mengecek jadwal pertemuan suamiku hari ini,” ucap Tessa dengan suara yang coba ia buat tetap terdengar santai. Tessa tak ingin membuat siapa pun menaruh curiga pada dirinya yang bersikap tak biasa. Tessa tak pernah meragukan apa pun yang dilakukan oleh Darek suaminya. Tessa percaya dan tulus mencintainya hingga percakapan semalam yang berhasil sampai di telinga Tessa. Melisa tak langsung menjawab hingga keheningan menyelinap di antara mereka. “Aku ingin membuat kejutan untuk suamiku,” imbuh Tessa cepat, menyingkirkan kebingungan yang menghinggapi Melisa. “Anda akan---” “Ya, aku akan mengunjungi Darek dan memberikan kejutan padanya,” tandas Tessa dengan usaha untuk meyakinkan. Terdengar suara ujung jari Melisa yang bergerak di atas tuts papan ketika di hadapannya. Tessa menanti hingga Melisa kembali bersuara. “Sepanjang pagi ini belum ada pertemuan dengan pihak lain selain dengan Mr. & Mrs. Wagner.” “Maksudmu… Thomas dan Gemma?” Tessa bertanya dengan nada suara yang tak biasa, seakan ia merasa salah mendengar. Tessa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah.   “Anda ingin saya membuatkan jadwal untuk---” “Tidak…tidak,” tangkis Tessa cepat sambil menelan ludah sekali lagi. Tessa merasa terkejut, napasnya seakan tersangkut di tenggorokan. “Aku akan mengejutkan suamiku,” sambung, Tessa yang kini terdengar tak yakin. Tessa kembali menatap keluar jendela taksi yang masih melaju di tengah kota.   “Saya rasa Anda sudah dapat menemui suami Anda sekarang, Mrs. Wagner. Mereka sudah selesai,” ucap Melisa memecah kebingungan Tessa. “Ya, terima kasih, Mel,” ungkap Tessa setelahnya. “Terima kembali, Mrs. Wagner. Senang dapat membantu Anda. Semoga hari Anda menyenangkan.” Percakapan berakhir, Tessa menurunkan ponselnya dari telinga. “Gemma dan Tom,” desis Tessa dan ia kembali membuang tatapan matanya keluar kaca jendela taksi yang sudah hampir dekat. Kebingungan yang kini hadir membuat Tessa membisu. Tessa berpikir untuk membatalkan rencananya. Ketergesa-gesaan membuatnya tak mampu berpikir dengan benar. “Bodohnya aku,” desah Tessa seorang diri hingga membuat supir taksi menatapnya dari pantulan kaca spion dan Tessa tak menyadari hal itu. Bayangan pertemuan Darek dengan Tom serta Gemma membuat semua antusias dalam diri Tessa menguap seketika. “Sebaiknya aku kembali ke kantorku,” batin Tessa lagi. Tessa menarik napas panjang lalu mengembuskannya bersama dengan tatapannya yang beralih ke supir taksi yang ada di balik kemudi. “Kita kembali ke tempat tadi,” pinta Tessa yang membuat kening sang supir berusia lanjut itu mengernyitkan kening, dan Tessa hanya tersenyum masam yang tak dapat dirinya sembunyikan.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD